Minggu, 3 Agustus, 2025

Soal Usul Pilkada Dipilih DPRD, Legislator Sebut Bagian dari Evaluasi Perbaikan

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB Muhammad Khozin mengungkap perkembangan soal pembahasan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah, khususnya terkait usulan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dipilih oleh DPRD. Ia menyebut pembahasan ini secara informal intens dikomunikasikan di internal antar fraksi di DPR RI.

“Sebuah gagasan, pilkada melalui DPRD telah dilempar ke publik. Dalam negara demokrasi, dialektika atas sebuah gagasan menjadi hal yang penting terjadi. Di sinilah ruang partisipasi muncul,” kata Khozin, Jumat (1/8/2025).

“Secara formal di parlemen, tentu belum dilakukan, karena forumnya nanti ada dalam pembahasan perubahan UU pilkada/UU Pemilu. Namun secara informal, diskusi mengenai pilihan alternatif model pilkada secara intens kita diskusikan baik di internal fraksi maupun antarfraksi di parlemen,” sambung legislator dari Dapil Jatim IV Jember – Lumajang ini.

Adapun, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengusulkan agar pemilihan gubernur dipilih oleh pemerintah pusat atau presiden, sementara kepala daerah bupati/walikota dipilih melalui DPRD.

- Advertisement -

“Usulan ini bagian dari refleksi dan evaluasi pelaksanaan pilkada langsung yang dilakukan sejak 20 tahun yang lalu (tahun 2005),” ucap Khozin.

Karena itu, evaluasi dinilai penting dilakukan sebagai ikhtiar perbaikan proses demokratisasi di daerah. Apalagi, kata Khozin, konstitusi memberi panduan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis.

“Jadi, apakah pilkada dilakukan secara langsung, ditunjuk oleh presiden atau dipilih melalui DPRD, yang terpenting dilakukan secara demokratis,” tuturnya.

Khozin menambahkan, argumentasi gubernur ditunjuk oleh Presiden tidak terlepas dari konsep dekonsentrasi di mana pemerintah provinsi hakikatnya merupakan wakil pemerintah pusat. Poin ini juga ditegaskan dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Artinya, ide ini bukan lahir dari ruang hampa dan tidak didasarkan pada konsep otonomi daerah maupun dekonsentrasi. Ide ini juga sama sekali tidak ada korelasi dengan kewenangan MK, murni sebagai ikhtiar untuk mencari formula yang ideal dalam pemilihan kepala daerah,” ungkap Khozin.

Menurut anggota komisi DPR yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri dan pemilu tersebut, belum melihat ada fraksi di parlemen yang menolak atau mendukung usulan PKB. Sebab, kata Khozin, usulan ini belum dibahas secara resmi oleh fraksi-fraksi maupun di Komisi II DPR.

“Karena belum dibahas secara formal, tentu belum diketahui siapa yang menolak dan yang mendukung. Sebagai sebuah ide, ya tentu terbuka untuk didiskusikan oleh pelbagai pihak termasuk dari kalangan masyarakat luas,” sebut Khozin.

“Poin ini penting sebagai bagian dari prinsip meaningful participation dalam pembentukan perundang-undangan,” imbuh Khozin.

Gagasan perubahan model pilkada, lanjut Khozin seperti itu sebenarnya telah lama digulirkan oleh pelbagai pihak, baik dari partai politik maupun dari kelompok masyarakat sipil seperti NU dalam Munas Tahun 2012, pilkada melalui DPRD. Jadi ide ini bukan wacana yang baru.

Bahkan, kata Khozin, pada tahun 2014 lalu telah ada UU No 22 Tahun 2014 tentang Pilkada, yakni pilkada dengan skema dipilih DPRD. Namun saat itu, Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perppu Pilkada.

“Bahwa hari ini PKB kembali mewacanakan ide tersebut, sekali lagi, lahir tidak di ruang hampa dengan memerhatikan aspek konstitusional/yuridis, sosiologis, dan filosofis, berlandaskan semangat perbaikan kepemiluan kita ke depannya,” pungkas Khozin.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER