MONITOR, Cirebon – Berbagai tantangan dan persoalan yang dialami bangsa Indonesia dinilai kian mengkhawatirkan dari kemiskinan, pengangguran, ketimpangan ekonomi hingga politik yang menghancurkan sistem meritokrasi.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar IPB Prof Rokhmin Dahuri saat menjadi narasumber pada acara dialog dan silaturahmi bersama keluarga besar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bersama dengan ICMI se-Ciayumajakuning di Cirebon, Jum’at (3/5/2024).
“Soal kemiskinan pengangguran masif sekali, ketimpangan kaya-miskin kita terburuk ketiga di dunia, kemudian soal daya saing, daya literasi kita terburuk kedua di dunia, stunting, gizi buruk, jadi negara ini sakit sebenarnya,” kata Rokhmin Dahuri.
Selain sejumlah persoalan ekonomi, Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan tersebut juga menyoroti persoalan politik yang dialami bangsa Indonesia saat ini yaitu soal etika politik, demokrasi formalitas hingga praktik politik tanpa sistem meritokrasi.
“Dari segi politik hari ini meritokrasi sudah dihancurleburkan oleh kepentingan pribadi dan keluarga, saya kira semua orang tahu seperti di pemilu kemarin. Untuk itu makanya kita disini berdialog bersama mencari solusinya,” tuturnya.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) tersebut menuturkan kalau pada 1945 – 1955 sekitar 70 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen. Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen. Dampak dari pandemi Covid-19, pada 2022 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 9,6% atau sekitar 26,4 juta orang.
Namun, bila PDB sebesar itu dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 274 juta orang, maka per Maret 2021 GNI (Gross National Income) atau Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS per kapita.
“Artinya, hingga saat ini (sudah 76 tahun merdeka), status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country). Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI perkapita diatas 12.695 dolar AS, yang merupakan Cita-Cita Kemerdekaan NKRI 1945,” terangnya.
“Menurut World Bank, ukuran ekonomi atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia saat ini mencapai 1,1 triliun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia. Dari 200 negara anggota PBB, hanya 18 negara dengan PDB US$ lebih 1 triliun,” jelas Prof Rokhmin.
Dengan sederet berbagai persoalan diatas, Prof Rokhmin sejatinya mengajak seluruh elemen masyarakat khususnya keluarga besar KAHMI dan ICMI untuk bersama-sama berkontribusi berperan aktif dalam pembangunan bangsa menuju Indonesia Emas 2024.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu mengingatkan bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas) pada 2045.
Ia memaparkan, modal dasar pembangunan Indonesia, antara lain: Pertama, jumlah penduduk 278,4 juta orang (terbesar keempat di dunia) dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah, dan dapat bonus demografi dari 2020 – 2040 yang merupakan potensi human capital (daya saing) dan pasar domestik yang luar biasa besar.
Untuk memaksimalkan potensi besar tersebut, Ketua DPP PDIP Bidang Kelautan dan Perikanan itu mengatakan bahwa Indonesia memerlukan jiwa-jiwa muda yang cakap untuk memajukan Indonesia terutama sebagai entrepreneur dan inovator.
Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. Kedua, I + E > K + Im. Ketiga, Koefisien Gini < 0,3 (inklusif). Keempat, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi-RI stagnan di angka sekitar 5%, masih jauh dari potensi ekonomi-RI yang sesungguhnya, 8% – 10% per tahun (Mc. Kinsey, 2022; FE-UI, 2024). Ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sangat dominan bergantung pada konsumsi rumah tangga atau belanja masyarakat, sekitar 56% (Prof. Chatib Basri, 2024).
Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, mengutip Chatib Basri, Rokhmin Dahuri menyebut mestinya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 – 2024 berkisar 6 – 7 persen per tahun. Angka pertumbuhan ekonomi ini bisa dicapai dengan kontribusi investasi terhadap PDB sebesar 41 – 48 persen. Sayangnya, kontribusi investasi terhadap PDB hingga kini baru mencapai 35%.
Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan, sembilan Kebijakan Pembangunan, antara lain: Pertama, dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (raw materials) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur atau HILIRISASI (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).
“Pengelolaan ESDM berdasarkan pada Pasal 33 UUD 1945: hasilkan: Rp 20 juta/warga negara/bulan atas nama Negara, BUMN mengelola ESDM, Kehutanan, Laut dan Perairan Darat, dan Sumber Air Mineral. Swasta tidak diberi IUP atau IUK, tetapi bekerja di bawah naungan BUMN. Dari dominasi impor dan konsumsi ke investasi, produksi, dan ekspor,” katanya.
Kedua, Karena sekitar 2/3 perdagangan global berjalan melalui GVC = Global Value Chain (Rantai Nilai Global) Maka, bila Indonesia ingin memacu pertumbuhan ekonominya diatas 7% per tahun, produk dan jasa (goods and services) buatan Indonesia harus terintegrasi ke dalam GVC.
“Artinya produk dan jasa Indonesia mesti berdaya saing tinggi (Kualitas top, Harga relatif murah, dan Suplai mampu memenuhi kebutuhan konsumen/pasar setiap saat) maka olusinya adalah Industrialisasi,” ungkapnya.
Ketiga, Modernisasi sektor primer (Kelautan dan Perikanan, Pertanian, Kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan, untuk meningkatkan Produktivitas Ekonomi Bangsa.
“Ini akan mengurangi kesempatan kerja di sektor primer. Disinilah pentingnya pengembangan sektor sekunder (industri manufaktur) untuk menyerap tenaga kerja lebih banyak, peningkatan produktivitas dan produksi nilai tambah, dan daya saing bangsa,” katanya.
Keempat, Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orba: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) Elektronik, (4) Otomotif, (5) Kayu dan Produk Kayu, dan lainnya.
Kelima, Pengembangan industri manufakturing baru: EBT (Energi Baru Terbarukan), Chips, Semikonduktor, Baterai Nikel, Electrical Vehicle, Bioteknologi, Nanoteknologi, Ekonomi Kelautan, Ekonomi Kreatif, dan lainnya.
Keenam, Pengembangan berbagai Sektor Ekonomi dan Kawasan Industri di Luar Jawa, Wilayah Perdesaan, Wilayah Perbatasan, dan di P. Jawa yang masih tertinggal dan miskin sesuai Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung Lingkungan setiap wilayah pengembangan untuk mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah.
Ketujuh, Peningkatan pendapatan negara, yang saat ini baru mencapai Rp 2.777 trilyun (13% PDB), jauh lebih kecil ketimbang rata-rata tax ratio (pendapatan) negara-negara berkembang-maju (emerging economies) lainnya sebesar 28% PDB, dan negara-negara maju yang mencapai 40% PDB (Bank Dunia, 2023).
Kedelapan, Semua kebijakan pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 7) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), Ekonomi Biru (Blue Economy), Ekonomi Sirkuler, dan Ekonomi Digital (Industry 4.0) serta TKDN > 50%.
Kesembilan, Menyiapkan SDM (Human Capital) Indonesia unggul (knowledgeable, skillful, expert, top work ethics, dan berakhlak mulia) yang mampu merencanakan, mengimplementasikan, dan melakukan MONEV kedelapan kebijakan/program pembangunan ekonomi diatas.