MONITOR, Jakarta – DPR mengkritik keras perihal belasan anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) nasional putri tahun 2024 yang melepas jilbab saat pengukuhan Selasa lalu. Komisi II DPR RI berencana memanggil Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai lembaga yang kini berwenang terhadap pembentukan dan pembinaan Paskibraka untuk Upacara HUT RI.
Dalam klarifikasinya, Kepala BPIP Yudian Wahyudi menyebut tujuan anggota Paskibraka putri melepas hijab adalah untuk mengangkat nilai-nilai keseragaman dalam pengibaran bendera. Jika di tahun-tahun sebelumnya Paskibraka putri masih tetap boleh berhijab, tahun ini BPIP memutuskan untuk menyeragamkan tata pakaian dan sikap tampang Paskibraka 2024.
Ketentuan itu tertuang dalam Surat Edaran Deputi Diklat BPIP Nomor 1 Tahun 2024. Dalam surat edaran tersebut, tidak terdapat pilihan berpakaian hijab untuk anggota Paskibraka 2024.
“Ini pernyataan yang melukai publik. Kita sudah maju jauh dengan memberi hak semua pemeluk agama untuk melaksanakan keyakinannya,” kata Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera, Kamis (15/8/3034).
Pencopotan jilbab anggota Paskibraka Nasional 2024 saat pengukuhan ini menjadi polemik. Kritikan datang dari masyarakat hingga berbagai tokoh, termasuk pimpinan daerah yang mengirimkan perwakilan untuk anggota Paskibra Nasional.
Meski BPIP menyatakan tak ada pemaksaan bagi anggota Paskibraka muslimah untuk melemas jilbab, namun mereka terlebih dahulu menandatangani surat pernyataan tentang kesediaan mematuhi peraturan pembentukan dan pelaksanaan tugas Paskibraka sebelum melepas hijabnya.
Para orangtua yang anaknya melepas jilbab pun menyatakan kekecewaan atas peristiwa tersebut. Mardani menyatakan, penyeragaman Paskibraka yang tidak mengakomodir pakaian dengan jilbab justru tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
“Dalam Pancasila, setiap individu berhak untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Aturan yang dibuat BPIP jadi seperti ada ‘pemaksaan’ secara harus,” jelas Legislator dari Dapil DKI Jakarta I itu.
“Dan ‘pemaksaan’ untuk melepas jilbab dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak beragama,” sambung Mardani.
Mardani menambahkan, jilbab bagi banyak muslimah dianggap sebagai bagian dari identitas dan ekspresi diri. Dengan ‘memaksa’ seseorang untuk melepas jilbab, hal itu berarti membatasi kebebasan warga negara untuk berekspresi.
“Anak-anak anggota Paskibra seperti juga yang lain mesti dilindungi haknya. Termasuk memakai jilbab,” tegas Mardani.
Komisi II DPR sebagai mitra BPIP pun menyoroti penjelasan dari Kepala BPIP Yudian Wahyudi yang mengatakan penyeragaman pakaian Paskibraka berangkat dari semangat Bhinneka Tunggal Ika yang dicetuskan oleh pendiri bangsa sekaligus presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno.
Nilai-nilai yang dibawa oleh Soekarno, menurut Yudi, adalah ketunggalan dalam keseragaman. BPIP menerjemahkan ketunggalan tersebut dalam wujud pakaian yang seragam, terutama karena anggota Paskibraka ini akan bertugas sebagai pasukan.
Mardani mengingatkan, Bhinneka Tunggal Ika yang berarti ‘berbeda-beda tapi tetap satu’ memiliki makna keberagaman. Aturan BPIP dinilai justru bertentangan dengan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika.
“Bung Karno justru sangat menghargai keberagaman, jadi jangan sampai salah kaprah,” tukasnya.
Walaupun pada akhirnya pihak Istana memastikan anggota Paskibraka boleh tetap mengenakan jilbab ketika upacara HUT ke-79 RI di Ibu Kota Nusantara (IKN), Komisi II DPR ingin meminta penjelasan BPIP terkait aturan seragam tersebut yang menuai polemik.
Apalagi para anggota Paskibraka yang melepas jilbab diminta BPIP untuk membubuhkan tanda tangannya di atas materai Rp 10.000 yang menandakan pernyataan tersebut resmi dan mengikat di mata hukum. Komisi II DPR berharap aturan BPIP soal seragam Paskibra itu dapat direvisi sehingga persoalan seperti ini tidak terulang di kemudian hari.
“Saya akan usulkan agar DPR memanggil BPIP. Perlu ada pelajaran,” tutup Mardani.