MONITOR, Jakarta – Dalam dua dekade terakhir, gerakan lingkungan yang diinisiasi oleh kelompok-kelompok agama semakin meningkat, termasuk oleh kelompok Islam. Gerakan-gerakan organisasi atau komunitas yang menggunakan identitas Islam, seperti ceramah lingkungan, ngaji lingkungan, fatwa lingkungan dan lainnya, seringkali terlihat dalam aktivisme lingkungan di Indonesia.
Menyoroti hal tersebut, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta melakukan rilis dan diskusi hasil temuan penelitian kualitatif dengan tema “Gerakan Green Islam: Harapan bagi Krisis Iklim di Indonesia?” pada hari Selasa tanggal 27 Agustus 2024 di Hotel Artotel Gelora Senayan Jakarta. Rilis dan diskusi ini turut mengundang tokoh dan aktivis dari organisasi lingkungan berbasis agama maupun organisasi lingkungan non-agama.
Dalam pemaparan hasil riset tersebut, Testriono, koordinator Riset Gerakan Green Islam, menyatakan bahwa Green Islam di Indonesia berkembang setidaknya melalui tiga fase. Fase awal yang bermula pada periode 1980-an, yaitu ketika MUI merumuskan Fatwa tentang Kependudukan, Kesehatan, dan Pembangunan pada Oktober 1983. Selanjutnya adalah fase pasca-tsunami Aceh 2004, di mana gerakan mitigasi risiko bencana dan bantuan pasca-bencana mendorong perkembangan gerakan Islam lebih dekat pada isu lingkungan. Yang terakhir adalah fase ecological turn, yang ditandai dengnan Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim Global di Istanbul, Turki, dan Paris Agreement pada tahun 2015.
Testriono juga menyatakan bahwa terdapat tiga pola pembentukan Green Islam di Indonesia. Pertama, gerakan Green Islam yang muncul dari organisasi-organisasi Islam, seperti LPBI pada NU, MLH, MDMC, dan LLHPB Aisyiyah pada Muhammadiyah, serta LPLHSDA pada MUI.
Kedua, gerakan Green Islam yang muncul dari organisasi lingkungan non-agama, seperti Greenpeace dengan Ummah For Earth dan HAkA dengan gerakan Teungku Inong. Ketiga, gerakan Green Islam yang sejak awal berdirinya memang ditujukan untuk integrasi Islam dan lingkungan, seperti FNKSDA, KHM, dan AgriQuran.
Perihal peta Green Islam di Indonesia, Testriono menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 142 kelompok organisasi atau komunitas Green Islam di berbagai daerah di Indonesia yang dikategorikan ke dalam tiga tipologi: konservasionis, pengkampanye kebijakan, dan mobilisator.
Mayoritas kelompok Green Islam terafiliasi secara struktural di bawah dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Banyak dari mereka bekerja di basis lokal daripada nasional dan internasional, dan paling banyak berjenis ormas keagamaan, dibandingkan NGO, komunitas, dan koalisi.
Sebagian besar aktivisme Green Islam menggunakan pendekatan pengkampanye kebijakan, dibandingkan konservasionis dan mobilisator.
Ketika ditanyakan mengapa aktivisme gerakan Green Islam belum menjadi gerakan besar yang dikenal publik? Testriono menyebut ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh gerakan Green Islam di Indonesia. Pertama, gerakan Green Islam masih terfragmentasi dan cenderung fokus pada isu-isu lokal di area mereka.
Kedua, sebagian organisasi belum mampu mengoptimalkan sumber daya yang mereka miliki, sebagian lainnya bahkan memang terbatas dalam hal sumber daya. Testriono juga menyebutkan beberapa tantangan lainya seperti kesenjangan pengetahuan antara aktivis dan konstituen serta belum maksimalnya pelibatan perempuan dalam gerakan Green Islam di Indonesia.
Selain itu, dari sisi pengambil kebijakan, Testriono menyoroti misalnya, bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum memanfaatkan secara maksimal kelompok Green Islam, agenda lingkungan belum masuk dalam program Kementerian Agama (Kemenag), serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga belum secara maksimal melibatkan aktivis perempuan Green Islam, padahal tiga kementerian tersebut merupakan lembaga yang dapat berperan penting dalam perkembangan gerakan Green Islam di Indonesia.
Di akhir presentasinya, Testriono menjawab pertanyaan apakah Green Islam merupakan harapan bagi krisis iklim di Indonesia? Secara afirmasi Testriono menjawab, iya dengan beberapa catatan.
“Iya, gerakan Green Islam dapat menjadi harapan, tapi mereka perlu mendapatkan dukungan kebijakan publik yang lebih luas, dan mampu mengatasi tantangan-tantangan yang mereka hadapi sendiri,” jelas Testriono.