MONITOR, Jakarta – Komisi III DPR RI sepakat memasukkan pasal hak impunitas bagi advokat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RUU KUHAP. DPR pun dinilai sangat akamodatif terhadap aspirasi yang ada.
“Peran DPR harus diapresiasi karena cukup akomodatif atas perkembangan aspirasi yang muncul dan disampaikan langsung di DPR,” kata Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar, Jumat (19/6/2025).
Seperti diketahui, pasal Hak Impunitas ini merupakan usulan dari kalangan advokat dan akademisi hukum beberapa perguruan tinggi. Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) beberapa hari lalu, Komisi III DPR memastikan telah memasukkan pasal Hak Impunitas Advokat dalam RUU KUHAP seperti yang menjadi aspirasi komunitas hukum terkait perlindungan bagi advokat.
Adapun Hak Impunitas Advokat adalah hak istimewa yang diberikan oleh hukum kepada advokat untuk melindungi mereka dari tuntutan hukum (perdata maupun pidana) saat menjalankan tugas profesinya, khususnya dalam membela kepentingan klien di dalam dan di luar sidang pengadilan asalkan dilakukan dengan iktikad baik.
Hak ini bertujuan untuk menjamin kebebasan advokat dalam menjalankan tugasnya tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum, sehingga kepentingan klien dapat terwakili secara optimal. Komisi III DPR mengakomodir permintaan kalangan hukum mengingat banyak terjadi kasus di mana advokat justru berhadapan dengan proses hukum ketika mendampingi kliennya.
Fickar pun mengapresiasi langkah DPR yang tak hanya mengakomodir harapan komunitas hukum, tapi juga turut memastikan prinsip meaningful participation dalam pembuatan regulasi dijalankan dengan baik. Seperti dengan mengundang berbagai kalangan dalam proses penyusunan RUU KUHAP untuk dimintai pendapat dan masukan.
“Dengan mengundang berbagai elemen untuk menyerap aspirasi dalam penyusunan RUU KUHAP, DPR memastikan terpenuhinya prinsip meaningful participation yang merupakan bagian penting dari konsep open governance dan demokrasi partisipatif,” jelas Fickar.
“Dengan aktif mempertimbangkan dan menanggapi masukan atau saran dari masyarakat, ini menunjukkan DPR ingin UU yang dihasilkan lebih relevan, adil, dan dapat diterima oleh masyarakat,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Fickar mendorong DPR untuk lebih responsif dalam mengakomodir aspirasi dari semua elemen bangsa. Bukan hanya dengan pertemuan langsung seperti RDPU, tapi juga lewat sarana lainnya termasuk media sosial agar muatan RUU KUHAP lebih detail dan komprehensif.
“Tetapi tidak cukup sampai di situ, DPR juga harus mengakomodir aspirasi di luar, baik yang disampaikan dalam seminar maupun melalui jurnal-jurnal atau website hukum dan sebagainya,” sebut Fickar.
“Dengan begitu DPR akan lebih komprehensif dalam penyusunan RUU KUHAP yang baru,” tambah Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti itu.
Adapun RUU KUHAP masuk ke dalam Program Legislasi Nasional DPR RI Prioritas 2025 yang diusulkan oleh Komisi III DPR RI. Komisi bidang hukum tersebut menargetkan bahwa di masa sidang yang dimulai pada 24 Juni 2025, RUU KUHAP akan mulai bergulir dan masuk tahap pembahasan.
Selama masa reses ini, Komisi III DPR terus menggelar RDPU untuk mendengarkan masukan dan saran dari berbagai kalangan. Ada beberapa aspirasi yang kemudian diakomodir, seperti soal Hak Impunitas Advokat ini.
Meski sepakat Hak Imunitas Advokat diatur dalam UU KUHAP, Fickar mengingatkan harus ada aturan tegas pada pasal tersebut. Dengan demikian, pasal Hak Impunitas Advokat tidak disalahgunakan oleh oknum tak bertanggung jawab di kemudian hari.
Menurut Fikckar, batasan yang tegas terhadap impunitas Advokat diperlukan karena pasal itu berpotensi menjadi ladang ‘cuan’ bagi oknum advokat yang ingin menarik keuntungan dari pihak-pihak berperkara karena merasa terlindungi hukum.
“Impunitas advokat tetap harus diberi batasan yang tegas, karena kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak juga oknum yang menggunakan profesi advokat ini menjadi lahan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi diri dan kelompoknya,” terang Fickar.
“Banyak oknum yang memanfaatkannya hanya sebagai calo perkara yang bekerjanya hanya digantungkan pada usaha menyuap penegak hukum di segala tingkatan,” sambungnya.
Oleh karena itu, Fickar mengingatkan agar pasal Hak Impunitas dalam KUHAP ini harus memastikan advokat tetap menjaga profesinya tidak tercoreng dan ternodai dengan tindakan atau perilaku penyimpangan. Ia menegaskan, KUHAP tidak boleh menjadi tameng atau pelindung bagi advokat penyuap dan pelaku kejahatan.
“Jadi Advokat yang memanfaatkan profesinya sebagai pelaku pidana (suap, gratifikasi dan sebagainya) tetap harus dihukum,” tegas Fickar.
“Tentu saja kita juga harus apresiasi advokat yang menjalankan profesinya dengan jujur,” lanjutnya.
Sebelumnya, Komisi III DPR menyatakan telah memasukkan pasal terkait impunitas bagi advokat dalam RUU KUHAP. Hal itu disampaikan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman saat merespons usulan akademisi sekaligus advokat dalam RDPU di Gedung DPR, Rabu (19/6) kemarin.
Usulan tersebut disampaikan karena ada advokat yang justru terjerat pidana ketika mendampingi klien. Komunitas hukum berpandangan impunitas advokat yang bisa memberi pembebasan hukuman bagi pengacara yang tengah menangani sebuah perkara itu harus menjadi perhatian.
Habiburokhman menuturkan bahwa Komisi III DPR RI sudah menyepakati impunitas advokat itu sejak dua bulan lalu. Sehingga menurutnya, soal impunitas bagi advokat sudah diakomodasi sejak lama.
“Pasal terkait impunitas advokat itu sudah kita sepakati untuk dimasukkan di KUHAP,” kata Habiburokhman.