MONITOR, Jakarta – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menyatakan perempuan Indonesia memegang peranan penting sebagai motor penggerak diplomasi publik dan perdamaian global, salah satunya melalui gerakan dakwah. Pada Seminar Nasional bertema “Perempuan, Gerakan Dakwah, dan Diplomasi Publik: Peran, Tantangan, dan Strategi di Era Global,” Menteri PPPA menekankan peran perempuan Islam tidak hanya pada bidang keagamaan, namun juga penggerak diplomasi publik.
“Meningkatnya perhatian dunia internasional terhadap posisi Indonesia yang semakin strategis menuntut kreativitas dan inovasi perempuan Indonesia. Salah satu kekuatan perempuan Islam di Indonesia adalah gerakan dakwah yang bukan hanya menyampaikan ajaran agama, tetapi juga membangun peradaban, mencetak intelektual, merawat solidaritas sosial, dan menumbuhkan etika publik,” kata Menteri PPPA pada Selasa (4/11/2025).
Menteri PPPA menambahkan dakwah perempuan di Indonesia merepresentasikan wajah Islam yang inklusif, modern, dialogis, serta mampu menampilkan Islam sebagai kekuatan moral dan pembangun harmoni dalam perdamaian global. Keterlibatan perempuan dalam proses negosiasi perdamaian dapat meningkatkan peluang tercapainya kesepakatan jangka panjang dan memperkuat kepercayaan publik.
Di sisi lain, Menteri PPPA mengakui masih ada hambatan struktural dan budaya yang membatasi peran perempuan Islam dalam diplomasi publik, termasuk akses terhadap jejaring internasional.
“Kita akui masih ada hambatan yang akhirnya membatasi perempuan, oleh karena itu, 3 agenda pemberdayaan yang penting untuk dilakukan adalah memperkuat literasi global sehingga perempuan lahir sebagai pemikir yang memahami isu internasional, memperluas ekosistem jaringan lintas negara dan lintas sektor, serta membangun narasi Islam Nusantara yang humanis dan pro – kebijakan publik,” tutup Menteri PPPA.
Executive Board The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Yuniyanti Chuzaifah yang hadir sebagai pembicara juga menekankan pentingnya keterlibatan perempuan dalam penyusunan kebijakan perlindungan global, sekaligus membangun gerakan dakwah yang memperkuat peran dan suara perempuan dalam perdamaian global.
“Kerangka kerja internasional Women, Peace, and Security (WPS) berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 mengedepankan 4 substansi utama, yaitu pencegahan, penanganan dan perlindungan, pengadilan dan pengukuhan, serta pemulihan dan pemberdayaan. Kerangka kerja ini mengakui perempuan bukan hanya sebagai korban, tetapi juga agen penting dalam perdamaian dan keamanan dunia. Perang atau pergerakan apapun tidak boleh lagi menempatkan perempuan sebagai target. Perempuan harus dilibatkan dan didengarkan dalam perumusan kebijakan perdamaian,” ujar Yuni.
Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Islam Negari (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Asep Saepudin Jahar menyampaikan gerakan dakwah diharapkan menjadi instrumen kultural yang melibatkan perempuan dalam menciptakan perdamaian global.
“Diplomasi global saat ini gencar membangun keterlibatan perempuan, khususnya dalam konteks perdamaian. Melalui gerakan dakwah sebagai instrumen kultural Indonesia di dunia global, kami berharap isu – isu perlindungan dapat terlaksana dengan baik sehingga anak dan perempuan tidak lagi menjadi korban utama dalam konflik internasional,” ujar Asep.
Dalam sesi yang lain, Mantan Duta Besar Indonesia untuk Aljazair sekaligus Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI), Safira Machrusah menyoroti pentingnya diplomasi publik yang kiini diperluas melalui budaya, ruang sosial hingga dunia digital.
“Diplomasi kini tidak hanya dilakukan di ruang – ruang resmi atau oleh kalangan akademisi. Masyarakat pun bisa ikut berperan melalui para cendekia, pelaku budaya, diaspora, filantropis, hingga komunitas warga. Dakwah sebagai bagian dari diplomasi kultural Indonesia termasuk soft diplomacy yang melibatkan aktor non – negara, khususnya perempuan dalam membangun hubungan dan pengaruh antarnegara,” ungkap Safira.
Seminar yang digelar secara daring dan luring ini diakhiri dengan seruan memperkuat gerakan dakwah perempuan sebagai strategi diplomasi kultural yang mencerminkan karakter bangsa, seperti Islam yang moderat, toleran, serta menjunjung tinggi kemanusiaan.