MONITOR, Jakarta – Agama memiliki peran dalam mempengaruhi kehidupan manusia. Banyak manusia menjadi baik karena beragama. Sebaliknya, banyak juga manusia kehilangan akal dan rasa kemanusiaan karena keliru dalam memahami agama.
Sejatinya agama mengajarkan cinta-kasih dan menjadikan penganutnya berakhlak mulia serta menjadi wadah untuk memupuk intelektualitas dan spiritualitas. Koentjaraningrat mengutarakan bahwa agama ialah suatu keyakinan secara mutlak terhadap Tuhan dan semata-mata bertujuan untuk berbuat baik kepada seluruh umat manusia. Cendekiawan Romawi abad ke-5, Cicero juga berpendapat bahwa agama adalah seruan Tuhan untuk manusia agar selalu mengamati alam semesta sebagai bukti kebesaran-Nya, dan anjuran agar manusia mau untuk berkomunikasi dengan-Nya.
Pada dasarnya agama mengajarkan kebaikan dan menjadikan penganutnya sebagai manusia yang berakhlak mulia. Namun, masih terdapat umat beragama yang belum mampu menangkap pesan agama secara universal, sehingga agama justru menjadi sumber bencana bagi dirinya.
Tokoh filsafat analitik Bertrand Russell menemukan bahwa masih terdapat umat beragama yang selalu merasa benar atas keyakinannya sendiri dan menolak keyakinan orang lain, sehingga mereka tidak bisa hidup berdampingan dan berujung pada peperangan. Bertrand Russell juga menemukan masih terdapat umat beragama yang memiliki sikap konservatif yang menolak segala inovasi atau gagasan-gagasan baru dengan alasan mempertahankan keyakinan. Hal ini justru akan mengorbankan ide-ide baru dan menghambat kemajuan dalam pemikiran.
Penemuan-penemuan Bertrand Russell tersebut memberi kesadaran bagi kita bahwa masih ada umat beragama yang keliru dalam memahami pesan agama. Menurut Charles Kimball, kesalahan dalam memahami pesan agama disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, ketika para pemeluk agama mengakui kebenaran hanya milik agamanya saja. Pandangan semacam ini akan mengecilkan Tuhan dari ke-Maha-Segalaan-Nya dan mengkorupsi kekayaan-Nya. Kedua, sikap fanatik atau ketaatan buta terhadap pemimpin keagamaan. Oleh sebab itu beragama sangat memerlukan aspek intelektualitas dan spiritualitas.
Untuk menghindari kegagalan dalam memahami agama, sudah saatnya para pemeluk agama menjadi agen-agen perdamaian. Islam misalnya, pada hakikatnya merupakan agama perdamaian. Ini sesuai dengan arti ‘Islam’ yang berasal dari kata aslama – yuslimu – islaaman adalah keselamatan atau kedamaian.
Dalam proses menjadi agen-agen perdamaian tersebut, umat beragama perlu “menjiwai agama” atau mengintegrasikan secara simultan antara spiritual dan materi atau rohani dan jasmani. Islam mengajarkan bahwa pengabdian secara total terhadap Allah SWT merupakan tujuan hidup yang paling mulia. Tujuan ini tidak akan tercapai jika kita masih membagi kehidupan menjadi dua bagian, yakni spiritual dan materi. Keduanya harus terpadu bersama-sama dalam kesadaran dan tindakan.
Dengan demikian, aspek spiritualitas sangat diperlukan untuk memahami pesan-pesan agama secara universal. Aspek spiritualitas juga berperan aktif untuk proses pembersihan jiwa manusia atau dalam istilah tasawuf sering disebut dengan tazkiyatun nafs. Dengan kebersihan jiwa, seseorang akan mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang sejati tentang agama. Pemahaman atas kompleksitas pengetahuan tentang agama akan melahirkan keterbukaan, kerukunan, dan kedamaian.
Memahami pesan agama menjadi salah satu ikhtiar penting dalam menjawab persoalan krisis kemanusiaan. Ini juga yang akan dibahas bersama dalam Annual Internasional Conference on Islamic Studies (AICIS) 2024 di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang yang mengangkat tema ‘Redefining The Roles of Religion in Addressing Human Crisis: Encountering Peace, Justice, and Human Rights Issues’.