Kamis, 25 September, 2025

Gerakan ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk’, Legislator Minta Polri Tindak Pengguna Sirene dan Strobo Ilegal

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez menyebut kritik masyarakat terhadap maraknya penggunaan sirene, rotator, dan strobo secara ilegal dengan mengampanyekan gerakan bertagar ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk di Jalan’ merupakan suara rakyat yang menyerukan keresahan publik. Gerakan tersebut menggema di media sosial.

Menurut Gilang, gerakan ini bukan sekadar soal bising atau silau, melainkan bentuk perlawanan masyarakat yang sudah jenuh terhadap praktik arogan di jalan raya dan merugikan banyak pihak. Ia pun meminta pihak Kepolisian RI (Polri) agar tidak ragu memberikan sanksi bagi pelanggar.

“Jalan raya seharusnya menjadi ruang aman, bukan panggung arogansi. Gerakan ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk’ adalah bentuk keresahan publik yang harus direspons dengan tindakan nyata,” kata Gilang Dhielafararez, Kamis (25/9/2025).

“Karena itu, kami mendorong penegakan aturan yang lebih konsisten melalui razia berkala, penindakan tegas, dan edukasi publik yang berkelanjutan,” sambungnya.

- Advertisement -

Belakangan ini, publik ramai menggaungkan gerakan ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk’ di jalan dengan mengunggah foto dan video dalam berbagai narasi. Beberapa akun menampilkan kendaraan yang menggunakan strobo. Ada juga yang memperlihatkan foto patroli dan pengawalan (patwal) aparat sebagai ilustrasi dari gerakan tersebut.

Tak hanya di media sosial, gerakan ini juga diwujudkan secara unik dan masif. Misalnya dengan memasang stiker ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk’ di kendaraan sebagai bentuk kampanye nyata di jalan.

Kritik ini muncul bukan tanpa alasan. Gerakan ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk’ lahir sebagai respons atas kejenuhan publik terhadap maraknya penggunaan sirene, strobo, dan rotator di jalan raya, termasuk oleh kendaraan pejabat yang sedang tidak bertugas resmi.

Menurut Gilang, gerakan ‘Stop Tot-Tot Wuk-Wuk’ menegaskan bahwa hanya kendaraan darurat dan tertentu, seperti ambulans, pemadam kebakaran, serta kendaraan pejabat negara resmi, yang berhak menggunakan sirene dan strobo.

“Fenomena kendaraan pribadi yang menggunakan sirene dan strobo tanpa hak, termasuk yang mengatasnamakan pejabat, masih mudah ditemui di ruas-ruas padat Jakarta,” sebut Gilang.

Padahal, kata Gilang, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah jelas mengamanatkan hanya ambulans, mobil pemadam kebakaran, kendaraan pengawalan resmi, dan iring-iringan jenazah yang berhak mendapat prioritas.

“Di luar itu, pemakaian sirene dan strobo adalah pelanggaran hukum. Aturan ini harus dijalankan tanpa pandang bulu,” tegas Legislator dari Dapil Jawa Tengah II itu.

“Polisi tidak boleh ragu untuk memberi sanksi, karena jalan raya adalah ruang publik yang haknya setara bagi semua,” imbuh Gilang.

Anggota Komisi Hukum DPR ini pun menyebut meski dalam UU 22/2009 ada aturan yang memperbolehkan penggunaan sirene dan strobo bagi kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Polri, namun penggunaannya harus jelas. Sebab, kata Gilang, sering ditemui adanya kendaraan Patwal yang menggunakan sirene dan strobo namun bukan untuk kepentingan umum.

“Sudah menjadi rahasia umum terkadang Patwal memberikan pengawalan dengan tujuan pribadi orang per seorang. Ini yang menimbulkan keresahan publik, khususnya di Jakarta yang lalu lintasnya sering macet,” ujarnya.

Gilang menambahkan, penggunaan sirene dan strobo yang tidak sesuai ketentuan pastinya dapat mengganggu ketertiban lalu lintas. Termasuk membahayakan pengguna jalan lain, bahkan memicu ketidaknyamanan masyarakat.

“Penggunaan Patwal, yang biasanya menggunakan sirene dan strobo untuk kepentingan pribadi perlu juga menjadi perhatian. Polri harus bisa tertibkan,” sebut Gilang.

Gilang pun menyoroti ketentuan soal kendaraan pribadi yang dilarang menggunakan sirene maupun rotator dalam kondisi apapun. Jika pelanggaran terus dibiarkan, menurutnya, maka akan menciptakan preseden buruk dan mengikis rasa keadilan di masyarakat.

“Penegak hukum harus bisa memastikan setiap warga merasakan kesetaraan di jalan raya. Karena tertib lalu lintas berarti menghargai nyawa dan martabat manusia,” ucapnya.

Lebih lanjut, Gilang mendukung langkah Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri yang membekukan sementara penggunaan sirine dan rotator. Ia menilai kebijakan tersebut merupakan keputusan tepat untuk merespons keresahan publik sekaligus memperkuat kepastian hukum dalam tata kelola lalu lintas.

“Evaluasi yang dilakukan Korlantas Polri harus menghasilkan kebijakan baru yang tidak sekadar bersifat imbauan, melainkan memiliki standar operasional yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan,” jelas Gilang.

Gilang menilai penggunaan sirine, strobo, atau rotator tidak boleh bergantung pada diskresi oknum aparat di lapangan, tetapi harus terikat pada prosedur hukum yang ketat.

“Yang perlu dijaga adalah konsistensi. Jika memang penggunaan sirine hanya untuk kondisi darurat tertentu, maka harus ada parameter yang jelas: apa yang disebut darurat, siapa yang berwenang menentukan, dan bagaimana mekanisme pengawasannya,” papar Anggota BKSAP DPR itu.

“Tanpa itu, publik akan terus melihat adanya ketidakadilan di jalan raya,” tutup Gilang.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER