MONITOR, Jakarta – Umat Islam merayakan Idul Adha tanggal 10 Zulhijjah, sehari setelah jemaah haji melaksanakan wukuf di Arafah. Kaum muslimin yang tidak berkesempatan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan memiliki kelapangan rezeki sangat dianjurkan melaksanakan kurban yang merupakan bagian dari syariat dan syiar Islam.
Penyembelihan hewan kurban telah ditentukan waktunya di hari Idul Adha dan tiga hari berturut-turut selama Hari Tasyri’ yakni tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah. Setiap ibadah dengan harta, seperti zakat, infak sedekah, wakaf, dan kurban membawa pesan moral bahwa harta kekayaan adalah amanah Allah yang harus memberi manfaat kepada sesama sesuai ketentuan-Nya.
Kurban bukan hanya soal penyembelihan hewan dan pendistribusian dagingnya, tapi bagaimana menjaga “hablum minallah wa hablum minannaas,” hubungan vertikal manusia dengan Tuhan dan hubungan horizontal manusia dengan sesamanya dalam segala situasi. Kurban melambangkan ketaatan kepada Allah dan kasih sayang di antara umat manusia.
Kurban adalah bagian dari syariat Ilahi yang harus dilaksanakan menurut ketentuannya tanpa perubahan sampai akhir zaman. Penyembelihan hewan kurban tidak bisa diganti atau dikonversi dalam bentuk lain. Hukum asal setiap ibadat ialah mengikuti nabi (al-asl fi al-ibadah al-ittiba).
Dari segi finansial, biaya kurban tidak sebesar biaya berangkat haji, tetapi dari segi substansinya kurban memiliki makna yang tak terpisahkan dari ketakwaan. Dalam kalam suci ayat Al-Quran, Allah Swt berfirman, terjemahannya: “Bukanlah dagingnya dan bukan pula darahnya yang sampai kepada Allah, melainkan yang sampai kepada-Nya hanya ketakwaan kamu. Demikianlah Ia mempermudahkannya kepadamu supaya kamu mengagungkan Allah karena bimbingan-Nya kepadamu. Dan sampaikanlah berita baik kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al-Hajj [22]: 37)
Dalam bingkai keimanan dan kemanusiaan kurban mendekatkan kehangatan silaturahmi sesama manusia. Pendistribusian daging kurban mempererat relasi kemanusiaan. Kurban berdampak pada perbaikan gizi masyarakat. M. Yunan Nasution dalam Bunga Rampai Ajaran Islam (1975) menjelaskan, daging kurban boleh dibagikan kepada orang-orang yang bukan pemeluk Islam (non-muslim), suatu pertanda keluasan paham toleransi dan keluwesan (flexibility) ajaran-ajaran Islam.
Kurban memiliki sejarah semenjak zaman Nabi Ibrahim alaihi salam bahkan dari zaman Nabi Adam alaihi salam. Nenek moyang manusia Nabi Adam menyuruh dua putranya Qabil dan Habil melaksanakan kurban yang sangat dramatik itu. Kurban Habil diterima Allah, sedangkan kurban Qabil ditolak (QS. Al-Ma’idah [5]: 27). Kurban yang dilaksanakan oleh umat Islam berasal dari syariat Nabi Ibrahim yang dikukuhkan menjadi syariat Nabi Muhammad Saw (Q.S. Ash-Shaffat [37]: 99 – 109).
Peristiwa kurban melambangkan bahwa hewan pun tunduk dengan titah Rabbul Alamin untuk dilibatkan ketika datang panggilan berkurban kepada umat beriman. Seluruh alam diciptakan Allah untuk keperluan manusia beribadat kepada-Nya. Kurban Nabi Ibrahim atas putranya Nabi Ismail sesuai wahyu yang kemudian diganti dengan domba menjadi pengingat bahwa kehidupan manusia tak luput dari ujian dalam mencintai sesuatu dan Allah di atas segalanya.
Pelaksanaan kurban membangkitkan kesadaran tentang keshalehan beragama yang berdampak terhadap harmoni lingkungan. Dalam syariat Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw, perintah berkurban diwahyukan Allah dalam rangkaian ayat Al-Quran dan Hadis Nabi, antara lain, terjemahnya:
“Sungguh Kami telah memberikan kepada engkau pemberian yang amat banyak. Maka lakukanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Orang-orang yang memusuhi engkau itulah yang akan terputus (hilang nama baiknya dan musnah keturunannya).” (QS Al-Kautsar [108]: 1 – 3)
Sahabat-sahabat nabi bertanya: “Ya Rasulullah. Apakah kurban itu?” Jawab Rasulullah: “Kurban itu ialah menjalankan sunnah bapakmu Nabi Ibrahim.” Mereka bertanya lagi: “Apakah yang kita dapati pada sunnah Nabi Ibrahim itu?” Rasulullah mengatakan: “Pada tiap-tiap helai bulu hewan kurban terdapat satu kebajikan.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Umat Islam yang berkemampuan seyogianya menjadi jalan rezeki bagi orang-orang di sekitarnya. Dalam kaitan ini kurban mengajarkan kesadaran berbagi dan memberi kepada karib kerabat, anak yatim, orang miskin, orang-orang di jalan serta untuk kemaslahatan umum. Ini mengingatkan kita bahwa Islam bukan hanya untuk kepentingan kaum muslimin saja, tetapi untuk semua manusia dan seluruh alam.
Kebutuhan hewan kurban setiap tahun menggerakkan umat Islam di berbagai negara untuk merencanakan ketersediaan hewan kurban secara berkelanjutan. Kurban mendorong upaya mewujudkan swasembada ternak. Kriteria hewan kurban dipersyaratkan yang sehat dan tidak cacat secara fisik, artinya kita umat Islam perlu membangun peternakan yang berkualitas.
Hari Raya Kurban sekaligus menjadi momentum pemenuhan kebutuhan protein hewani dan perbaikan gizi masyarakat. Sejak beberapa waktu belakangan telah berkembang inovasi pengalengan daging kurban dengan tujuan untuk memperluas jangkauan penerima manfaatnya setelah lingkungan terdekat terpenuhi seluruhnya.
Kurban bukan sekadar kegiatan rutin keagamaan, tetapi suatu amaliah yang bermanfaat dan berdampak dalam konteks beragama dan bermasyarakat. Selain itu kurban perlu dikelola dengan baik agar menjadi elevator peningkatan kesejahteraan peternak, dhuafa dan masyarakat sebagai sebuah ekosistem ekonomi filantropik. Hasil survei lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memproyeksikan potensi ekonomi kurban di Indonesia tahun 2024 lalu sebesar Rp 28,2 triliun yang berasal dari 2,16 juta pekurban. Data menurut statistik menunjukkan betapa ekonomi kurban perlu dikapitalisasi tanpa mendegradasi nilai-nilai ibadahnya sebagai tujuan primer.
Selamat membahagiakan sesama dengan kurban dan ibadah sosial lainnya yang bermanfaat dan berdampak. Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis Adalah: M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro UIN Imam Bonjol Padang)