Selasa, 26 November, 2024

Kala Kritik Menuai Kritik


Oleh: Abdul Mukti Ro’uf

No Rocky, No Kritik. Penyematan ini tidak berlebihan untuk menggambarkan eksistensi Rocky Gerung di panggung politik Indonesia. Latar belakangnya sebagai ahli filsafat tak luput dalam menyampaikan kritik (filosofis) terhadap aneka kebijakan publik terutama terhadap kebijakan kepala negara dan pemerintahan. Untuk memahami kritik Rocky tidak bisa semata tunduk pada teks atau ucapan. Tetapi herus bersabar meneliti kandungan terdalam dari teks tersebut. Karena dalam filsafat yang utama adalah bangunan argumen dibalik pernyataan.

Kritik Rocky tentu saja dibutuhkan dalam menumbuhkan dan menyehatkan demokrasi. Demokrasi tanpa pikiran dan gagasan akan cenderung terjerumus pada demokrasi prosedural. Sampai pada batas ini, posisi dan eksistensi Rocky layak dipertahankan sebagai pengingat yang selalu menyalakan api demokrasi.

Lagi pula, sejauh ini berbagai kritik Rocky dirayakan sebagai bunga-bunga yang menghiasi percakapan di taman demokrasi. Lontaran kritik dengan diksi-diksinya yang segar dapat mebasahi dahaga intelektual dan alam pikiran publik Indonesia. Sebagai sasaran kritik, Presiden Joko Widodo kerap menanggapinya dengan tenang dan santai hingga keluar kritik dengan diksi yang sangat keras sebagai “bajingan tolol” untuk kritiknya dalam kebijakan pembangunan IKN dengan mencari investasi ke negeri Cina. Bagi Jokowi, kritik Rocky adalah masalah sepele jika dibandingkan dengan impiannya mewujudkan agenda-agenda besar negara yang akan menjadi legacy kepemimpinannya. Baik yang menkritik maupun yang dikritik memiliki argumen yang kokoh.

- Advertisement -

Dalam demokrasi, rakyatlah yang akan memutuskan keberpihakannya. Sampai pada batas ini, keduanya sedang menikmati realitas demokrasi dalam ayunan kata-kati Rocky dan ketenangan sikap Jokowi. Keduanya berada dalam “percakapan demokrasi” yang bisa mendewasakan kualitas demokrasi kita. Berualang kali Rocky menegaskan bahwa seluruh kritiknya hanya dialamatkan pada produk kebijakan, bukan pada personal seorang Joko Widodo. Lagi-lagi, pada batas ini, oleh kalangan terdidik dan terbatas, dapat dipahami sebagai barang mahal.

Menikmati substansi kritiknya dengan mengabaikan diksi yang terdengar sarkas sambil menyelami konteks yang hadir di belakangnya. Saya meyakini keduanya, baik Rocky Gerung (sebagai warga bangsa) dan Presiden Jokowi (baik personal dan atau Presiden) memiliki kematangan yang sama. Lantas apa masalahnya?

Kritik dan Ruang Publik

Jika kritik Rocky disampaikan secara empat mata dengan Presiden tanpa liputan media tidak mungkin muncul aneka kegaduhan. Tetapi kritik itu dirayakan oleh media dengan seluruh hingar-bingarnya. Bahkan sampai pada batas tertentu, kritik Rocky (sengaja) ikapitalisasi baik oleh dirinya sendiri maupun oleh para pengikutnya untuk tiba pada rencana gerakan sosial terutama oleh kaum buruh (versi Jumhur Hidayat), para tokoh-aktivis yang kontra Jokowi, dan terutama oleh kekuatan politik yang berhasrat untuk merebut kekuasan dari tangan Jokowi dan para pelanjutnya di Pilpres 2024.

Pertarungan wacana antar individu, kelompok, media tak bisa dihindarkan. Inilah realitas politik sebagai konsekuensi dari konstruksi narasi Rocky Gerung yang terviralkan di media. Sehingga perdebatannya mulai bergeser dari mode intelektual ke gerakan massa. Bahkan, gerekan tipis-tipis pemakzulan Jokowi mulai disuarakan kembali dari kelompok-kelompok oposisi. Publik lantas mersepons bahwa kritik Rocky tidak lagi sebagai kritik yang murni dari seorang filsuf (yang menyendiri). Melainkan kritik yang sudah diselimuti—untuk tidak menyebut ditunggangi—oleh agenda-agenda gerakan politik, tarutama jelang Pilpres 2024.

Ruang publik yang dihuni oleh berbagai entitas yang beragam akan mengarah pada “polarisasi politik” yang cenderung praktis. Alih-alih menikamti “kritik filosofis” seperti yang semula disematkan pada eksistensi seorang Rocky, kini berpotensi memicu gerakan dan bahkan gesekan. Itukah yang sedang dikehendaki seorang Rocky sebagai seorang filsuf atau ia sedang mentransformasikan dirinya sebagai seorang aktivis yang akan memimpin demonstrasi?

Selain ruang publik diisi oleh beragam “manusia politik” yang memiliki kepentingan dan agendanya sendiri, ia juga diisi oleh tata nilai yang memandu pikiran dan tindakannya sendiri. Ruang publik Indonesia tidak bisa disepadankan dengan ruang publik Amerika. Demokrasi ala Amerika juga tidak bisa dipaksakan dengan demokrasi ala Indonesia. Karena etika publik merupakan cerminan dari kesejarahan suatu bangsa.

Pancasila yang disepakati sebagai nilai bersama telah mampu memandu jalannya kehidupan sebagai bangsa selama puluhan tahun. Demokrasi Barat pada akhirnya harus diwadahi ke dalam demokrasi Pancasila dimana unsur keadaban khas “manusia Indonesia” dapat tercermin dalam pikiran, ucapan, dan tindakan. Klaim bahwa pikiran tidak memiliki “sopan santun” sebagaimana pendirian Rocky Gerung dapat diperdebatkan. Dalam diskursus filsafat Islam misalnya, wahyu (agama) dan akal (filsafat) sebagaimana pendirian Ibn Rusyd merupakan “saudara sesusuan” yang saling melengkapi. Keduanya secara bersama-sama dapat digunakan untuk memandu jalannya kehidupan manusia.

Dalam filsafat Jawa, yang bener tidak sama dengan pener. Yang pertama berurusan dengan logika, yang kedua berurusan dengan akhlak. Dan tidak semua “yang bener” harus diucapkan jika akan mengundang mudharat lebih besar. Jika ucapan “bajingan tolol” dianggap bener—setidaknya oleh jalan pikiran Rocky Gerung dengan seluruh substansinya—belum tentu dianggap bener oleh audiens dengan seluruh latar belakang penolakannya dan menganggapnya sebagai tidak pener (baca: berakhlak). Maka, kebijaksanaan perlu ditempuh untuk menempatkan secara proporsional atas substansi kritik dan reaksi publik atas kritik tersebut.
Benturan intelektual atau politik?

Yang semula masalah benturan intelektual, kini tengah berubah menjadi benturan politik. Disadari atau tidak, ruang publik kini sedang dijejali oleh lalu lintas diskursus dan gerakan yang mengarah pada polarisasi akibat keseleo lidahnya Rocky Gerung. Memang tidak sama persis dengan kasus keseleo lidahnya Ahok yang menyebut ayat dalam Kitab Suci, Rocky dengan sengaja memilih diksi “bajingan tolol” yang mengundang reaksi dan aksi turun ke jalan di berbagai daerah di Indonesia. Reaksi dan aksi ini—terlepas digerakan atau secara alamiah—sedikit banyak akan mengganggu konsolidasi demokrasi kita. Sehingga pertanyaannya bisa bolak-balik: siapa sebenarnya yang tengah merusak konsolidasi demokrasi?

Maka, mobilisasi massa politik—apakah terpicu oleh narasi dan diksi “bajingan tolol” atau tidak—haruslah moibilisasi yang damai dengan spirit karakter kebangsaan Indonesia yang khas. Perebutan kekuasaan politik harus diletakkan dalam spirit demokrasi baik substansi maupun prosedural di atas regulasi hukum yang berlaku.

Untuk membawa pikiran dan kritik Rocky ke jalan hukum harus disediakan sebagai jalan keadaban demokrasi. Gerakan aksi untuk menerima dan atau menolak perselisihan ini juga bagian dari ekspresi demokrasi. Apalagi di tahun politik yang kerap bermunculan isu-isu lama sebagai bagian dari aksi dan strategi politik “lima tahunan”.

Akhirnya kita harus mengatakan, kritik setajam apapun harus diletakkan dalam koridor demokrasi ala Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban sebagai bangsa dan negara. Juga harus disediakan ruang terhadap upaya menuntaskan janji-janji kampanye Presiden RI untuk Indonesia lebih maju, adil, dan sejahtera. Mereka yang hendak melakukan perubahan, ubahlah di bilik-bilik TPS pada Pebruari 2024. Juga terhadap mereka yang hendak melanjutkan. Lanjutkanlah di bilik-bilik TPS dengan riang gembira. Ga repot, bukan?

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER