Jumat, 22 November, 2024

Ketoprak Politik

Oleh: Abdul Mukti Ro’uf
(Pengajar Filsafat pada Program Pascasarjana IAIN Pontianak)

Layaknya pertunjukkan ketoprak humor, panggung politik Indonesia akhir-akhir ini sering menggelar aneka “kelucuan” oleh para aktor di atas panggung pertunjukkan. Setidaknya begitu sajalah penyikapan yang wajar untuk menikmati aneka episode “politik elektoral” jelang pendaftaran Capres-cawapres pada Oktober-November mendatang. Lebih baik santai dan tertawa daripada serius dan sedih.

Jalan politik elektoral memang tidak selalu berjalan linier melainkan memutar dan ber-zig-zag. Logika dan konstruksi berkoalisi tidak bisa ditulis dan diacu pada piagam perjanjian. Praktek berpolitik pada kenyataannya tidak tunduk pada kaidah saintifik yang menganut mekanisme sebab-akibat dengan rumus rasio-empirik yang ketat. Di dalamnya ada “permainan perasaan” yang longgar dan tidak dikenal dalam dunia sains.

- Advertisement -

Teks yang tertulis di atas piagam dengan kekuatan otoritas politik harus puas ditempatkan sebagai “panggung depan” yang seringkali harus bertekuk lutut pada kekuasaan “panggung belakang”. Apakah dengan demikian ada semacam pengkhianatan? Bagi yang kecewa, diksi “pengkhianatan” itu masuk akal dengan seluruh parameternya sendiri. Tetapi bagi yang dituduh “pengkhianat” akan berargumen bahwa dalam politik selalu ada momentum dan kesempatan yang “halal” untuk dimanfaatkan dengan feeling, perasaan yang dibangun di atas argumen bahwa politik itu seni. Nah, seni tidak sama dengan sains. Coba perhatikan meme Gus Muhaiamin Iskandar yang viral pada tanggal 2 September: “Beda cuaca aja sakit, apalagi beda perasaan.”

Sutradara dan para aktor

Saya renung-renungkan, memang praktek demokrasi di Indonesia itu unik. Ada semacam campuran antara kaidah demokrasi umum yang berlaku di negara-negara maju dengan sokongan kulturnya masing-masing. Demokrasi di Barat dibangun di atas fondasi renaisans dimana rasionalisme menjadi pemandunya. Demokrasi di Indonesia, meski sebagian diimpor dari Barat, tidak serta merta harus bercorak sama.

Dalam terminologi yang agak serius, demokrasi Indonesia adalah “Demokrasi Pancasila”. Artinya, konsepsi dan praktek demokrasinya harus mencerminkan lima pilar Pancasila. Memang, dalam politik elektoral yang disediakan oleh sistem Pemilu berlaku one man one vote. Tetapi proses menuju seleksi kepada “man” oleh partai politik, terutama bacapres-bacawapres, ada proses musyawarah yang kini sedang dipertunjukkan oleh aneka koalisi yang ada. Semua partai politik memiliki prinsip yang sama: “demi bangsa dan negara, kita terbuka untuk bekerja sama (musyawarah) dengan partai manapun”. Hilir mudik para elit untuk menemukan kecocokan terus di tempuh bahkan diantaranya telah diikat oleh perjanjian kerjasama di atas kertas.

Para aktor politik sebenarnya telah mengerti bahwa dibalik otoritas teks di atas kertas, ada otoritas sutradara yang sewaktu-waktu, karena alasan feeling dan nalurinya sebagai sutradara, bisa menggugurkan teks yang tersedia demi kesuksesan pertunjukkan. Jangankan para pemain figuran, pemeran utama pun acap kali lemah di hadapan otoritas sang sutradara. Apalagi di hadapan sutradara yang memiliki jam terbang tinggi. Pemeran utama hanya tunduk pada dua hal: skrip dan arahan sutradara.

Dalam kasus bacapres Anies Baswedan, ia memilih ikut arahan sutradara sambil menghormati skrip yang tertulis. Pilihannya bisa dipahami dengan mudah: ia bukan pemilik saham partai yang pilihannya cenderung pragmatis ketimbang ideologis. Ia hanya hendak membuktikan ke publik: “dalam demokrasi, siapa saja, sepanjang memiliki kehendak, kapasitas, dan memenuhi syarat undang-undang, dapat maju sebagai capres”.

Pilihan pragmatis dalam kasus Koalisi Perubahan untuk Perubahan (KPP) memang cukup dramatis terutama bagi pemeran utama yang tanpa otoritas partai: Anies Baswedan. Penyematan sebagai “pengkhianat” oleh teman koalisi adalah resiko politik yang harus ditanggung. Seluruh perdebatan antara pemeran utama dan apalagi para pemain figuran, ujungnya harus tunduk pada para pemegang saham, produser, dan sutradara. Sebagai “penonton cerdas” yang mengamati, pertunjukan ini kadang menggelikan dengan seluruh dagelan-dagelannya. Yah, namanya juga “ketoprak politik”. Kita boleh bersedih, tapi jangan lupa tertawa.

Berduka sambil tertawa

Praktek politik orang Indonesia itu memang unik. Bisa rasional tapi seringkali irasional. Irasionalitas politik ini jangan buru-buru dimaknai sebagai bodoh atau dungu. Karena yang rasional belum tentu baik. Dan yang irasional belum tentu buruk. Soal “kebaikan” dan “keburukan” dalam politik sangat dipengaruhi oleh motif dan kepentingan. Yang baik bagi Partai Demokrat belum tentu baik bagi Partai Nasdem. Dan dalam politik tidak semua mengandung unsur rasional dalam pengertian saintifik. Lagi-lagi, kalkulasi politik tidak selalu tunduk pada kaidah rasionalisme.

Bagi Partai Nasdem, manarik Anis Baswedan untuk dipasangkan dengan Muhaimin Iskandar adalah baik dengan seluruh motif dan kepentingannya. Tapi bagi Partai Demokrat, itu keburukan dan bahkan menyakitkan. Mengapa buruk dan sakit, selain karena melanggar proses yang “anti-prosedur”, juga karena kepentingan Partai Demokrat untuk mecawapreskan AHY tidak tercapai. Berbeda dengan PKS yang hanya berkepentingan mencapreskan Anies Baswedan, sikapnya lebih moderat: menyesalkan tetapi menerima dan menghormati. PKS dalam kasus ini lebih memilih netral dengan sejumlah catatan. Sikap netral ini adalah sikap yang realistis-pragmatis. Meski PKS adalah partai dengan garis ideologis yang jelas dan ketat, tetapi nalar pragamatisnya tetap memandunya dalam gerak politik elektoral. Mungkin, dalam batin PKS: “yang penting bagaimana memenangkan bacapres Anies Baswedan dan tidak terlalu memikirkan Gus Imin dan PKB-nya”. Ada semacam tarikan pragmatisme dan ideologisme yang berkecamuk dalam batin PKS. Tetapi dalam politik, pilihan harus segera ditempuh: menag dulu, diskusi kemudian.

“Duka” bagi partai Demokrat, oleh sebagian yang lain disikapi dengan “tawa”. Meme Gus Imin yang ditampilkan dengan gambar “ketawa” sepertinya sedang “mentertawakan” dirinya sendiri (PKB), merespons keadaan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), Partai Nasdem, dan bisa juga Partai Demokrat”. Prabowo merespons kepergian PKB dan Gus Imin dengan kalimat “santai saja” dan bahkan sambil berjoget ala Prabowo. Dalam keadaan duka, Gus Imin dan Prabowo bisa tertawa. Sebaliknya, narasi, gestur dan sikap politik SBY tampak tegang, sedih, kecewa, dan sesekali tampak dewasa dan bijak. Memang, karakter SBY, dalam dunia lakon politik Indonesia cukup konsisten di perannya. Ia adalah tokoh yang tegas sekaligus melankolis.

Rakyat, bagaimana?

Seperti biasa, rakyat Indonesia seperti yang lalu-lalu. Ada yang terus berduka karena kesulitan ekonomi, ada dan tidak ada pemilu. Akrobat politik para elit tidak terkait langsung dengan warna-warni kehidupan rakyat. Satu-satunya akrobat rakyat adalah bagaimana memenuhi kebutuhan dasarnya: kerja gampang, harga sembako terjangkau, berobat gratis, sekolah murah. Kebutuhan dasar ini oleh para elit dirumuskan dengan kesejahteraan dan keadilan. Narasi ini terus didengungkan dalam beragam forum. Kebutuhan dasar ini bukan lagi sebagai drama dalam “ketoprak humor”. Kemerahan dan kesedihan rakyat ini bukan karena ditinggalkan teman koalisinya, melainkan karena benar-benar ditinggalkan oleh harapan hidupnya. Ada jurang pemisah yang menganga antara “sedih”nya para elit dan “sedih”nya rakyat jelata. Maka, dalam demokrasi Pancasila, terminologi kebaikan dan keburukan haruslah dirujuk pada realitas rakyat jelata yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa dalam sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika para pemilik saham, sutradara, para pemeran utama terus bertumpu pada kepentingan yang parsial dalam merebut dan mengelola kekuasaan, cepat atau lambat akan mudah dicabut mandatnya oleh pemilik saham utama negara: rakyat.

Seluruh adegan akrobatik dalam mengelola dan mengokohkan koalisi karenanya harus ditempatkan sebaga “cara” (wasilah) dan bukan tujuan (ghayah). Selalu akan ada tawa dan duka dalam menerapkan cara.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER