Selasa, 1 Juli, 2025

Warning DPR Soal Kerja Sama Penyadapan Kejagung-Operator Dinilai Penting untuk Penegakan Hukum

MONITOR, Jakarta – DPR memberi peringatan agar kerja sama antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan sejumlah operator seluler betul-betul dilakukan dalam rangka penegakan hukum, termasuk soal penyadapan. Warning agar upaya penegakan hukum jangan sampai melanggar privasi masyarakat dinilai menjadi pesan penting dari DPR supaya kerja sama ini ini tidak berbuntut masalah di kemudian hari.

Pengamat komunikasi politik dari The London School of Public Relations Communication & Bussines Institute, Ari Junaedi menilai, penandatanganan kesepakatan antara Kejagung dengan para operator seluler mengenai penyadapan seperti dua wajah yang saling bertolak belakang. Di satu sisi bertujuan mulia, namun di sisi lainnya akan lebih banyak dampak negatifnya.

Sisi baiknya, menurut Ari, yakni membongkar dugaan potensi kasus fraud dan korupsi. Dengan demikian, aparat kejaksaan bisa maksimal dalam upaya pengungkapannya.

“Maka kehadiran DPR sebagai pengawas penting untuk memastikan bahwa kerja sama ini betul-betul untuk penegakan hukum, termasuk dalam hal penyadapan yang dilakukan atas bantuan operator seluler,” kata Ari Junaedi, Senin (30/6/2025).

- Advertisement -

Seperti diketahui, Kejagung meneken kerja sama atau nota kesepakatan dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT Xlsmart Telecom Sejahtera Tbk untuk membantu penegakan hukum.

Kejagung menyebut kerja sama ini berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data atau informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi.

Menurut Ari, jika kerja-kerja ini dilakukan dengan baik, maka kejaksaan bisa membantu mengurangi beban Presiden Prabowo Subianto dalam menangkap para koruptor.

“Apalagi Presiden Prabowo akan mengejar koruptor hingga Kutub Utara sampai Kutub Selatan, malah ke gurun pasir segala. Kepercayaan publik terhadap institusi Kejaksaan pun sedang meningkat, jauh di atas Polri dan KPK,” tuturnya.

Namun dalam pengamatan Ari, penandatanganan nota kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler jutsru akan lebih banyak kerugian atau mudaratnya. Menurutnya, penyadapan rawan dengan pelanggaran privasi, mengingat tugas kejaksaan dalam penyadapan kebal dari pengawasan lembaga yang independen.

“Penyadapan tanpa izin atau tanpa prosedur yang jelas, rawan melanggar hak privasi warga negara,” ujar Ari.

Belum lagi dari tinjauan power abuse atau penyalahgunaan kekuasaan, kata Ari, penyadapan bisa saja dilakukan tanpa alasan yang sah mengingat kejaksaan adalah salah satu instrumen yang dimiliki eksekutif dari rezim yang tengah berkuasa.

“Dengan mudahnya dilakukan penyadapan oleh kejaksaan, publik semakin distrust terhadap institusi kejaksaan dan operator seluler dalam negeri jika tidak ada transparansi yang jelas,” jelas peraih Sertificate of Merrit World Custom Organization (WC0) 2014 atas kontribusinya dalam menata kehumasan Direktorat Jenderal Bea Cukai itu.

Ari menilai, tidak menutup kemungkinan apabila publik kemudian merasa khawatir menggunakan operator selular dalam negeri.

“Jadi jangan salahkan publik akan memilih layanan operator dari negeri jiran jika resiko keamanan data pribadi warga pengguna seluler dalam negeri tidak dikelola dengan baik,” terang Ari.

“Publik khawatir data yang diperoleh melalui penyadapan dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau afiliasi politik,” sambung peneliti pertama di Indonesia yang menulis disertasi tentang pelarian politik tragedi 1965 di mancanegara tersebut.

Oleh karena itu, Ari menilai masukan Ketua DPR RI Puan Maharani yang menegasakan batas antara kebutuhan penegakan hukum dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara di tengah kerja sama tersebut harus menjadi perhatian pemerintah. Ia juga mendorong agar DPR mengawasi ketat kerja sama tersebut untuk menghindari dampak buruk MoU Kejagung dan Operator seluler ini.

“Publik tidak saja bersandar dari dukungan akademisi dan penggiat demokrasi saja, tetapi harus meminta dukungan politik dari parlemen,” sebut Ari.

“Untuk itu, DPR harus memastikan kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler dijalankan dengan transparan, akuntabel dan apakah selaras dengan Undang-Undang tentang ITE dan Udang- Undang tentang Komunikasi,” imbuhnya.

Adapun Kejagung menjelaskan kerja sama dengan operator telekomunikasi sejalan dengan UU No.11/2021 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Ari sepakat dengan DPR yang mewanti-wanti agar kerja sama soal Kejagung dan operator seluler dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang ada. Hal itu sempat disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding.

“Jangan sampai nota kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler yang bersifat khusus dan teknis melabrak aturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya,” ungkap Ari.

Ari pun mendukung jika para wakil rakyat bersikap kritis dan korektif terhadap potensi pencideraan demokratis warga terkait kerja sama Kejagung dan operator ini, khususnya dalam hal penyadapan.

“Kalau perlu DPR bisa ‘menekan’ Kejaksaan dan para operator seluler agar penyadapan yang dilakukan benar-benar tidak melanggar aturan dengan pengawasan badan independen,” tukasnya.

Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani menekankan pentingnya menjaga batas antara kebutuhan penegakan hukum dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara di tengah kerja sama antara Kejagung dan sektor telekomunikasi.

“Penegakan hukum sangat penting, tapi Kejaksaan harus memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi karena hak privat adalah hak konstitusional,” kata Puan, Kamis (26/6).

Puan pun menekankan pentingnya menumbuhkan kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan negara harus dijaga di alam demokrasi. Menurutnya, kepercayaan publik dapat tumbuh jika masyarakat yakin bahwa negara bertindak dalam koridor hukum.

“Penegakan hukum yang kuat harus tumbuh berdampingan dengan penghormatan terhadap hak-hak warga,” tegas Puan.

Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding yang mengingatkan agar upaya penegakan hukum jangan sampai melanggar privasi masyarakat.

Menurut Sudding, MoU ini merupakan langkah strategis dan relevan, khususnya dalam pelacakan buronan, pengumpulan bukti digital, serta akses data pendukung dalam proses hukum.

Namun demikian, Sudding menekankan penggunaan teknologi khususnya penyadapan dan akses informasi pribadi harus tetap berada dalam koridor konstitusi dan penghormatan terhadap hak asasi warga negara.

“Dalam negara hukum yang demokratis, prinsip check and balance adalah fondasi yang tidak boleh diabaikan, apalagi saat negara diberikan kewenangan untuk mengakses ranah privat warga,” ucap Sarifuddin Sudding, Kamis (26/6).

“Upaya penegakan hukum jangan sampai melanggar privasi masyarakat. Penegak hukum tidak boleh serta merta melakukan penyadapan tanpa tujuan hukum yang jelas, dan tentunya harus memenuhi kriteria dan mekanisme yang ada,” lanjutnya.

Sudding menegaskan bahwa nota kesepahaman yang mencakup pemasangan perangkat penyadapan dan penyediaan rekaman informasi telekomunikasi itu harus diawasi ketat. Sehingga tidak menimbulkan pelanggaran privasi, penyalahgunaan wewenang, atau pengawasan yang berlebihan (surveillance overreach).

“Kami menyadari urgensi penegakan hukum, khususnya dalam kasus-kasus besar dan pelacakan Daftar Pencarian Orang (DPO), yang memang memerlukan pendekatan teknologi tinggi,” tutur Sudding.

“Perlu ditegaskan bahwa penyadapan dan akses terhadap informasi komunikasi pribadi memiliki sensitivitas tinggi yang diatur secara ketat dalam undang-undang,” tambah Legislator dari Dapil Sulawesi Tengah itu.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER