Kamis, 6 Maret, 2025

Komisi II DPR Gelar RDPU, Deddy Sitorus: Pemilu 2024 Paling Jelek

MONITOR, Jakarta – Komisi II DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah pakar untuk menghimpun pandangan dan masukan terkait sistem politik dan sistem pemilu. Diskusi ini menjadi bagian dari upaya perbaikan Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Dalam rapat yang berlangsung di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025), Anggota Komisi II DPR RI, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, menyoroti banyaknya kekurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Menurutnya, pemilu kali ini menjadi salah satu yang paling bermasalah dalam sejarah demokrasi Indonesia.

“Pelaksanaan pemilu kemarin memang penuh dengan kekurangan, centang perenang, dan dalam bahasa lain, bisa dikatakan sebagai yang paling jelek dalam sejarah kepemiluan kita,” ujar Deddy.

Ia membandingkan kondisi tersebut dengan Pemilu 1999, di mana saat itu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) berasal dari partai politik, tetapi penyelenggaraannya justru lebih baik. Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan buruknya pemilu kali ini, baik dari sisi internal maupun eksternal.

- Advertisement -

Faktor Internal dan Eksternal

Deddy menguraikan bahwa faktor internal mencakup masalah teknis, kelemahan penyelenggara pemilu, serta kurang optimalnya peran pengawas pemilu. Sementara itu, faktor eksternal lebih luas, termasuk keterlibatan pejabat publik dalam proses pemilu yang dinilai mencederai prinsip keadilan.

“Kita juga melihat bagaimana kepala desa, pejabat kepala daerah, anggaran bansos, hingga orang yang paling berkuasa turun ke satu provinsi sampai 11 kali. Ini persoalan eksternal yang sangat berpengaruh dan bisa merusak proses maupun hasil pemilu,” tegasnya.

Deddy juga menyinggung keberadaan “partai coklat” (parcok) yang ramai diperbincangkan saat pemilu tetapi tidak mendapat perhatian lebih dalam pembahasan resmi. Selain itu, ia mengkritik peran Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam beberapa putusan dinilai melampaui kewenangannya (ultrapetita), seperti dalam kasus sengketa pemilu di Papua, yang seharusnya merupakan ranah administratif.

Perbaikan Sistem 

Diskusi dalam RDPU ini turut membahas kemungkinan penerapan sistem pemilu campuran (mixed system). Sejumlah pakar yang hadir, seperti Delia Wildianti (Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia) dan Hadar Nafis Gumay (Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity), berpendapat bahwa perbaikan sistem lebih penting daripada sekadar mengganti mekanisme pemilu.

Deddy pun mengingatkan agar revisi UU Pemilu tidak hanya berfokus pada perubahan sistem secara drastis, tetapi lebih pada perbaikan yang berkelanjutan.

“Tidak ada sistem pemilu yang sempurna. Sebaiknya yang ada itu terus diperbaiki, bukan terus-menerus diganti. Jangan karena sistem sekarang dianggap buruk, lalu kita menggantinya dengan yang lain, tetapi akhirnya masalah yang sama tetap terulang,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya memperbaiki moralitas penyelenggara negara serta memperkuat posisi partai politik agar sejalan dengan semangat sistem presidensial yang diamanatkan dalam konstitusi.

Diskusi ini diharapkan menjadi dasar bagi Komisi II DPR RI dalam menyusun revisi UU Pemilu dan UU Pilkada agar pemilu mendatang lebih transparan, adil, dan demokratis.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER