Oleh: Imron Wasi*
Kongres PDI-Perjuangan ke-VI yang telah digelar di Bali berhasil mengukuhkan kembali Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum terpilih periode 2025-2030. Sebelumnya, partai berlambang banteng tersebut semestinya melakukan regenerasi kepemimpinan internal partai politiknya pada 2024. Sebab, partai politik sebagai sebuah entitas politik yang bisa diakses oleh publik tersebut seharusnya bisa menggelar kongres secara reguler. Karena itu, bisa menumbuhkan tradisi politik mutakhir agar sirkulasi kekuasaan berjalan efektif.Â
Meski demikian, kongres keenam PDI-Perjuangan awalnnya akan dipergelarkan pada tahun 2024. Namun, hal tersebut tidak berjalan sesuai rencana awal, karena bersamaan dengan agenda politik elektoral domestik, regional, dan lokal, seperti Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 yang secara kohesi politik dilakukan serentak. Imbasnya, partai politik ini lebih fokus terhadap kontestasi politik tersebut. Setelah itu, kasak-kusuk politik di internal PDI-Perjuangan kembali mengemuka, terlebih kongres akan dimulai pada April 2025.
Atas dasar tersebut, kongres keenam partai berlambang banteng ini akhirnya dilakukan pada Agustus 2025. Meski begitu, selain memutuskan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri kembali untuk memimpin partai politik ini, ada sebagian aspek yang menjadi diskursus publik, di antaranya, putri Presiden Soekarno – Megawati pada kongres keenam ini juga turut menjabat sebagai Sekretaris Jendral PDI-Perjuangan (PDI-P).
Selain itu, munculnya statement politik dari Megawati Soekarnoputri terhadap pemerintahan kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menjadikan posisi politik PDI-Perjuangan semakin abstrak, terutama setelah pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto atas pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Sekretaris Jendral PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto. Ia mengatakan sikap partai politik yang dipimpinnya akan mendukung pemerintah yang kini sedang dipimpin Presiden Prabowo Subianto atau dalam term politik PDI-P disebut sebagai partai politik penyeimbang kekuasaan karena tidak membangun aliansi atau berada di koalisi pemerintahan.
Namun, sebagai partai politik yang berupaya merepresentasikan masyarakat kecil, PDI-Perjuangan semestinya tidak mendayung di antara dua kekuasaan: dekat dengan penguasa, namun tidak mau berpisah dari para pemilih. Alih-alih sebagai partai politik penyeimbang kekuasaan terhadap pemerintah Prabowo-Gibran, PDI-Perjungan tampil tidak meyakinkan untuk berada pada oposisi pemerintah. Padahal, PDI-Perjuangan sangat kentara secara historis untuk menentang kebijakan publik yang tidak mengutamakan kepentingan publik secara luas, sebagaimana yang telah dilakukan saat rezim politik Indonesia dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebagai salah satu partai politik yang masih eksis dan bertahan dalam palagan politik domestik, terutama di tengah masifnya persaingan politik elektoral yang menunjukkan arus politik domestik yang signifikan, PDI-Perjuangan menjadi partai yang masih kentara terhadap figur atau tokoh di internalnya, seperti figur Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri. Hal ini membuat partai berlogo banteng ini masih tetap stabil, terutama setelah reformasi politik bergulir. PDI-Perjuangan yang dipimpin Megawati ini berhasil meraih dukungan publik pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 dengan terpilihnya Presiden Jokowi.
Dengan kata lain, ia berhasil membawa kemenangan elektoral yang meyakinkan dengan menampilkan figur populis seperti mantan Presiden Joko Widodo yang terpilih sebagai presiden selama dua periode. Keberhasilan ini tidak bisa disangkal karena ada pengaruh politik personifikasi Megawati Soekarnoputri yang berhasil membangun image politik partai politiknya.
Dalam hal ini, terpilihnya Megawati Soekarnoputri yang sekaligus telah dikukuhkan menjadikan Megawati salah satu figur politik yang menjabat ketua umum partai politik paling lama. Selain itu, gejala serupa juga ditemukan di sejumlah partai politik seperti PKB yang dipimpin Muhaimin Iskandar sejak 2005. Kemudian, partai politik yang didominasi salah satu figur elite politik tersebut juga ditemukan di Partai Demokrat yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono, Partai Gerindra dengan figur Prabowo Subianto, dan yang paling mutakhir ialah PSI yang kini masih dipimpin oleh Kaesang Pangarep.
Gejala personifikasi
Kemenangan petahana dalam kontestasi elektoral di internal partai politik, terutama merujuk pada kongres PDI-P ini mencerminkan bahwa partai politik di Indonesia masih belum bisa terlepas dari sentralisme kekuasaan elite politik yang memiliki daya tawar politik dan kekuatan politik superior, karena memiliki aksesibilitas yang ekstensif.
Di satu sisi, gejala politik ini disebut sebagai dimensi yang sekadar berfokus pada satu figur atau tokoh tertentu saja dan mengalienasi anggota dan kader partai politik lainnya. Padahal, ekosistem demokrasi mengandaikan sirkulasi kepemimpinan politik yang mengutamakan kesetaraan politik.
Dalam bahasa lain, demokrasi di internal partai politik tidak berjalan maksimal, karena cenderung menampilkan satu figur politik semata. Meski begitu, di sisi yang lain, gejala personifikasi ini juga dinilai bisa menjaga keseimbangan partai politik di tengah persaingan politik yang semakin kompetitif. Hal ini terekam pada raihan suara PDI-P pada Pemilu 2014, Pemilu, 2019, dan Pemilu 2024 yang mengalami peningkatan, jika dikomparasikan dengan partai politik lainnya. Tercatat, pada Pemilu Legislatif 2019, PDI-Perjuangan berhasil memperoleh suara sebesar 27.503.961 suara atau secara persentase sebanyak 19,33 persen. Raihan suara ini berhasil menempatkan partai berlambang banteng tersebut di posisi nomor urut 1 dengan raihan suara terbesar. Di samping itu, pada Pemilu Legislatif 2024 PDI-Perjuangan juga tampil meyakinkan dan berhasil mempertahankan posisinya, karena berhasil meraih 25.387.278 suara atau 16,72 persen (Bestian Nainggolan, 2024). Meski mengalami penurunan raihan suara, tapi PDI-P masih belum tergoyahkan di posisi puncak tersebut.
Namun, perspektif tersebut justru dinilai bisa menghasilkan kecenderungan melemahnya institusionalisasi partai (Mainwaring dan Scully, 1995). Dalam perspektif tersebut, melemahnya partai politik yang mengutamakan nilai personfikasi cenderung akan terisolasi karena tidak tumbuhnya iklim demokrasi di internal partai politiknya sekaligus tidak merekonstruksi sistem politiknya. Sebab, tantangan politik dewasa ini tentu mengalami perbedaan yang signifikan dibandingkan sebelumnya. Partai politik sebagai sebuah entitas publik tentu sudah semestinya memodernisasi internal partai politiknya dengan memperbaiki skema pendidikan politik yang bisa dilakukan secara sistemik.
Mitra strategis
Statement politik Ketua Umum Megawati Soekarnoputri pada Kongres ke VI PDI-P 2025 yang akan menjadi mitra strategis sebagai penyeimbang kekuasaan terhadap pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinilai oleh sebagian besar publik bahwa PDI-P yang masih dipimpin oleh trah Soekarno tersebut mencoba untuk menjaga relasi politik dengan Presiden Prabowo Subianto, terutama saat Sekretaris Jendral PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto diberikan amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto.
Pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto yang sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra ini memunculkan sikap politik yang lebih melunak yang dilakukan oleh PDI-P. Hal ini ditengarai karena ada upaya konsensus politik, seperti persatuan nasional – sebagaimana yang telah disampaikan para elite politik.
Hal tersebut disebut sebagai panggung politik depan, karena tidak diketahui konsensus politik sesungguhnya. Namun demikian, publik melakukan interpretasi atas pemberian amnesti tersebut terhadap petinggi PDI-P tersebut, yakni untuk meredam tindakan politik yang lebih tajam (kritis) dari PDI-P atas keputusan politik, baik berupa kebijakan maupun program priotas kabinet Prabowo-Gibran. Presiden Prabowo Subianto dan koalisi politiknya tentu memahami bahwa PDI-P memiliki rekam jejak sebagai oposisi, terlebih saat ini sebagai pemenang pada Pemilu Legislatif 2024.
Gayung bersambut, pemberian amnesti terhadap Hasto Kristiyanto tersebut langsung dijawab dengan dukungan politik PDI-P terhadap pemerintahan. Tak ayal, sikap politik PDI-P ini mengaburkan posisi politiknya, karena tidak secara eksplisit posisi politiknya sebagai oposisi. Hal ini berimbas pada menghilangnya check and balances dari partai politik, terutama para kader partai yang berada di parlemen. Sebelumnya, dukungan politik partai terhadap Prabowo-Gibran relatif sudah besar. Dengan demikian, munculnya kehadiran PDI-P semakin meneguhkan kekuasaan politik Presiden Prabowo Subianto.
Sementara itu, sikap politik PDI-P juga cenderung berupaya mandayung di antara poros kekuasaan, yakni kekuasaan elite politik dan kekuasaan publik. Kekuasaan elite politik, misalnya, PDI-P juga secara implisit tidak mau ada demarkasi atas posisi politiknya dengan kekuasaan, karena bisa merugikan secara elektoral dan tidak mau kehilangan dukungan politik khalayak publik atas sikap politiknya.
*Penulis Adalah Akademisi Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang