MONITOR – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan jika Indonesia dan Malaysia bersama-sama ingin membuat perbedaan (berkontribusi secara signifikan) dalam proses (usaha) membangun dunia yang lebih baik, sejahtera, damai, dan berkelanjutan, maka kedua negara sahabat ini harus mengubah diri dari negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan tinggi (kaya) dan maju secara teknologi dan militer.
Hal tersebut di memberikan kuliah umum bertema Meningkatkan Kolaborasi Bersama Antara Indonesia dan Malaysia dalam Pendidikan, Inovasi, dan Ekonomi Biru-Hijau untuk Dunia yang Lebih Baik, Sejahtera, dan Berkelanjutan, di Universitas Malaya Malaysia, Selasa (30/7/2024).
Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong itu menuturkan untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) tersebut dan sekaligus mewujudkan negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat harus dimulai dengan tekad dan komitmen seluruh elemen bangsa menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas.
‘Mulai sekarang juga seluruh komponen bangsa (pemerintah, swasta, dan rakyat) harus bekerja cerdas, keras, ikhlas, dan sinergis untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (lebih dari 7% per tahun), berkualitas dan inklusif (banyak menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan seluruh rakyat secara berkeadilan), dan berkelanjutan (sustainable). Kemudian, daya saing yang tinggi dengan memproduksi barang dan jasa yang kompetitif (QCD) untuk memenuhi permintaan nasional dan ekspor,’ ujarnya.
Prof Rokhmin lantas membeberkan pengalaman sejumlah negara yang sukses mentransformasi dirinya dari negara miskin (berkembang) menjadi maju dan makmur, adalah karena mereka mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi diatas 7% per tahun selama minimal 15 tahun berturut-turut seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan Tiongkok melalui praktik pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
‘’Praktik pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di era digital (Era Industri 4.0), daya saing adalah kemampuan untuk memenangkan hadiah utama – preferensi konsumen – secara berulang, melalui inovasi berkelanjutan atas nama konsumen, dan menciptakan nilai yang sangat besar bagi para pemangku kepentingan pada saat yang sama (Charan, 2022),’’ ungkapnya.
Transformasi Struktural Ekonomi
Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkualitas, terang Prof Rokhmin langkah yang juga perlu dilakukan oleh kedua negara adalah dengan melakukan Transformasi Struktural Ekonomi diantaranya melalui pertama, realokasi faktor-faktor produksi dari pertanian tradisional ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; dan kedua realokasi faktor-faktor produksi tersebut di antara kegiatan sektor manufaktur dan jasa.
‘’Ini juga berarti mengalihkan sumber daya (faktor-faktor produksi) dari sektor-sektor dengan produktivitas rendah ke sektor-sektor dengan produktivitas tinggi. Ini juga terkait dengan kapasitas bangsa untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional yaitu untuk menghasilkan kegiatan-kegiatan ekonomi baru, untuk memperkuat hubungan ekonomi di dalam negeri, dan untuk membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri (PBB, 2008),’’ tuturnya.
Adapun kebijakan kebijakan pembangunan untuk transformasi struktural ekonomi, yaitu: pertama, Secara bertahap tetapi cepat menghentikan sistem ekonomi yang sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam (komoditas, bahan baku) dan tenaga kerja murah, dan beralih ke sistem ekonomi yang berbasis pada industri manufaktur termasuk pengolahan sumber daya alam menjadi produk jadi dengan nilai tambah dan daya saing yang tinggi; chip; semikonduktor; baterai berbasis nikel dan litium; EV (Kendaraan Listrik); energi terbarukan (tenaga surya, tenaga angin, bioenergi, hidrogen, panas bumi, tenaga air, energi pasang surut, energi gelombang, dan Konversi Energi Termal Laut); dan Industri 4.0 seperti Big Data, Cloud Computing, IoT, Blockchain, AI, Metaverse, Material Canggih, Bioteknologi, dan Nanoteknologi.
Kedua, modernisasi sektor primer (pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan dan energi, serta pariwisata berbasis alam) yang berwawasan lingkungan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan, dengan menerapkan: (1) Skala Ekonomi, (2) teknologi terkini termasuk teknologi Industri 4.0, (3) Sistem Manajemen Rantai Pasokan Terpadu, dan (4) prinsip Pembangunan Berkelanjutan.
Ketiga, Penguatan (revitalisasi) industri manufaktur yang sudah ada seperti Makanan dan Minuman, Tekstil dan Produk Tekstil, Otomotif, dan Elektronika.
Keempat, Pengembangan industri manufaktur baru meliputi: chip; semikonduktor; baterai berbasis nikel dan litium; EV (Kendaraan Listrik); energi terbarukan (tenaga surya, tenaga angin, bioenergi, hidrogen, panas bumi, tenaga air, energi pasang surut, energi gelombang, dan Konversi Energi Termal Laut); dan Industri 4.0 seperti Big Data, Cloud Computing, IoT, Blockchain, AI, Metaverse, Material Canggih, Bioteknologi, dan Nanoteknologi.
Kelima, Pengembangan ekonomi dan industri sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan baru di daerah kurang berkembang (miskin) seperti Papua dan Maluku (Indonesia), serta Serawak dan Sabah (Malaysia). Hal ini penting untuk mengurangi ketimpangan regional (pembangunan daerah yang tidak merata).
Keenam, Pembangunan ekonomi yang proporsional dan berimbang (kontribusi terhadap PDB dan Tenaga Kerja) sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier (sektor jasa): 25% : 50% : 25%.
Ketujuh, Pengembangan infrastruktur, sumber daya manusia, dan kebijakan politik-ekonomi untuk mendukung Transformasi Struktural Ekonomi.
‘’Semua kebijakan, program, dan praktik pembangunan harus berlandaskan pada Teknologi Industri 4.0, Ekonomi Hijau, Ekonomi Biru, dan Ekonomi Spiritual (Religius) yang mampu menghasilkan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi yang tinggi, inklusif, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan,’’ tegasnya.
Sementara itu, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) dimana pembangunan ekonomi pada sisi lain justru melahirkan fakta bahwa 1,8 miliar orang masih miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global.
Mengutip konservasi internasional 2010, Duta Besar Kehormatan Jeju Islan dan Busan Metropolitan City Korea Selatan itu mengatakan, Ekonomi Biru juga mencakup manfaat ekonomi kelautan yang mungkin belum bisa dinilai dengan uang, seperti Carbon Sequestrian, Coastal Protection, Biodiversity, dan Climate Regulator.
Prof Rokhmin Dahuri membeberkan sejumlah manfaat penerapan teknologi ekonomi biru dan industri 4.0 dalam Budidaya Perairan diantaranya: Pertama, Revolusi Industri Keempat (atau IR-4.0) menawarkan berbagai teknologi, dan beberapa dapat diterapkan untuk sistem akuakultur.
‘’Sangat tepat untuk menerapkan istilah Akuakultur 4.0 untuk budidaya perairan yang didorong oleh teknologi 4.0. Beberapa Proyek Akuakultur 4.0 yang menarik telah terbukti berhasil di sektor akuakultur,’’ ujarnya.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) membeberkan potensi dan produksi perikanan dan akuakultur Indonesia dan Malaysia yang berkelanjutan. Menurutnya, salah satu sumber potensial terbesar dari pertumbuhan ekonomi negara adalah sektor kelautan dan perikanan, khususnya perikanan budidaya atau akuakultur.
Ekonomi Spiritual (Agama)
Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan pemahaman agar dunia terhindar dari pergolakan sosial hingga perang antarnegara. Maka paradigma ekonomi sirkular dan spiritual bisa menjadi jawabannya dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Menurutnya, dalam konteks kontemporer, prinsip ekonomi spiritual Steiner dapat dilihat sebagai dorongan untuk menyelaraskan tindakan ekonomi kita dengan nilai-nilai spiritual. Hal ini bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara kekayaan material dan kesejahteraan spiritual, yang mendorong distribusi sumber daya yang berkelanjutan dan adil.
Ekonomi spiritual didasarkan pada model kebutuhan rendah, keserakahan rendah yang mempromosikan keberlanjutan dengan memprioritaskan konsumsi rendah dan distribusi kekayaan yang adil atas pertumbuhan PDB, berfokus pada kesejahteraan dan produksi yang diperlukan, dan menghargai industri skala kecil dan teknologi yang tepat. (Ekonomi Bisnis, 2019).
‘’Dalam Islam, ekonomi spiritual didasarkan pada keimanan kepada Allah (Tuhan Yang Maha Esa), Akhirat (kehidupan di akhirat), dan kekayaan bukan milik manusia tetapi merupakan titipan dari Allah, diaktualisasikan melalui praktik ekonomi yang sesuai dengan Syariah, termasuk sistem keuangan bebas riba, zakat dan infaq untuk redistribusi kekayaan, wakaf untuk kesejahteraan sosial, dan standar bisnis etis yang tinggi,’’ paparnya.
Prinsip-prinsip ini, terangnya, bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan holistik yang mengintegrasikan aspek material dan spiritual, yang mengarah pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Sedangkan, tantangan pengelolaan dataran tinggi – pesisir – laut yang terpadu adalah bagaimana memanfaatkan dan mengembangkan ekosistem pesisir dan laut termasuk sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terkandung di dalamnya untuk memenuhi permintaan manusia yang terus meningkat akan sumber daya alam dan jasa lingkungan, menghasilkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan, serta pada saat yang sama menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut.