MONITOR, Jakarta – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa secara biologi Indonesia merupakan negara paling rentan karena kita negara tropis terpengaruh pemasanasan global akibat perubahan iklim. Menurutnya, negara berkembang seperti Indonesia terhadap dampak perubahan iklim lebih berat, karena menurutnya ada semacam dilema. Ada anggapan bahwa Negara makmur bisa meningkatkan ekonomi , implikasinya eksploitasi sumber daya alam atau mengeluarkan energi.
Hal tersebut disampaikan Prof Rokhmin yang mantan menteri kelautan dan perikanan itu saat menjadi narasumber pada acara dialog nasional “Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045” yang dilaksanakan oleh BAPPENAS di Jakarta, Senin (21/8/2023).
‘’Secara biologi Indonesia termasuk negara yang rentan terhadap perubahan iklim global. Karena sebagai Negara tropis dengan perputaran temperatur 2-4 derajat pertahun. Toleransi terhadap suhu sangat penting, jika suhu meningkat tinggi kemudian air laut juga meningkat sangat bisa terjadi jenis-jenis ikan akan mati,’’ katanya.
“Oleh sebab itu perlu langkah serius menyelamatkan perikanan dan kelautan Indonesia, karena sekitar 16 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan dan kelautan,” tambahnya.
Perubahan Iklim Global (Global Climate Change), jelasnya, mengakibatkan terjadinya peningkatan permukaan air laut. Fenomena ini merupakan akibat dari pemanasan suhu global yang disebabkan emisi gas karbon. Kalau benar-benar suhu laut ini akan meningkat Indonesia sebagai Negara tropis yang paling menderita.
Yang kedua, dampak planting di laut juga sangat menderita juga, ada ocean yang karbon dioksida (CO2) semakin banyak sehingga air laut makan masam, atau PH nya makin turun. Hampir seluruh organisme (biota) laut yang tersusun oleh kalsium termasuk moluska (kekerangan) kalau global warming makin seru, berdampak ekosistem perikanan akan terancam.
Prof Rokhmin Dahuri menyebutkan bahwa ada beberapa alasan Indonesia rentan perubahan iklim. Sebagian besar pulau di Indonesia berukuran kecil, sekitar 74 persen pulaunya berukuran di bawah 2000 km2 jumlahnya 99,9 persen. Oleh karena itu, Prof Rokhmin Dahuri menegaskan, penting untuk menjaga laut dan perikanan Indonesia. “Dampak dari pemanasan global harus bisa dicegah dan dikendalikan,” katanya.
Menurutnya, fokus penanganan adalah dengan mengurangi sumber penyebab perubahan iklim dan mengurangi produksi karbon. Perlu upaya yang serius dalam hal adaptasi perubahan iklim. Solusinya, kita mereduksi CO2, dengan mengaktifkan blue carbon.
Menurutnya, kalau kita mau bicara mitigasi seperti janji Presiden Jokowi akan menanam kembali 19.000 hektar mangrove dilaksanakan sektor kelautan dan perikanan sudah kontribusi . Diketahui, Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Luasnya 3,36 juta hektar atau sekitar 20 persen dari total hutan mangrove di dunia.
“Kalau kita bicara mitigasi, seperti janji Presiden Jokowi akan menanam kembali mangrove di seluruh Indonesia seluas 34.000 hektar kalau itu dilaksanakan dari sektor Kelautan dan Perikanan sudah kontribusi,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Soeharso Monoarfa menyampaikan, tanpa adanya intervensi kebijakan dalam mengatasi perubahan iklim, kerugian ekonomi yang ditelan Indonesia bisa mencapai Rp 544 triliun untuk kurun waktu 2020-2024 mendatang.
Potensi kerugian bersumber dari masalah yang terjadi pada pesisir dan laut senilai Rp 408 triliun, kemudian air senilai Rp 28 triliun, pertanian Rp 78 triliun, serta sektor kesehatan Rp 31 triliun.
“Dari perubahan iklim ini, terdapat potensi kejadian kecelakaan kapal dan genangan pantai, penurunan ketersediaan air, penurunan produksi beras, hingga peningkatan kasus demam berdarah,” katanya.
Sementara terkait dengan sektor kelautan dan sumber daya pesisir Soeharso menyampaikan, rata-rata kenaikan muka air laut Indonesia saat ini berkisar 0,8-1,2 centimeter per tahun. Jika dibiarkan sebanyak 199 kabupaten kota dan 23 juta masyarakat pesisir akan terendam banjir rob pada tahun 2050 mendatang. Selain itu, sekitar 118 hektare wilayah akan terendam banjir dengan potensi kerugian hingga Rp 1.576 triliun.