MONITOR, Jakarta – National trade estimate report tertanggal 6 April 2025 dari pemerintah amerika mengkritisi kebijakan sertifikasi halal yang ditetapkan dalam UU No 33 tahun 2014 tentang kewajiban sertifikasi halal pada semua produk yang diperjual belikan di indonesia, selain itu semua turunan produk UU no 33/2014 tersebut juga mendapat perhatian.
Direktur CFIRST Arif Mirdjaja mengungkapkan bahwa; “UU no 33/2014 ttg produk halal itu sejatinya sudah diskriminatif. Seharusnya pemerintah melaporkan rencana pembentukan UU tersebut kepada komite WTO (world trade organization) tentang hambatan teknis perdagangan sebelum UU disahkan, sehingga tidak mempersulit posisi indonesia dalam perdagangan internasional. Salah satu pertimbangan Amerika mengenakan sangsi tarif dengan indonesia adalah isu sertifikasi halal, ini dianggap trade barrier yang membuat export amerika defisit, kewajiban sertifikasi halal dianggap sebagai mempersulit produk amerika utk masuk ke indo.
Pemerintah harus merevisi, UU tentang produk halal, juga Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) No. 3/2023 yang mengatur tentang akreditasi lembaga sertifikasi halal (LPH) asing, dimana penilaian kesesuaian yang harus dilakukan oleh BPJPH, keberadaan lembaga sertifikasi halal ini menyebabkan hambatan teknis bagi produk amerika.
Aktivis 98 ini juga mengungkapkan bahwa pemerintahan trump punya priority “America first” sehingga negara2 yang membuat trade barrier yang merugikan amerika harus diberi sangsi, saya berharap pemerintah bisa membaca gejala dalam jelaga bahwa sangsi tarif buat indonesia bukan murni tentang sangsi dagang, karena bertahun tahun trade dengan amerika export kita selalu surplus dan tidak pernah ada sangsi. Artinya ada alasan non ekonomi yg dilihat Amerika, karena kewajiban sertifikasi halal juga dianggap diskriminatif terhadap kel non muslim.