MONITOR, Kendari – Menteri Agama periode 2001–2004, Said Agil Husin Al Munawar, mengungkapkan bahwa Al-Qur’an sejak lama telah mengingatkan manusia untuk menjaga bumi dan tidak membuat kerusakan di dalamnya. Hal itu ia sampaikan dalam Seminar Syiar Qur’an dan Hadis: Merawat Kerukunan, Melestarikan Lingkungan yang digelar di Kendari, Jumat (17/10/2025).
Menurut Said Agil, manusia diciptakan bukan hanya untuk beribadah secara ritual, tetapi juga untuk memakmurkan bumi dan menjaga keseimbangannya. Ia menegaskan bahwa pelestarian lingkungan merupakan bagian dari keimanan, bukan sekadar urusan sosial atau ekonomi.
“Al-Qur’an telah menegaskan dalam Surah Al-Baqarah bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah, yaitu wakil Allah yang bertugas mengelola bumi dengan tanggung jawab dan keseimbangan,” ujarnya.
Ia menambahkan, Al-Qur’an juga memperingatkan agar manusia tidak berbuat kerusakan setelah Allah memperbaikinya. Nilai-nilai tersebut, kata Said Agil, menjadi dasar teologis bagi umat Islam untuk menjaga alam sebagai amanah Ilahi. Ia mengutip firman Allah dalam Surah Al-A’raf ayat 56, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap.”
Dalam pandangan Said Agil, menjaga harmoni sosial dan lingkungan adalah bentuk ibadah yang mencerminkan kesalehan pribadi dan sosial secara bersamaan. Ia mencontohkan sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan Ahmad, “Jika hari kiamat tiba sementara di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit tanaman, maka tanamlah.”
“Hadis tersebut mengajarkan bahwa sekecil apa pun usaha kita untuk menjaga alam tetap bernilai ibadah. Menanam, memelihara, dan tidak merusak adalah ekspresi dari iman yang sejati,” tuturnya.
Lebih lanjut, Said Agil menjelaskan bahwa syiar Al-Qur’an dan hadis harus dimaknai sebagai upaya membudayakan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata. Dakwah yang berorientasi pada kerukunan, menurutnya, akan menumbuhkan semangat toleransi, kasih sayang, dan persaudaraan lintas batas. Sementara itu, dakwah yang menanamkan kesadaran ekologis akan membentuk perilaku bijak terhadap alam dan sumber daya.
“Ketika nilai-nilai Qur’ani dan Nabawi dihidupkan, umat akan menjadi pelopor perdamaian sekaligus pelindung lingkungan,” katanya.
Ia menilai, dakwah Islam seharusnya tidak hanya hadir di mimbar, tetapi juga di ruang-ruang publik yang mendorong perubahan perilaku terhadap lingkungan dan sesama manusia.
Menurut Said Agil, Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dan kaya sumber daya alam membutuhkan revitalisasi syiar yang menyejukkan dan mencerahkan. Tantangan zaman seperti konflik sosial, degradasi moral, dan krisis iklim menuntut hadirnya dakwah yang substansial dan membangun kesadaran kolektif.
“Kita harus menumbuhkan cinta kasih (rahmah), kesadaran sosial (ukhuwah), dan kepedulian ekologis (ḥifẓ al-bī’ah),” ujarnya menegaskan.
Ia juga mengungkapkan pentingnya metode dakwah yang lembut dan penuh kebijaksanaan, sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 125, “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
“Dakwah yang keras dan menghakimi bertentangan dengan semangat kenabian yang membawa rahmat bagi seluruh alam,” kata Said Agil.
Ia menambahkan, peran pemuka agama dan lembaga keagamaan sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai keberlanjutan dan cinta lingkungan sejak dini. Pendidikan agama, menurutnya, harus menumbuhkan kesadaran ekologis agar generasi muda tidak hanya saleh secara ritual, tetapi juga peduli terhadap sesama dan alam sekitar.
“Kerukunan antarmanusia dan kelestarian alam adalah dua sisi dari satu kesalehan yang utuh—kesalehan yang menebarkan rahmat bagi seluruh alam,” pungkasnya.