MONITOR, Jakarta – Anggota DPR RI Prof. Rokhmin Dahuri, menjadi narasumber dalam Kuliah Umum bertajuk “Peran Perguruan Tinggi dalam Ekonomi Hijau di Era Society 5.0” yang diadakan di Kampus Politeknik Siber Cerdika Internasional, Desa Panambangan, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, pada Sabtu, 14 Desember 2024. Dalam kuliah umum ini, Prof. Rokhmin Dahuri membahas pentingnya peran perguruan tinggi dalam mendukung ekonomi hijau di era Society 5.0.
“Perguruan tinggi harus menjadi pusat inovasi dan penelitian yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri membawakan tema “Peran Perguruan Tinggi Dalam Ekonomi Hijau Di Era Society 5.0 Menuju Indonesia Emas 2045”.
Selain itu, beliau juga mengajak para mahasiswa dan akademisi untuk aktif terlibat dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dan memanfaatkan teknologi untuk menciptakan solusi yang inovatif dan berkelanjutan.
Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat, yang dikenal sebagai Indonesia Emas.
“Potensi ini dapat diwujudkan melalui berbagai langkah strategis, termasuk pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, peningkatan kualitas pendidikan dan teknologi, serta pembangunan infrastruktur yang merata di seluruh wilayah Indonesia,” tegasnya.
Beliau juga menekankan pentingnya kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam mencapai tujuan ini. Dengan komitmen bersama dan visi yang jelas, Indonesia dapat menjadi negara yang tidak hanya maju secara ekonomi, tetapi juga adil dalam pembagian kemakmuran dan berdaulat dalam menjalankan kebijakan-kebijakan nasionalnya.
Prof. Rokhmin Dahuri menekankan pentingnya pendidikan berbasis keberlanjutan. Menurut beliau, dengan pendidikan yang berfokus pada keberlanjutan, generasi muda akan memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya menjaga lingkungan serta menguasai teknologi yang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan.
Prof. Rokhmin Dahuri berharap, dengan adanya kolaborasi ini, akan terbentuk generasi wirausaha muda yang inovatif dan kreatif, yang mampu menghadapi tantangan di era Society 5.0 dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia.
“Kerja sama ini bertujuan menciptakan desa cerdas yang mandiri dan inovatif, dengan fokus pada peningkatan ekonomi berbasis digital dan layanan publik,” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University itu.
Prof. Rokhmin Dahuri menterjemahkan definisi tujuh kebijakan pembangunan TSE. Yakni: Pertama, Dari dominasi eksploitas SDA dan ekspor komoditias (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur atau Hilirisasi (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor Tersie) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable)..
Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa semua kebijakan pembangunan ekonomi harus berbasis pada prinsip-prinsip Pancasila sebagai pengganti kapitalisme. Selain itu, kebijakan tersebut harus mengintegrasikan konsep Ekonomi Hijau (Green Economy), Ekonomi Biru (Blue Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0), serta memastikan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) lebih dari 50%.
“Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan, adil, dan berdaulat. Pendekatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga kelestarian lingkungan, dan memanfaatkan teknologi untuk kemajuan ekonomi nasional,” sebut Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.
Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan bahwa Kabupaten Cirebon memiliki potensi yang besar untuk menjadi pusat kegiatan nasional dan metropolitan. Namun, tantangan yang dihadapi cukup kompleks dan beragam.
Beliau menyoroti beberapa kekuatan dan peluang yang dimiliki Kabupaten Cirebon, seperti posisi strategisnya sebagai pintu gerbang masuk ke Provinsi Jawa Barat dan sebagai pendukung Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Selain itu, Kabupaten Cirebon juga memiliki potensi ekonomi yang signifikan, terutama dalam sektor perikanan dan kelautan.
Namun, ada juga berbagai tantangan yang perlu diatasi, seperti kekurangan infrastruktur yang memadai, keterbatasan akses terhadap teknologi, dan perluasan lahan pertanian yang masih rendah.
Prof. Rokhmin Dahuri menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem pembangunan yang berkelanjutan dan berdaya saing.
Dengan pendekatan yang holistik dan strategis, Prof. Rokhmin Dahuri berharap Kabupaten Cirebon dapat berkembang menjadi daerah yang maju, sejahtera, dan berdaulat, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045.
Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan status dan permasalahan pembangunan Kabupaten Cirebon. Tahun 2024, tingkat kemiskinan Prov. Jawa Barat sebesar 7,46% (Urutan ke-23 dari 38 Provinsi di Indonesia).
Koefisien GINI Prov. Jawa Barat sebesar 0,421 (Tertinggi ke-3 dari 38 Provinsi di Indonesia). “Suatu daerah otonom atau negara dikategorikan secara sosek adil, jika Koefisien GINI lebih 0,3,” ujar Prof Rokhmin Dahuri mengutip Pareto, 1970.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat sebesar 74,92 (Urutan ke-15 dari 38 Provinsi di Indonesia). Sedangkan suatu Daerah Otonom atau Negara dikategorikan maju, bila IPM lebih 80 (UNDP, 2010)
PDRB Kab. Cirebon berada diurutan ke-12, dan PDRB per kapita terendah ke-4 di Prov. Jawa Barat. Sedangkan menurut Kemenkeu, 2016, warga negara wajib pajak adalah yang income nya lebihRp 60 juta/tahun.
Pada prinsipnya, menurut Prof Rokhmin Dahuri, ada 5 kecenderungan global (Key Global Trends) yang mempengaruhi pembangunan ekonomi dan peradaban manusia di abad-21. Antara lain: (1) jumlah penduduk dunia yang terus bertambah; (2) Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat); (3) Perubahan Iklim Global (Global Climate Change); (4) Dinamika Geopolitik; (5) Era Post-Truth.
“Padahal seharusnya pemanfaatan berbagai teknologi industry-4.0 dapat meningkatkan dan mengefektifkan sektor eksplorasi, produksi, dan pengolahan (manufacturing) SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat secara berkelanjutan,” terang Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.
Pada era post-truth sekarang ini bangsa Indonesia perlu bersikap waspada karena hoaks politik dapat melemahkan ketahanan nasional, bahkan memecah belah NKRI, sehingga mengganggu proses pembangunan nasional yang sedang berjalan (Amilin, 2019).
Oleh sebab itu, sistem dan lembaga Pendidikan Tinggi harus mampu mendesain dan memberikan kapasitas kepada para mahasiswa nya dan bangsa Indonesia yang dapat mengelola atau mengatasi fenomena VUCA tersebut.
Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan hasil riset yang bertajuk “World’s Most Literate Nations Ranked” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016. Dalam riset tersebut, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca. “Temuan ini menunjukkan betapa rendahnya minat membaca di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia,” katanya.
Prof. Rokhmin Dahuri menekankan pentingnya meningkatkan literasi di Indonesia, karena kemampuan membaca dan minat terhadap literatur adalah dasar penting bagi kemajuan bangsa.
Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di Asean Human Development Index As of 2022, Indonesia was ranked 112th out of 193 countries, or ranked 5th in ASEAN.
“Implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah: Proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi,” kata Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.
Prof. Rokhmin Dahuri mendefinisikan ekonomi kelautan sebagai kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan. Serta kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia.
Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menuturkan, transformasi Struktural Ekonomi di Bidang Blue Economy meliputi: (1) realokasi faktor produktif dari pertanian tradisional ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; dan (2) realokasi faktor-faktor produktif tersebut ke dalam kegiatan sektor manufaktur dan jasa. Hal ini juga berarti pengalihan sumber daya (faktor produktif) dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor dengan produktivitas tinggi.
“Hal ini juga terkait dengan kapasitas negara untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional untuk menghasilkan kegiatan ekonomi baru, memperkuat hubungan ekonomi dalam negeri, dan membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri, ” terangnya mengutip PBB, 2008.
Selanjutnya, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, untuk lapangan kerja 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia. Pada 2014 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 20%. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya kurang dari 30 persen.
Kontribusi sektor perikanan 2,74% terhadap PDB hanya dihitung dari bahan baku (raw materials). Bila dimasukkan produk olahannya (ikan kaleng, ikan fillet, bandeng presto, breaded shrimp, dan surimi-based products), kontribusinya sekitar 6% (Bappenas, 2014).
“Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia sejatinya memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama),” tegasnya.
Ekonomi hijau berkontribusi pada penciptaan pekerjaan di sektor energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan pertanian berkelanjutan, menciptakan
masyarakat yang inklusif.
PBB memprediksi transisi ke ekonomi hijau akan menciptakan 24 juta pekerjaan baru secara global pada tahun 2030 (ILO, 2018) . Pertama, menciptakan lapangan kerja hijau. Kedua, mengurangi kesenjangan sosial.
Ekonomi hijau mendukung akses energi bersih dan infrastruktur keberlanjutan untuk masyarakat terpencil, menciptakan kesetaraan dalam akses layanan dasar.
Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa semua kebijakan pembangunan ekonomi harus berbasis pada prinsip-prinsip Pancasila sebagai pengganti kapitalisme. Selain itu, kebijakan tersebut harus mengintegrasikan konsep Ekonomi Hijau (Green Economy), Ekonomi Biru (Blue Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0), serta memastikan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) lebih dari 50%.
“Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan, adil, dan berdaulat. Pendekatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga kelestarian lingkungan, dan memanfaatkan teknologi untuk kemajuan ekonomi nasional,” sebutnya.
Komitmen untuk mencapai NZE pada tahun 2060 atau lebih dini memerlukan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. PLN dan berbagai pihak terkait terus berupaya untuk mengakselerasi pencapaian transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
“Kebijkan fiskal yang mendukung program transisi energi untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,9% dan meningkatkan proporsi EBT dalam National Energy Mix menjadi 25% pada 2030, dan net-zero
carbon pada 2060,” katanya.