MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI Junico Siahaan mengecam gerakan yang menyerukan Papua, Maluku dan Aceh Merdeka dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia meminta Pemerintah menjelaskan apakah pihaknya turut memfasilitasi kehadiran pihak yang menggaungkan isu separatis di United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) atau badan penasehat tingkat tinggi khusus masyarakat adat di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial PBB tersebut.
“Perlu ditelusuri dulu ini, apakah dalam UNPFII, Pemerintah terlibat atau tidak? atau mereka (PBB) langsung reach (menjangkau) orang-orang adat itu sendiri?” ujar Junico, Senin (28/4/2025).
Diberitakan sebelumnya, gerakan separatis Papua, Maluku, hingga Aceh Kembali menjadi sorotan setelah slogan ‘Free Papua, Free Maluku, dan Free Aceh’ muncul di forum PBB baru-baru ini.
Dalam sejumlah foto dan video yang beredar di media sosial, sekelompok orang diduga warga negara Indonesia (WNI) dengan berpakaian adat berfoto sambil mengacungkan kertas bertuliskan ‘Free Maluku, Free Papua dan Free Aceh’ dalam sidang UNPFII ke-24 di ruang sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat pada Senin (21/4).
Aksi itu mendapat perhatian setelah petugas keamanan forum yang telah diberitahu langsung menyita selebaran tersebut dan memberikan peringatan keras kepada para pelakunya. Selebaran dengan pesan separatis itu pun segera ditanggapi oleh Pemerintah Indonesia sebagai tindakan provokasi yang tidak sesuai dengan tujuan forum tersebut.
Menurut Junico, Pemerintah tidak bisa hanya menanggapi tindakan provokasi ini dengan menyebutnya sebagai upaya untuk mencari sensasi, namun harus juga mencari tahu dari mana asal pembawa kertas berslogan ‘Free Maluku, Free Papua dan Free Aceh’ itu.
“Pemerintah jangan sampai lepas tangan juga. Kalau misalnya Pemerintah terlibat pada UNPFII, kenapa orang-orang ini yang diutus ke PBB?” tegas pria yang akrab disapa Nico Siahaan itu.
Jika memang Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu) tak dilibatkan dalam forum UNPFII, menurut Nico, Kemlu harus melakukan evaluasi mengapa Indonesia sampai tidak terlibat dalam forum PBB tersebut. “Dari Kemlu siapa yang terlibat. Dan kalau emang nggak dilibatkan, evaluasinya ke depan bagaimana Kemlu terlibat pada hal ini,” kata Nico.
“Sehingga nantinya perwakilan yang dikirim yang paling mumpuni,” imbuhnya.
Kemlu melalui sang Juru Bicara, Rolliansyah Soemirat sudah buka suara terkait adanya insiden sejumlah orang membawa lembaran kertas bertuliskan Free Papua, Free Maluku dan Free Aceh di forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Amerika Serikat.
Atas adanya insiden itu, sejumlah orang yang menyalahgunakan forum dengan membawa selebaran Free Papua tersebut ditindak dan diberi peringatan. Roy mengatakan kertas yang dibawa delegasi tersebut lalu disita oleh petugas keamanan PBB.
Adapun forum PBB United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) merupakan forum yang membahas isu terkait masyarakat adat, terutama terkait dengan pembangunan, hak asasi manusia dan lingkungan. Forum ini dihadiri oleh delegasi dari ratusan negara dan organisasi masyarakat adat.
Sidang UNPFII yang digelar dua tahunan itu biasanya menjadi forum bagi berbagai negara dan organisasi masyarakat adat dunia untuk membahas pelaksanaan UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat adat di berbagai belahan dunia.
Kemlu menjelaskan, forum tersebut digunakan oleh negara-negara anggota PBB untuk melakukan tukar pikiran mengenai upaya pemberdayaan masyarakat, serta membahas kerja sama antara negara-negara yang memiliki kesamaan pandangan mengenai upaya pemberdayaan masyarakat. Dalam forum itu Pemerintah Indonesia hadir secara resmi.
Meski begitu, delegasi yang menyebarkan pesan separatis di UNPFII disebut datang di bawah sebuah NGO atau organisasi non-pemerintah. Mereka merentangkan tulisan Free Papua, Free Maluku dan Free Aceh jelang pembukaan Sidang UNPFII.
Berdasarkan informasi, mereka berasal dari Kelompok Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) dan West Papua Liberation Organization (WPLO). Perwakilan dari ASNLF bernama Tengku Fajri Krueng dan Muhammad Hanafiah. Sementara, perwakilan WPLO ada John Anari dan Martin Go.
Walaupun telah diingatkan pada kesempatan pertama, kelompok ini kembali membuat keributan di forum tersebut. Di jadwal sidang berikutnya, Tengku Krueng yang mengaku mewakili bangsa pribumi Aceh Sumatera menyebut bahwa Indonesia telah mengeksploitasi tanah Aceh, mengambil sumber daya demi membiayai operasi sipil dan militer Indonesia dan menghancurkan kehidupan masyarakat Aceh.
Dalam forum yang dihadiri banyak negara, Tengku Krueng juga menyebut Indonesia sebagai pencuri kekayaan Aceh, dan secara terbuka melakukan pelanggaran HAM berat tanpa hukuman. Ia mendesak PBB untuk meminta pertanggungjawaban Indonesia atas kejahatan terhadap rakyat Aceh, Papua dan Maluku.
“Ini parah, sudah diingatkan tapi terus berulah, terus bagaimana komunikasi Kemlu dengan organisasi ini? Kok bisa mengundang masyarakat adat yang masih gemar provokasi,” ungkap Nico.
Di sisi lain, anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan pertahanan dan hubungan internasional tersebut merasa aneh karena isu pembebasan Aceh dan Maluku kembali digaungkan padahal persoalan tersebut sudah selesai sejak lama. Sehingga, menurut Nico, patut dipertanyakan sekelompok orang pembawa slogan di sidang PBB itu mewakili siapa.
“Kan ini aneh kenapa mereka bawa isu free Aceh, free Maluku. Masalah itu dah selesai lama. Kalau Free Papua mungkin masih ada sekarang. Jadi perlu dipertanyakan, mereka me-representatifkan siapa?” tukasnya.
“Siapa yang mengusulkan orang-orang yang datang ini? Dari Pemerintah atau ada pihak-pihak di sini yang jadi kolega mereka yang tidak terkomunikasikan dengan Pemerintah?” lanjut Nico.
Nico pun berharap, Pemerintah turut memantau dan mengawasi organisasi-organisasi yang hadir dalam acara resmi internasional seperti forum PBB, termasuk UNPFII. Hal ini dilakukan agar tidak ada peristiwa yang bisa memperburuk citra Indonesia di mata dunia dan memperkeruh stabilitas politik nasional.
“Kita harap Pemerintah ikut mengawasi organisasi-organisasi seperti ini, supaya kalau ada peristiwa seperti itu lagi, Pemerintah tidak angkat tangan,” ucap Legislator dari Dapil Jawa Barat I tersebut.
“Ini kan organisasi internasional, paling tidak segala aktivitas seperti ini bisa dimitigasi atau dipetakan sebelumnya,” tambah Nico.
Nico juga mengingatkan agar insiden tersebut menjadi evaluasi bagi Kemlu, khususnya terhadap keterlibatan perwakilan organisasi masyarakat dalam forum internasional. Menurutnya, Pemerintah harus mengantisipasi potensi kejadian serupa dan bersikap tegas agar tak terulang lagi di kemudian hari.
“Tindakan itu merupakan penyalahgunaan forum internasional yang tidak bisa dibiarkan. Pemerintah harus bersikap tegas,” tutup Nico Siahaan.