MONITOR, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menjadwalkan untuk menyampaikan putusan mengenai gugatan sistem proporsional pemilu pada Kamis (15/6/2023) esok.
Putusan ini paling ditunggu oleh berbagai pihak, apakah pelaksanaan Pemilu 2024 tetap sistem pemilu terbuka, diubah menjadi tertutup atau ada alternatif lain.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah berharap para Hakim yang mulia di MK memutuskan pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, bukan tertutup.
Sebab dalam demokrasi, apabila itu menyangkut kepentingan umum dan terkait dengan masyarakat banyak, maka semakin terbuka, artinya akan semakin demokratis.
“Kami berharap MK akan meneruskan tradisi demokrasi dan tradisi masyarakat demokrasi, serta tradisi pemilu demokratis atau demokrasi dalam pemilu. Karena sesungguhnya, kalau kita bicara tradisi demokrasi, maka tradisinya adalah masyarakat terbuka dan pemilu terbuka,” kata Fahri Hamzah dalam keterangannya, Senin (12/6/2023).
Menurut Fahri, bangsa ini tidak bisa kembali lagi kebelakang menganut paham tertutup, yakni paham otoriter dan paham masyarakat tertutup.
Karena Indonesia sudah membuka diri sebagai negara demokratis, dan hasilnya luar biasa bagi kemajuan umum, kecerdasan umum, serta menumbuhkan kesadaran bahwa semuanya bertanggungjawab terhadap perbaikan bangsa Indonesia ke depan.
“Jangan lagi kita menyerahkan urusan umum, urusan publik kepada segelintir orang elite Indonesia. Tetapi harus diserahkan kepada seluruh rakyat Indonesia, agar semua berpartisipasi bagi kebaikan bersama,” tegasnya.
Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019 ini menganggap sistem proporsional tertutup, apalagi dalam pemilihan anggota Legislatif akan sangat membahayakan demokrasi. Pasalnya, partai akan menjadi pemegang kontrol penuh terhadap kadernya yang duduk di DPR RI maupun DPRD Kabupaten/Kota, bukan lagi rakyat.
“Sistem tertutup itu berbahaya, karena kontrol pimpinan partai kepada anggota dewan akan makin kencang. Dalam sistem proporsional tertutup, siapapun yang menjadi anggota dewan akan ditentukan penuh oleh mekanisme partai, yakni dipilih oleh ketua umum,” sebut Fahri.
Jika rakyat hanya memilih partai politik saja, kata Fahri, maka siapapun yang dipilih partai untuk menjadi anggota dewan, kontrol akan dilakukan oleh partai politik secara menyeluruh.
“Maka anggota dewan bisa disuruh diam, tidak perlu dengar rakyat. Kamu diam, dengerin ketua umum. Karena nyawamu di ketua umum, nyawamu di sekjen, maka kamu diam. Saya bilang diam kamu diam,” ujarnya.
Berbeda jika sistem proporsional terbuka, dimana dalam pemilu rakyat akan memilih secara langsung individu-individu calon anggota legislatif.
Seluruh kontrol, lanjutnya, bisa dilakukan oleh rakyat, bahkan konsekuensi elektoral bisa diterima jika performanya tidak baik saat menjabat.
“Kalau kita (pakai sistem proporsional) terbuka rakyat yang milih. Saya kalau salah nggak akan terpilih lagi oleh rakyat,” terang Fahri.