Minggu, 9 Februari, 2025

IPW: Dominus Litis Berpotensi Munculkan Arogansi Kejaksaan

MONITOR, Jakarta – Indonesia Police Watch (IPW) menyebut bahwa selain bertentangan dengan Konstitusi, wacana penerapan Dominus Litis dalam RUU KUHAP juga akan memunculkan arogansi dari lembaga Kejaksaan.

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, mengungkapkan bahwa Asas Dominus Litis adalah asas hukum yang melekat kepada seorang Jaksa, yang menempatkan Jaksa sebagai pengendali perkara di proses persidangan.

“Jadi Jaksa memiliki kewenangan untuk melanjutkan satu perkara untuk diajukan ke penuntutan atau tidak. Jaksa juga bisa menentukan tuduhan dalam perkara tersebut dan juga argumentasi yang akan digunakan. Intinya Dominus Litis adalah satu kewenangan Jaksa dalam pengendalian perkara di pengadilan,” ungkap Sugeng Teguh Santoso melalui siaran pers, Jakarta, Sabtu 8 Februari 2025.

Akan tetapi, Sugeng menyampaikan, di dalam RUU KUHAP, asas Dominus Litis ini ternyata dikembangkan menjadi lebih luas dan merambah kepada wilayah yang menjadi kewenangan institusi lain, yakni Polri.

- Advertisement -

Sugeng menyebutkan, di dalam ketentuan pasal 28 RUU KUHAP dikatakan bahwa Jaksa bisa meminta dilakukan penyidikan, Jaksa juga bisa meminta dilakukan penangkapan dan penahanan. Kemudian dalam pasal 30 disebutkan bahwa Jaksa bisa meminta dilakukan Penghentian Penyidikan, bahkan dalam pasal 30 disebutkan juga bahwa penghentian penyidikan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan tertulis dari Jaksa.

“Nah ini ketentuan KUHAP memperluas prinsip Dominus Litis, menempatkan Jaksa Penuntut Umum menjadi satu Super Body dalam suatu proses penegakan hukum pidana. Posisi Super Body ini bisa menggusur kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik,” ujarnya.

Sugeng mengatakan, jika Dominus Litis seperti di atas jadi diterapkan dalam KUHAP, maka Kejaksaan akan memiliki kewenangan Absolut dalam penegakan pidana, kewenangan Absolut selalu memiliki celah dan berpotensi terjadi penyelewengan kekuasaan.

“Oleh karena itu, IPW berpendapat harus hati-hati, jangan diberikan absolutisme yang besar kepada katakanlah kepada Kejaksaan untuk menentukan suatu proses perkara pidana, harus hati-hati di dalam politik hukum kita, di dalam merubah KUHAP ini,” katanya.

Sugeng mengungkapkan, penerapan asas Dominus Litis yang diperluas di dalam pasal 28 dan 30 RUU KUHAP ini tidak sama dengan yang disebut Check and Balances, ini bahkan mengarah kepada Absolutisme atau pemusatan kewenangan kepada satu lembaga.

“Memang proses Check and Balances kerja penyidikan oleh Polisi itu penting ya, tetapi menurut saya tidak diserahkan kepada Kejaksaan, tapi diserahkan kepada lembaga Yudikatif,” ungkapnya.

Jadi misalnya, Sugeng menyampaikan, untuk hal penangkapan dan penahanan bukan Jaksa yang memberikan persetujuan tertulis atau permintaan, tetapi adalah Hakim Komisaris, jadi ada satu model yang bisa digunakan dari lembaga Yudikatif yang disebut Hakim Komisaris.

“Jadi kalau penyidik polisi ingin menangkap dan menahan, maka mereka wajib meminta persetujuan daripada Hakim Komisaris. Juga terkait dengan penyitaan, penyitaan apapun wajib meminta persetujuan, tidak dapat lagi misalnya sekarang main sita kemudian baru minta persetujuan, tapi harus dengan izin,” ujarnya.

Sugeng mengatakan, Hakim Komisaris yang ditempatkan adalah orang-orang yang direkrut dari para advokat-advokat senior yang memiliki integritas, jadi ada perekrutan Hakim Komisaris yang bertugas mengontrol, Check and Balances kerja daripada penyidik.

Terkait Dominus Litis, Sugeng mengungkapkan, tidak bisa lepas daripada kehidupan berkonstitusi dan politik hukum atau kebijakan politik hukum yang harus berdasarkan konstitusi.

Menurut Sugeng, dalam ketentuan UUD pasal 24 ayat 3 menyatakan bahwa Jaksa Agung atau Jaksa Agung Muda mewakili kepentingan umum dan melakukan tugas penuntutan di pengadilan.

“Jadi kontitusi sudah memberikan satu fungsi kepada Kejaksaan yaitu sebagai Penuntut Umum dalam sidang di pengadilan,” ungkapnya.

Artinya, Sugeng menyampaikan, sudah ada pemisahan tugas dan kewenangan yang disebut dengan diferensiasi fungsi, dimana Jaksa dalam konstitusi RI diberikan kewenangannya adalah melakukan penuntutan, walaupun kemudian ada diberikan juga kewenangan lain berdasarkan UU, tapi kewenangan lain ini tidak boleh bertabrakan dengan kewenangan lembaga negara yang lain.

“Polri juga kewenangannya diatur di dalam UUD 45, dalam ketentuan pasal 30 ayat 4 diatur Polri adalah alat negara yang bertugas melakukan perlindungan, pelayanan dan pengayoman serta penegakan hukum. Nah di dalam penegakan hukum ini sudah jelas berdasarkan KUHAP UU Nomor 8 Tahun 1981, tugas kepolisian adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan,” ujarnya.

Sugeng menegaskan, konstitusi sudah memberikan satu pembedaan atau pemisahan tugas, Polisi berdasarkan pasal 30 ayat 4 UUD 45 melakukan penegakan hukum dalam hal ini adalah penyelidikan dan penyidikan, sedangkan Kejaksaan berdasarkan pasal 23 UUD 45 diberikan kewenangan untuk mewakili negara atau mewakili masyarakat umum dalam melakukan penuntutan di pengadilan.

“Jadi kita kembali kepada prinsip-prinsip dasar itu,” katanya.

Sugeng mengungkapkan, jika wacana Dominus Litis dalam arti dominasi Kejaksaan di dalam penanganan perkara pidana diterapkan dalam RUU KUHAP, maka berarti munculnya kewenangan yang lebih besar dari Kejaksaan ketimbang Polri.

“Padahal di dalam konstitusi atau UUD 45 sudah diberikan pembedaan fungsi dan tugas, yaitu bahwa Polri melakukan Penyidikan secara independen, kemudian Jaksa melakukan penuntutan,“ ungkapnya.

Jika Dominus Litis di dalam RUU KUHAP itu diterapkan, Sugeng menyebutkan, maka akan muncul juga perbedaan di antara dua lembaga negara yang setara di dalam konstitusi, ketidaksetaraan berdasarkan peraturan KUHAP ini tentu bertentangan dengan teori Stuvenbou Theory.

“Berpotensi memunculkan arogansi satu institusi, yaitu arogansi institusi Kejaksaan atau aparatur Kejaksaan karena merasa memiliki kewenangan yang lebih besar, arogansinya bisa muncul,” ujarnya.

Sugeng mengungkapkan, Dominus Litis seperti dalam RUU KUHAP itu juga akan menimbulkan masalah konstitusional, yakni sengketa kelembagaan negara yang berujung kepada Mahkamah Konstitusi.

“Ini kan menimbulkan suatu praktek yang tidak baik. Kalau kita sudah bisa mengukur politik hukum ini akan menimbulkan masalah, sebaiknya jangan dilakukan,” ungkapnya.

“Jadi menurut saya, pemberian kewenangan kepada Kejaksaan untuk mengintervensi penyidikan atau bahkan mengambilalih, ini bisa membuat arogansi lembaga negara yang satu kepada yang lain, yaitu Kejaksaan kepada Kepolisian. Ini bisa menimbulkan keruntuhan moral daripada Kepolisian,” ujar Sugeng melanjutkan.

Sugeng mengatakan, jika memang mau melakukan perbaikan, maka yang diperkuat adalah fungsi pengawasannya, baik internal maupun eksternal. Kemudian yang kedua, para pimpinan Kepolisian atau Kejaksaan melakukan tindakan yang tegas kepada anggota yang diduga melanggar, bukan dengan merubah kewenangannya.

“Di dalam penyusunan UU, kita ingin menyusun satu UU yang menjangkau masa yang jauh ke depan, bukan kepentingan sesaat. Ini bisa menimbulkan masalah kalau Dominis Litis ini diterapkan secara serampangan, secara bertentangan dengan konstitusi,” katanya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER