MONITOR, Jakarta – Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj merespon penyataan MUI melalui Ijtima Komisi Fatwa se-Indonesia VIII yang menyatakan mengambil dana calon jamaah haji lain tanpa persetujuan dan memanfaatkannya untuk menutupi kebutuhan pemberangkatan hukumnya haram. Pengelola yang mengambil dana calon jamaah haji dan memanfaatkannya untuk menutupi kebutuhan pemberangkatan jamaah haji lainnya hukumnya dosa.
Menurutnya, Komnas Haji menyambut baik fatwa MUI tersebut karena mendorong efek ganda, pertama memberikan keadilan dan melindungi hak jutaan jemaah haji tunggu yang antri puluhan tahun serta menjamin keberangsungan pengelolaan dana. Kedua, menghentikan praktik skema ponzi (ponzi sceam) konsep yang digagas oleh Charles Ponzi pebisnis asal Amerika Serikat, atas pengelolaan keuang.an haji yang telah dianggap lumrah oleh BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) sejak lembaga ini didirikan 2017.
“BPKH sebagai lembaga yang bertanggungjawab menerima setoran, mengelola dan menginvestasikan dana haji selama ini sangat meng-anak-emaskan jemaah haji yang berangkat lebih dahulu pada tahun berjalan dengan subsidi jorjoran puluhan juta rupiah berkisar Rp 37 juta – Rp 57 Juta / per orang. Adapun jemaah haji yang masih antri dianak-tirikan begitu rupa hanya diberikan bagian Rp 260 ribu sampai Rp. 560 ribu/ per orang untuk setiap tahunnya dari hasil investasi yang didistribusikan melalui akun virtual (virtual account),” Terang Mustolih melalui keterangan tertulis yang diterima Minggu, 28 Juli 2024.
Mustolih berpandangan, kkema tersebut berpotensi menjadi bom waktu, jemaah haji waiting list terancam tidak dapat menikmati hasil investasi dari hasil kelola BPKH karena nilai manfaat habis terkuras untuk subsidi secara jorjoran guna menanggung biaya jemaah haji yang berangkat lebih dulu. “Seolah-olah Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang dibayar jemaah murah, padahal biaya subsidi itu merupakan hak jutaan jemaah haji tunggu sebagai pemilik dana (shohibul mal) baik pokok maupun hasil investasinya. Jutaan jemaah haji tunggu tidak diberi tahu praktik ini oleh BPKH, sehingga wajar kalau kemudian fatwa MUI memvonis tata kelola keuangan haji di BPKH saat ini haram dan dosa. Sebab praktik semacam itu dari segi manapun sangat tidak adil, diskriminatif dan tidak sesuai dengan ketentuan syariat (syar’i),” Jelasnya.
Bila ditelisik lebih jauh, Kata Mustolih, tata kelola dan skema biaya haji yang dibuat BPKH sangat identik dan menduplikasi apa yang telah dilakukan oleh travel-travel umrah yang pernah bermasalah yang merugikan ratusan ribu jemaahnya dan gagal umrah seperti First Travel dan Abu Tour sehingga menyeret pemiliknya masuk bui. Dana umrah dari calon jemaah yang mendaftar di belakang digunakan untuk menanggung biaya jemaah umrah yang lebih dulu daftar sehingga seolah-olah biayanya murah, padahal dibalik itu ada ratusan ribu calon jemaah yang dikorbankan.
Jika melihat data dari BPKH sejak efektif dibentuk tahun 2017, skema ponzi memang tidak terhindarkan rinciannya sebagai berikut :
a. Tahun 2018 nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp5,7 trilyun, pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp777,3 milyar, sedangkan subsidi kepada jemaah haji berangkat pada tahun berjalan menguras dana sebesar Rp6,54 trilyun, rata-rata Jemaah haji yang berangkat mendapatkan subsidi Rp33,27 juta per/orang
b. Tahun 2019 nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp7,36 trilyun, pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp1,08 trilyun, sedangkan subsidi kepada jemaah haji berangkat pada tahun berjalan menggerus dana sebesar Rp6,81 trilyun. Rata-rata Jemaah haji yang berangkat mendapatkan subsidi Rp33,92 juta per/orang
c. Tahun 2020 nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp7,43 trilyun, pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp2 trilyun, sedangkan subsidi kepada jemaah haji berangkat pada tahun berjalan 0, karena tidak ada pemberangkatan haji akibat Covid-19
d. Tahun 2021 nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp10,52 T trilyun, pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp2,5 trilyun, sedangkan subsidi kepada jemaah haji tahun berjalan 0 karena tidak ada pemberangkatan haji akibat Covid-19
e. Tahun 2022 nilai manfaat yang diperoleh BPKH Rp10,8 T trilyun, pembagian kepada jemaah haji tunggu Rp2,06 trilyun, sedangkan subsidi kepada jemaah haji tahun berjalan menggelontorkan dana Rp.5,47 trilyun. Padahal kuotanya haji regular ketika itu hanya 92.825 orang dari total kuota resmi 100.051 dari Arab Saudi. Rata-rata Jemaah haji yang berangkat mendapatkan subsidi Rp57,91 juta per/orang
f. Tahun 2023 nilai manfaat yang diberikan kepada Jemaah haji pada tahun berjalan Rp. 7,1 trilyun. Rata-rata subsidi Jemaah haji reguler Rp 40.237.937/ per orang dari nilai manfaat.
g. Tahun 2024 nilai manfaat yang diberikan kepada jemah haji pada tahun berjalan Rp. 8,2 trilyun untuk 241 ribu Jemaah haji. Rata-rata Jemaah haji regular mendapatkan subsidi dari nilai manfaat Rp.37, 3 juta per orang.
Bandingkan dengan nilai manfaat yang diterima oleh Jemaah haji tunggu, sangat tidak logis perbandingannya. Skema semacam ini menguras cadangan nilai manfaat di BPKH, jika pola tersebut terus dipertahakan maka cadangan nilai manfaat akan habis pada musim haji tahun 2026 atau 2027.
Terlebih BPKH dalam melakukan upaya investasi tidak mau berkeringat, hanya mau bermain aman pada investasi konservatif seperti deposito, suku dan emas sehingga terkesan tidak mau ambil risiko yang mengakibatkan imbal hasil (return) yang diperoleh juga tidak signifikan.
Tentu saja yang diuntungkan atas praktik ponzi tersebut adalah jemaah haji yang lebih dahulu berangkat. Mereka yang puluhan tahun masih harus antri nasibnya tidak jelas, terancam ‘buntung’ bahkan tidak bisa turut menikmati subsidi, dananya sudah dikuras dan terpakai lebih dahulu apalagi ada bayang-bayang ancaman inflasi, krisis global, liberalisasi kebijakan haji dan kenaikan pajak di Arab Saudi yang makin tinggi yang terus menggerus nilai keuangan haji.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan keuangan Haji dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji memberikan mandat secara lugas, seluruh tata kelola haji harus bertumpu pada asas dan prinsip-prinsip syariah yang menjamin bebas dari anasir-anasir riba, gharar, tadlis dan maysir. Sehingga sangat relevan apabila hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII MUI menjadi acuan sebagai lembaga yang otoritatif memberikan fatwa.
Dengan adanya Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII MUI diharapkan BPKH dapat berbenah menata ulang dalam mengelola keuangan haji agar adil, tidak diskriminatif, melindungi hak jutaan jemaah dan sesuai dengan ketentuan syariat serta berkelanjutan. Mandat Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji harus dijalankan dimana BPKH harus membuat akad wakalah dengan Jemaah yang mengatur hak dan kewajiban seperti layaknya perjanjian, tidak seperti praktik selama ini calon Jemaah hanya diminta menandatangani pernyataan wakalah, didalamnya tidak diatur hak dan kewajiban sehingga hanya menguntungkan pihak BPKH.
Disisi lain, untuk menjamin keberlangsungan pengelolaan keuangan haji, BPKH dan DPR perlu duduk bersama merevisi UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UUPH).