MONITOR, Jakarta – Indonesia dan Jerman terus meningkatkan kerja sama di sektor industri. Saat ini terdapat sekitar 250 perusahaan multinasional Jerman yang melakukan bisnis di Indonesia, dengan nilai investasi sebesar US$182,3 juta dan nilai perdagangan bilateral sebesar US$6,0 miliar di 2021.
Untuk semakin mempererat kerja sama dan meningkatkan investasi, kedua negara menyelenggarakan German-Indonesia Business Round Table bertepatan dengan kunjungan Presiden Republik Federasi Jerman Frank-Walter Steinmeier ke Indonesia pada 16 Juni 2022.Dalam kesempatan itu, hadir State Secretary at the German Ministry for Economic Affairs and Climate Action Anja Hajduk, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan dimoderatori oleh Managing Director EKONID Jan Rönnfeld.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2022 tumbuh 5,10%, sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi nasional dan upaya mencapai kondisi yang lebih hijau, berkelanjutan, dan inklusif. “Transformasi ini diharapkan mendukung Indonesia mencapai target Sustainable Development Goals,” ujar Menko Perekonomian.
Pemerintah Indonesia tetap berkomitmen mempertahankan stabilitas dan mengembalikan pertumbuhan ekonomi global. Sehingga, perlu kerja sama dengan berbagai pihak. “Yang terpenting, Indonesia menantikan konklusi awal dari Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yangmenjadi dasar kerja sama ekonomi,” jelasnya.
Ia mengatakan, perusahaan Jerman tertarik pada bidang infrastruktur, transformasi digital, transisi energi, dan sustainability. Adapun perusahaan yang hadir bergerak dalam bidang bidang digital, database, infrastruktur, juga terkait financial inclusion dan future energy. “Dalam rangka kerja sama 70 tahun Indonesia-Jerman, banyak hal yang bisa didorong, terutama dalam posisi Jerman yang sedang memimpin G7, dan Indonesia memimpin G20,”ujar Airlangga.
Presiden Joko Widodo telah meluncurkan peta jalan “Making Indonesia 4.0” pada April 2018. Sejak saat itu, perusahaan-perusahaan industri di Indonesia mulai memanfaatkan momentum tersebut untuk mengakselerasi penerapan industri 4.0. Pertemuan tersebut membahas topik-topik utama dalam sektor industri, meliputi digitalisasi, infrastruktur dan sustainability.
Saat ini terdapat dua perusahaan Indonesia yang ditunjuk menjadi global lighthouse oleh World Economic Forum (WEF), yaitu Schneider Electric Batam dan Petrosea. Selain perusahaan global lighthouse, ada tiga perusahaan national lighthouse dan limaperusahaan Industri 4.0 Lighthouse di Indonesia. “Saya ingin menginformasikan bahwa hari ini, kami menambahkan salah satu perusahaan Jerman di Indonesia sebagai perusahaan Industri 4.0 Lighthouse, yaitu Infineon Technology,” ujar Menperin.
Infineon Technology merupakan salah satu perusahaan global yang memproduksi semikonduktor. Per hari ini, perusahaan tersebut memproduksi sekitar 1,4 miliar chip per tahun dan merencanakan penambahan investasi 4-5 kali lipat dari kapasitas saat ini. “Ini strategi kita untuk memperkuat industri semikonduktor di Indonesia,” jelas Agus.
Dalam pertemuan antarnegara tersebut, hadir beberapa perwakilanindustri dari Indonesia mempresentasikan gambaran perkembangan sektor manufaktur di Indonesia, terutama terkait digitalisasi, infrastruktur, dan sustainability, best practice yang dijalankan, serta peluang-peluang bisnis yang bisa dimaksimalkan.
Delegasi Indonesia memaparkan peluang pengembangan sektor industri dengan potensi dan kemampuan yang telah dimiliki selama ini. Dalam topik digitalisasi, perwakilan TUV Rheinland Indonesia dan TOKOPEDIA memaparkan tren digitalisasi industri di Indonesia serta peran e-commerce di Indonesia dalam mendukung pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM). Sedangkanuntuk topik infrastruktur, perwakilan SIEMENS Indonesia dan Telkomsel memaparkan tentang kebutuhan infrastuktur modern dalam pengembangan ekonomi. Selanjutnya, dalam topik sustainability perwakilan Indolakto menjelaskan bahwa ekonomi berkelanjutan membutuhkan model bisnis yang sesuai.