MONITOR, Jakarta – Direktur Eksekutif Sigmaphi Indonesia, Muhammad Islam, merespons rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang akan memindahkan Rp200 triliun dana pemerintah dari Bank Indonesia ke bank-bank milik negara (Himbara). Menurut Muhammad Islam, kebijakan tersebut salah sasaran karena akar masalah lemahnya penyaluran kredit perbankan bukan terletak pada likuiditas, melainkan pada permintaan kredit (demand) yang rendah.
“Persoalannya bukan keringnya likuiditas di pasar keuangan, tapi lemahnya prospek penjualan domestik dan daya beli masyarakat. Jadi, menambah likuiditas perbankan tidak otomatis mendorong kredit,” tegas Muhammad Islam, di Jakarta, Jumat (12/9/2025).
Ia merujuk data OJK per Juni 2025 yang menunjukkan loan to deposit ratio (LDR) perbankan berada di level 86,5%, turun dari 88,3% bulan sebelumnya. Angka ini menandakan perbankan masih memiliki ruang untuk menyalurkan kredit, sehingga hambatan utamanya adalah lemahnya permintaan.
Islam menambahkan, nilai Rp200 triliun yang dipindahkan itu sebenarnya hanya setara sekitar 4,73% dari total dana pihak ketiga (DPK) Himbara atau hanya 2,14% dari DPK perbankan nasional. Per Juni 2025, DPK Himbara tercatat Rp4.228,32 triliun. Dengan proporsi sekecil itu, dampaknya terhadap peningkatan kredit diperkirakan tidak signifikan. Islam menilai, tanpa memperbaiki akar masalah, dana pemerintah yang dialihkan ke Himbara berisiko hanya diparkir kembali dalam bentuk pembelian Surat Berharga Negara (SBN), alih-alih mengalir ke sektor riil.
Ia juga mendorong pemerintah agar lebih transparan soal tujuan kebijakan tersebut. Jika sebenarnya bertujuan mendukung pembiayaan APBN, kata Islam, lebih tepat menggunakan mekanisme Saldo Anggaran Lebih (SAL) atau Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) melalui persetujuan DPR, daripada memutar lewat perbankan yang justru menambah cost of fundpemerintah.
Rencana Menkeu Purbaya ini sendiri bertujuan untuk mempercepat penyaluran kredit perbankan agar dapat menggerakkan sektor riil dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Dana Rp200 triliun yang dipindahkan dari Bank Indonesia ke Himbara diharapkan menjadi amunisi tambahan bagi bank-bank BUMN untuk menyalurkan pinjaman, khususnya kepada sektor-sektor prioritas.
Menteri Keuangan Purbaya seolah mengandalkan ungkapan “supply creates its own demand” dalam mendorong kredit perbankan. Namun, dalam praktiknya, banyak kendala yang membuat teori tersebut tidak berjalan otomatis. Penambahan likuiditas memang meningkatkan kapasitas bank untuk menyalurkan pinjaman, tetapi tidak serta-merta menciptakan permintaan kredit baru. Dunia usaha hanya mengajukan kredit jika prospek penjualan dan laba menjanjikan, sementara daya beli masyarakat yang lemah membuat konsumsi tertahan.
Selain itu, persepsi risiko usaha yang tinggi, ketatnya persyaratan perbankan, hingga fenomena deleveragingpasca-krisis turut menekan minat meminjam. Bahkan, kondisi pasar keuangan sering kali membuat dana beralih ke instrumen yang lebih aman seperti Surat Berharga Negara (SBN) ketimbang masuk ke sektor riil. “Akibatnya, kebijakan menambah pasokan dana di perbankan tidak selalu menjawab persoalan inti lemahnya permintaan kredit,” pungkas Islam