Oleh: Chepy Aprianto,M.I.Kom*
Menjaga dan melestarikan lingkungan adalah upaya mencapai kehidupan yang lebih baik, dengan berbasis hutan, air dan lingkungan ekologi. Dengan kata lain, hal ini merupakan tumpuan harapan bagi generasi yang akan datang.
Namun harapan untuk memperoleh masa depan yang lebih baik lewat dukungan lingkungan alam yang ada bukanlah suatu yang alamiah, tetapi mesti dengan konsep dan harus dengan usaha dalam arti bagaimana membangun, melindungi, merawat dan melestarikan lingkungan itu sendiri. Artinya, tidaklah semua harapan itu dapat terwujud dengan sendirinya tanpa upaya dan usaha untuk menjaga kelestariannya.
Pemerintahan dunia pun melakukan usaha-usaha agar generasi mendatang bisa hidup lebih baik dengan bantuan lingkungan, hal tersebut dibuktikan dengan adanya forum-forum dunia yang memunculkan Deklarasi Stockholm, Sustainable Development Goals (SDGs), skema pengendalian iklim dan lain sebagainya.
Namun faktanya, membicarakan isu kerusakan lingkungan sampai saat ini masih menjadi isu yang belum ada habisnya. Salah satu faktornya adalah antroposentris dan sistem perekonomian kita yang cenderung eksplotatif.
Antroposentris dan Kapitalisasi
Antroposentis merupakan sebuah pandangan yang mendasarkan diri pada keyakinan bahwa manusia adalah penguasa dan penentu realitas. Oleh karena itu segala sesuatu yang berada diluar diri manusia akan diperlakukan sebagai objek yang berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan manusia. Pada konteks ini manusia menepatkan dirinya sebagai pusat alam semesta.
Kondisi ini kemudian melibatkan model pengelolaan sumber daya alam yang selalu bercirikan eksploitasi dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi. Namun perlu diketahui pula bahwa antroposentris ini tidak berjalan sendiri, melainkan berjalan beriringan dengan modernisasi yang mengisyaratkan adanya industrialisasi secara masif (Lailiy Muthmainnah, 2020).
Menurunnya kualitas lingkungan hidup berjalan seiringan dengan kamampuan manusia dalam mengekplotasi alam, dalam hal ini pula melibatkan pergeseran masyarakat tradisional ke dalam masyarakat modern. Dari pergeseran masyarakat tradisional kepada masyarakat modern, perkembangan ilmu dan teknologi terjadi dengan sangat pesat.
Perkembangan ilmu dan teknologi tersebutlah yang kemudian berjalan beriringan dengan perkembangan manusia dalam mengubah alam atau mengeksploitasi alam. Ditambah dengan sistem kapitalis, faktor-faktor produksi seperti sumber daya alam, alat-alat produksi dan tenaga kerja akan dikombinasikan sedemikian rupa untuk menciptakan kemungkinan terbesar bagi tercapainya keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk menciptakan keuntungan yang besar, yakni dengan produksi dalam jumlah yang besar serta membutuhkan sumber daya yang besar pula.
Watak dari system kapitalis ini umumnya tidak mempedulikan harmonisasi produksi dengan keseimbangan alam dan kehidupan manusia namun dikapitalisasi sebagai penguasa dan pemilik dari sumber daya alam. Prinsip dari sistem ini hanya peduli untuk menghasilkan nilai tukar yang maksimal dari setiap biaya yang dikeluarkan. Prioritasnya adalah untuk menekan biaya produksi serendah mungkin daripada melestarikan keseimbangan ekologis yang biayanya cukup mahal. (Lailiy Muthmainnah, 2020).
Beberapa orang berpandangan bahwa antroposentris dan kapitalisasi ini adalah biangkerok terjadinya kerusakan lingkungan, karena pandangannya yang mempunyai keyakinan bahwa manusia adalah pusat dunia dan mempunyai kuasa atas dunia dengan dibantu oleh sistem kepemilikan dan teknologi manusia mempunyai kemampuan untuk mengeksploitasi, akhirnya manusia berkeyakinan sebagai sang penentu realitas. Disadari atau tidak, realitas yang dibuat itu telah merusak keseimbangan alam. Kerusakan lingkungan ini pun diperparah lagi dengan adanya praktek konsumerisme
Budaya Konsumerisme
Konsumerisme merupakan suatu tatanan ekonomi dan sosial yang mendorong agar masyakat membeli barang dan jasa tanpa pertimbangan kebutuhan. Konsumerisme ditandai dengan adanya pergeseran makna orientasi konsumsi manusia yang semula bertujuan untuk bertahan hidup (Survive) dan kebutuhan menuju kearah pemuasan hasrat (Desire) dan gaya hidup (Lifestyle).
Menurut Baudrillard konsumsi produk barang dan jasa ditentukan oleh seperangkat hasrat untuk memperoleh penghormatan, status, prestise, dan konstruksi identitas melalui suatu “mekanisme penandaan” (Indra Setia Bakti, Desember 2019). Individu memaknai semakin pentingnya aktivitas konsumsi baik dalam pengalaman personal maupun pergaulan sosial.
Dalam budaya konsumen nilai simbolik dalam sebuah komoditas lebih penting dibandingkan nilai guna dan hal inilah yang disebut oleh Baudrillard sebagai dunia simulasi dimana citra visual dianggap lebih penting daripada kenyataan itu sendiri. Dunia simulasi mampu mendominasi konsumen. Simulacra menghipnotis konsumen untuk ikut membangun dan mengekspresikan identitasnya yang keren dengan mengonsumsi beragam komoditas yang ditawarkan.
Cakupannya sangat luas dan menyebar dalam kehidupan sehari-hari yang disuguhkan melalui media televisi, internet, majalah, komik, atau film yang membantu “menyimulasikan” kenyataan dan pada akhirnya menjadi kenyataan itu sendiri (Agger, 2009: 285). Atribut iklan juga memenuhi setiap sudut kota, terkadang terlihat seperti “sampah” namun memiliki nilai “artistik” yang memanjakan mata konsumen. Iklan sudah menjadi bagian hidup masyarakat dan merupakan dunia simulasi yang sangat efektif menggalakkan konsumsi terutama bila dihadapkan dengan konsumen yang tidak sadar, tidak terorganisir, dan cenderung soliter.
Dampak dari munculnya pergeseran dari nilai guna menuju citra tentunya mempunyai dampak terhadap lingkungan karena dengan bergesernya nilai guna manusia cenderung konsumtif dan sulit untuk mengerem keinginan untuk membeli sebuah komoditi yang padahal komoditi tersebut tidak mempunyai daya guna terhadap dirinya. mungkin ada sedikit guna namun hanya terhadap citra dirinya. Hal tersebut hanyalah kehampaan makna yang dibuat oleh sebuah media untuk membutakan manusia menjadi zombi-zombie pencari citra, tidak terbayangkan jika citra seorang pembakar hutan menjadi tren, mungkin orang-orang yang mempunyai paham komurisme akan berbondong membeli bahan-bahan yang mudah terbakar dan membakar pohon agar terlihat keren dan menaikan citra dirinya.
Dengan adanya paham konsumerisme tentu distribusi komiditi mempunyai daya dorong yang cukup bagus, karena bisa saling menguntungkan satu sama lain, yang mana disatu sisi ada produksi dan di satu sisi yang lain ada yang siap untuk membeli, namun apakah bumi bisa tahan dengan realitas seperti ini, apakah bumi bisa tetap mensuplai sumber daya alam. Mungkin untuk menjawab itu ada seorang pendeta yang meramalkan tentang pertumbuhan manusia dan pertumbuhan pangan.
Teori Malthus
Pada tahun 1798 seorang pendeta asal inggris yang bernama Thomas Robert Malthus menulis sebuah essai yang berdujul “An Essay On the Principle Of Population As It Affects The Future Improvement Of Society”. Essai tersebut berisi tentang pemikiran pertumbuhan manusia dan pertumbuhan pangan. Menurut teori Malthus pertumbuhan manusia dapat dihitung dengan menggunakan deret hitung, sedangkan pertumbuhan pangan dapat dapat dihitung dengan menggunakan deret hitung (Hart, 1986). Deret ukur adalah hitungan seperti (1, 5, 10, 15, 20, 25, 30, ….. dan seterusnya) sedangkan deret hitung adalah hitungan seperti berikut (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, ……… dan seterusnya).
Melihat teori Malthus diatas kita dapat berkesimpulan bahwa jumlah kuantitas manusia akan lebih banyak dibandingkan kuantitas pangan yang tersedia, hal ini bisa diargumentasikan bahwa tanah tidak bisa membuat dirinya bertambah luas, jika sudah 1 hektar ya 1 hektar, tidak bisa ditambah kembali untuk mengimbangi kuantitas pertumbuhan manusia. Artinya bahwa manusia suatu saat akan masuk kedalam rawa – rawa kemiskinan dan berada ditubir kelaparan. Dalam jangka panjang, tak ada kemajuan teknologi yang dapat mengalihkan keadaan itu, karena suplai pangan terbatas sedangkan pertumbuhan manusia tidak terbatas, dan bumi tidak akan mampu memprodusir pangan untuk menjaga eksistensi manusia.
Lewat “An Essay On the Principle Of Population As It Affects The Future Improvement Of Society” nama Malthus menjadi sorotan dunia, pada akhirnya banyak pemikiran-pemikiran baru untuk mencegah terjadinya over kuantitas, dan kekurangan pangan, muncul seperti nama Francis Place, Dr. Charles Knowlton yang menulis buku tentang kontrasepsi, sebagai upaya untuk menghambat agar tidak terjadinya over kuantitas jumlah manusia. Lalu muncul juga penemuan-penemuan seperti pupuk kimia, pestisida yang ditandai dengan revolusi hijau, sebagai upaya penyeimbangan agar pertumbuhan pangan dapat mengikuti pertumbuhan manusia.
Sebenarnya over kuantitas manusia bisa dibendung dengan berbagai cara seperti pikiran – pikiran yang diatas, atau lewat wabah contohnya seperti covid-19 pada tahun 2019 yang banyak mengorbankan nyawa manusia, namun hal tersebut menyisakan dampak dan hanya menyuguhkan keredaan sementara sedangkan ancaman over kuantiti manusia masih tetap mengambang diatas kepala dengan ongkos yang tidak murah.
Melihat runtuian diatas rasanya kita sulit untuk menciptakan masa depan yang lebih baik dengan berbasiskan system ekologi, namun sebagai manusia yang mempunyai optimisme kita mesti terus berupaya dan menciptakan pemikiran dan gerakan – gerakan yang bisa menuju tujuan kita yang kita impikan yaitu, “masa depan sejahtera berbasiskan system ekologi”. Maka dari itu kita mesti belajar terhadap masyarakat adat yang mempunyai nilai – nilai lokal yang telah berhasil menciptakan ketahanan pangan, kesejahteraan dan pandangan hidup yang berbasiskan sistem ekologis.
Belajar dari kecerdasan lokal di Indonesia
Kearifan lokal atau mungkin bisa disebut juga sebagai kecerdasan lokal yang nilai-nilainya diperlihatkan/diaktualisasikan oleh kampung adat adalah contoh yang baik untuk saat ini dalam menjaga kelestarian lingkungan. Pasalnya kampung adat terbukti masih kuat akan pangan dalam kondisi ketika dunia khawatir soal pangan, serta dalam kehidupan bermsyarakat pun mereka lebih sederhana, lalu dalam sistem perekonomian pun mereka cenderung memproduksi apa yang mereka konsumsi, dengan keadaan seperti ini tentunya pengeksploitasian sumber daya alam tidak akan massif dan masih dalam tahap normal.
Dalam menjawab isu lingkungan kampung adat telah memberikan contoh yang baik. Dengan pandangan bahwa alam dan manusia merupakan satu kesatuan yaitu mahkluk. Dengan menganut kepercayaan bahwa alam dipandang sebagai mahkluk maka alam diperlakukan sebagai mana mahkluk yang mempunyai hak dan privasi.
Masyarakat adat kemudian mengatur cara mereka memperlakukan alam dengan memetakan kawasan, mana kawasan yang boleh dimasuki oleh manusia dan mana kawasan yang bisa dimanfaatkan oleh manusia dan mana kawasan sakral yang tidak semua orang diperbolehkan bahkan hanya untuk sekedar berkunjung, apalagi dimanfaatkan dan dieksploitasi. Salah satu bentuk perlakuannya ini dikenal dengan pengetahuan konsep “Larang” (DW, 2019). Seperti yang diterapkan oleh kasepuhan cipta gelar yang memiliki sistem hukum adat dalam hal memanfaatkan dan mengelola hutan. Terdapat 3 pembagian kawasan dalam ruang lingkup adat kasepuhan, adanya pembagian kawasan tersebut bertujuan untuk kelestarian hutan tetap terjaga karena masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar menyakini bahwa hutan adalah unsur yang paling penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Struktur pengelolaan hutan dalam kehidupan masyarakat Kasepuhan di antaranya:
Yang pertama adalah Leuweung Titipan adalah kawasan hutan yang oleh sebagian besar disakralkan oleh masyarakat adat dan diyakini sebagai tempat tinggal para roh leluhur serta diyakini pula memiliki kekuatan mistis tersendiri. Siapapun dilarang keras untuk melakukan penebangan pohon maupun dalam segi pemanfaatan apapun bentuknya. Masyarakat adat menyakini jika peraturan ini dilanggar baik itu masih nekat untuk masuk kedalam hutan tersebut bahkan sampai memanfaatkannya, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak inginkan dan bisa menjadi bencana.
Kedua adalah Luweung Tutupan, Kawasan ini memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan atau hutan yang dilindungi. Hutan Tutupan ini diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh warga adat Kasepuhan baik diambil hasil kayunya maupun hasil alam lainnya, namun perlu digaris bawahi terdapat aturan – aturan adat yang diberlakukan sehingga perlu adanya batasan-batasan dalam mengolah maupun memanfaatkan. Yang ketiga adalah Luweung Garapan, Kawasan ini dikhususkan sebagai area pemanfaatan dalam bidang persawahan, perladangan, perkebunan, hingga pembangunan kawasan pemukiman adat.
Para masyarakat adat kasepuhan dapat memanfaatkan hutan garapan tersebut dengan secukupnya tanpa mengambil hasil-hasil alam dari hutan garapan secara berlebihan (Yayan Bagus Prabowo, 2021). Diberlakukannya pembagian hutan menjadi 3 zona diperuntukkan menurut fungsinya masing-masing serta batasan-batasan dalam pemanfaatannya agar proses pengelolaan hutan tersebut tidak menyebabkan kerusakan yang berdampak pada aktivitas penggundulan hutan secara terus-menerus yang berakibat tingginya kebutuhan masyarakat adat akan bahan kayu dan bahan alam lainnya.
Selain di ciptagelar ada juga pandangan kasundaan seperti berikut “Manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna”. Makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut. Yaitu setiap makhluk masing-masing telah diberi cara atau alat untuk melangsungkan kehidupannya. Oleh karena itu jangan coba-coba kita merusak alam, karena akan merusak ekosistem yang sudah dibangun secara alami. Akibat dari alam yang tidak stabil, akan menimbulkan bencana dimana-dimana (Masduki, 2015). Alam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan manusia, maupun semua makhluk hidup yang ada di bumi. Alam dan manusia saling berdampingan bahkan saling berinteraksi dengan lingkungan dalam kehidupan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal di Indonesia turut memegang teguh tradisi untuk senantiasa melestarikan alam yakni Hutan atau dalam bahasa Sunda disebut ‘leuweung’. Bahwa hutan adalah salah satu sumber daya alam (SDA) yang memiliki banyak manfaat bagi kelanjutan hidup manusia, adanya hutan dapat memberikan harapan dan manfaat secara sosial, ekonomi dan ekologi sehingga harus dijaga kelestariannya demi kesejahteraan umat manusia.
Masyarakat adat memiliki kemampuan untuk melakukan upaya rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan pada lahan-lahan hutan kritis, dengan hukum adat yang telah ditegakkan para warga tersebut dapat mengatur interaksi yang seimbang antara kehidupan manusia dengan ekosistem hutannya, sehingga dapat terus dipelihara dan dimanfaatkan dengan secukupnya.
Ditengah banyaknya isu lingkungan saat ini rasanya kita perlu mengamalkan ajaran-ajaran kecerdasan local dalam memperlakukan alam. Wallahulmuafiq
*Penulis merupakan Delegasi Indonesia untuk Konferensi Perubahan Iklim Dunia (COP27) di Mesir 6-18 November 2022