MONITOR, Jakarta – Kementan terus melakukan upaya-upaya dalam menjaga dan meningkatan produksi padi salah satu upaya yang dilakukan melakukan pengendalian hama dan penyakit, banyak sekali penyakit pada tanaman padi, salah satunya adalah blas. Penyakit blas ini merupakan penyakit utama pada tanaman padi dan berpotensi menurunkan kehilangan hasil dan penyebarannya telah merata pada pertanaman padi di wilayah Indonesia. untuk mengetahui lebih lanjut tentang penyakit blas ini Kementan melalui Direktorat Jenderal Tanaman Pangan melakukan webinar yang membahas penyakit blas pada 27/6/2022 yang dihadiri Akademisi Universitas Jember dan Guru Besar Universitas Padjajaran.
Suhartiningsih, Akademisi Universitas Jember, menerangkan penyakit blas Dilaporkan pertama kali di China tahun 1637, kemudian menyusul di Jepang, Italia dan India. Sedangkan di Indonesia pada awalnya penyakit ini menginfeksi padi gogo dan pada tahun 1985 penyakit ini sudah menyerang pada pertanaman padi tadah hujan, dan pada awal tahun 2000 sudah berkembang menyerang padi di sawah irigasi. Kondisi pertanaman padi yang sehat menghasilkan bulir yang bernas, dengan daun yang hijau.
“ini sangat kontras penampakannya jika tanaman terinfeksi patogen penyakit blas dimana daun akan mengering sehingga proses fotosintesis terganggu, menghambat pertumbuhan dan juga dapat menurunkan produktivitas” Terang Suhartiningsih
Suhartiningsih menambahkan Penyakit blas ini menyerang tanaman padi pada semua fase pertumbuhan, dari mulai persemaian sampai dengan pengisian bulir. Gejala penyakit ini dapat ditemukan di seluruh bagian tanaman padi mulai daun, buku batang, colar daun, leher malai, cabang malai dan bulir padi.
“Gejala pada daun awalnya berupa bercak kecil berwarna agak putih, dalam perkembangannya berubah menjadi keabu-abuan dengan dikelilingi halo berwarna coklat kekuningan kemudian berkembang lagi menjadi lebih abu-abu dengan bentuk menyerupai “belah ketupat” yang merupakan ciri khas dari penyakit blas ini” tambahnya
Selaras dengan Suhartiningsih, Guru Besar Universitas Padjadjaran, Hersanti menyampaikan bahwa Lokasi endemi penyakit ini di Indonesia di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera dan Kalimantan. Untuk mengendalikan penyakit ini dengan berbagai cara pengendalian tidak bisa mengendalikan OPT hanya dengan menggunakan satu Teknik pengendalian namun harus mengendalikan secara terpadu.
“Salah satu Teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah pengendalian biologi dengan menggunakan PGPR, Antibiotik dan jamur antagonis. “Manipulasi tanaman dapat dilakukan dengan meningkatkan gen ketahanan dengan memberikan sesuatu kepada tanaman yang semula rentan menjadi agak tahan. Pengendalian kimia merupakan Langkah terakhir.”jelas Hersanti.
Terpisah, Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi juga terus mendorong dan mendukung kegiatan pengendalian OPT berbasis ramah lingkungan dengan menggunakan agens hayati sebagai bahan pengendaliannya.
“ Seaya terus dorong untuk melakukan terobosan-terobosan dalam pengendalian OPT terutama dengan menngunaan bahan-bahan alami dengan demikian diharapkan kesadaran petani terhadap pentingnya budidaya tanaman sehat meningkat, demi keberlanjutan pertanian dan diharapkan juga kesejahteraan petani turut meningkat karena biaya yang dikeluarkan rendah dan produksi tetap terjaga.”, tegas Suwandi.