Selasa, 13 Mei, 2025

Membaca Masa Depan Hukum Islam dan Ekonomi Syariah di Indonesia

MONITOR, Jakarta – Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki posisi strategis dalam pengembangan sistem hukum Islam dan ekonomi syariah. Dalam beberapa dekade terakhir, kebangkitan kesadaran kolektif akan pentingnya sistem hukum dan ekonomi yang berakar pada nilai-nilai keislaman semakin nyata, baik dalam bentuk penguatan regulasi berbasis syariah, pertumbuhan institusi keuangan syariah, maupun perluasan kajian akademik di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam.

Namun demikian, perkembangan ini tidak lepas dari tantangan globalisasi hukum, penetrasi sistem ekonomi kapitalistik, serta ketimpangan sosial yang masih tinggi. Oleh karena itu, diperlukan refleksi kritis dan strategi ke depan agar hukum Islam dan ekonomi syariah tidak hanya berkembang secara simbolik atau sektoral, melainkan juga mampu menghadirkan solusi nyata atas problematika bangsa dalam kerangka keadilan sosial, perlindungan hak asasi manusia, serta keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.

Itulah yang menjadi tema dalam sambut hangat duta besar dan guru besar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta bekerja sama dengan Nun Institute secara daring pada Jum’at (9/5/2025) malam. Kegiatan ini sebagai bentuk rasa syukur atas pencapaian fungsional tertinggi dari sosok-sosok inspiratif dalam rumpun bidang ilmu hukum Islam, di antaranya Duta Besar RI untuk Uzbekistan Siti Ruhaini Dzuhayatin; Rektor IAIN Manado Ahmad Rajafi; Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kelembagaan IAIN Ponorogo Luthfi Hadi Aminuddin; dan Guru Besar Hukum Islam IAIN Metro yang juga Koordinator Aliansi PTRG Mufliha Wijayati.

Ketua PSIPP ITB AD Yulianti Muthmainnah mengutarakan bahwa sambut hangat guru besar ini telah menjadi tradisi yang melembaga di PSIPP. Di samping itu, ia mengatakan bahwa hukum Islam sejatinya lebih progresif dibandingkan dengan hukum yang berkembang di Eropa Kontinental maupun Anglo-Saxon. Oleh karena itu, gagasan-gagasan besar dari para guru besar hukum dan ekonomi Islam ini penting diamplifikasi ke khalayak luas.

- Advertisement -

“Selamat atas anugerah dan pencapaian sebagai guru besar. Semoga membawa berkah kepada kita semua,” tuturnya.

Senada dengan itu, Rektor ITB AD Jakarta Yayat Sujatna mengapresiasi kegiatan semacam ini yang merupakan ciri khas PSIPP. Dalam sambutannya, Yayat menilai hukum Islam harus mampu berintegrasi dan terkoneksi dengan perkembangan teknologi yang akhir-akhir ini berkembang pesat. Dengan demikian, teknologi yang dikembangkan tidak hanya unggul dalam inovasi, tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai keislaman yang dianut masyarakat.

Dalam acara yang dipandu oleh Nabiella Aulia (Nun Institute) tersebut, hadir pula dua orang penanggap, yaitu Direktur Eksekutif Teras Kebinekaan yang juga dosen di UIN Syekh Nurjati Cirebon, Moh. Shofan dan Direktur DEEP Indonesia Neni Nur Hayati.

Menurut Ahmad Rajafi, dari masa ke masa hukum Islam terus berkembang. Di Indonesia, hukum Islam secara dinamis bergerak dari konsepnya yang paling minimalis ke suatu tataran yang lebih luas sebagaimana yang dapat kita rasakan saat ini dengan lahirnya berbagai produk peraturan perundang-undangan berkenaan dengan hukum Islam seperti kompilasi hukum Islam (KHI) dan sejenisnya.

Baginya, masa depan hukum Islam tergantung bagaimana para pakar, regulator, akademisi, dan ulama memaknai perkembangan hukum Islam saat ini. Selama ini, sambungnya, perbincangan tentang hukum Islam lebih disibukkan dengan perdebatan yang kurang produktif. Hanya berkutat pada persoalan teks atau tataran literal sehingga belum membumi dan dirasakan oleh masyarakat.

“Perdebatan yang sifatnya literal tidak selalu memiliki nilai positif. Hukum Islam yang positif dan baik itu adalah hukum Islam yang berdampak. Inilah yang menjadi tantangan bagaimana hukum Islam dapat masuk pada sisi-sisi substansial yang berdampak,” ujarnya.

Di sisi lain, Mufliha Wijayati menilai hukum Islam, khususnya hukum keluarga Islam memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Ini ditandai dengan masih eksisnya hukum keluarga Islam sampai sekarang ini dan bahkan mampu berdialog dengan budaya lokal, adat istiadat, dan juga modernitas serta perkembangan isu global.

Kendati demikian, hukum keluarga Islam tidak serta merta terbebas dari berbagai macam tantangan kontemporer. Hukum keluarga Islam mesti mampu menjawab sejumlah tantangan-tantangan yang berdampak negatif pada ketahanan keluarga, seperti maraknya pinjaman online, judi online, dan kemiskinan ekstrem.

“Hal ini menjadi penting agar hukum Islam tidak sekadar menjadi objek kajian, tetapi mampu menjadi subjek yang berdampak,” kata guru besar bidang hukum keluarga Islam IAIN Metro ini.

Adapun Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kelembagaan IAIN Ponorogo Luthfi Hadi Aminuddin menyoroti potensi besar ekonomi Islam Indonesia yang tidak dikelola dengan maksimal. Dalam pengamatannya, hal ini dikarenakan belum adanya suatu kesepahaman yang sama antara regulator (pemerintah) dan aktor (akademisi dan pelaku usaha) mengenai ekonomi Islam.

Lebih lanjut, Luthfi membeberkan sejumlah faktor lain yang menyebabkan potensi besar ekonomi Islam di Indonesia tidak signifikan. Pertama adalah rendahnya literasi dan edukasi masyarakat tentang ekonomi Islam atau lebih dikenal dengan ekonomi syariah. Kedua, para pengajar ekonomi syariah kebanyakan tidak di berkecimpung di lembaga atau dunia praktisi ekonomi syariah sehingga pengajaran tentang ekonomi syariah lebih menitikberatkan aspek teoritis dan kurang peka terhadap realitas di lapangan.

“Oleh karena itu, yang harus dilakukan oleh perguruan tinggi adalah mereformasi kebijakan akademik. Jadi, harus ada reformasi atau revisi kurikulum ekonomi syariah dengan pendekatan OBE (outcome-based education). Perguruan tinggi juga perlu bersinergi dengan regulator dan industri sehingga menjadi jembatan penghubung yang dapat mengeliminasi gap antara teori dan praktik,” ungkapnya.

Sementara itu, Siti Ruhaini Dzuhayatin merefleksikan kembali pengalaman dan perjalanannya selama membidani Komisi HAM Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Tugas utama yang diembannya ialah mengharmonisasikan Deklarasi Kairo dan Deklarasi Universal HAM sehingga tidak ada lagi dikotomi HAM antara dunia Islam dan Barat.

Dalam kajiannya, istilah dan pemaknaan syariah yang termuat dalam Deklarasi Kairo menjadi pemicu atau titik pisah antara Deklarasi Kairo dengan Deklarasi Universal HAM. Hal ini disebabkan oleh pemaknaan syariah yang tidak tunggal di kalangan komunitas Muslim.

“Persoalan syariah inilah yang sebetulnya menjadi titik pisah antara dunia Islam atau dunia Muslim dengan dunia internasional di tingkat multilateral atau tingkat PBB. Inilah sebetulnya yang harus kita pikirkan tentang bagaimana melihat relevansi dan juga kontekstualisasi dan impact dari penggunaan istilah syariah di tataran global,” tuturnya.

Dalam konteks ekonomi syariah, guru besar fakultas syariah dan hukum UIN Sunan Kalijaga ini mengajak para pakar, akademisi, dan praktisi ekonomi syariah untuk memikirkan kembali konsep ekonomi Islam yang dapat berdampak positif tidak hanya dalam skala nasional, melainkan juga global. Oleh karena itu, penggunaan istilah syariah yang disandingkan dengan kata ekonomi perlu dikaji secara kritikal agar tidak terkesan menegasikan ekonomi non-syariah.

“Ini harus dipikirkan bagaimana ekonomi Islam bisa impactful secara global. Apakah nanti ekonomi syariah ini akan impactful atau justru mengisolasi diri dari percaturan global?” tegasnya.

Menanggapi diskursus hukum dan ekonomi Islam tersebut, Direktur Eksekutif Teras Kebinekaan Moh. Shofan menilai bahwa wajah ekonomi Islam sejatinya tidak tunggal. Untuk itu, pendekatan lintas disiplin diperlukan untuk menemukan formula jitu terkait ekonomi Islam yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat di akar rumput. Lebih lanjut, Shofan mendorong ekonomi Islam diobjektifikasi sebagaimana tawaran Kuntowijoyo supaya tidak ada lagi dikotomi antara ekonomi yang islami dan non-islami.

Sedangkan Neni Nur Hayati mengatakan bahwa partisipasi aktif masyarakat, termasuk akademisi dan pakar hukum Islam menjadi penting dalam mengawal berbagai kebijakan publik yang berkaitan dengan hukum Islam. Hal ini dikarenakan para pejabat acap salah kaprah dalam memahami dan memaknai ruh atau substansi hukum Islam itu sendiri.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER