Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA*
Menteri Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) membuka opsi baru tentang kebijakan pendanaan ibukota negara baru, yang akan dibiayai melalui dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) menggunakan dana anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Kemenkeu RI berdalih jika pelaksanaan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara merupakan momentum pemulihan ekonomi karena dalam desain yang dirancang sejak 2022 masih memberikan lowongan paket ekonomi yang besar yakni sebesar Rp. 450 Triliun. Slot anggaran ini faktanya masih belum dapat dispesifikasi secara lengkap sehingga nantinya tata perencanaan itu dimasukan dalam skema pemulihan ekonomi dan penataan pembangunan dana ibukota negara baru.
Tantangan Rasional
Melihat besarnya skema ekonomi yang akan digunakan pemerintah dalam mendanai pelaksanaan pembangunan IKN, maka pemerintah perlu secara cermat menyiapkan pelaksanaan pembangunan IKN. Seperti diketahui, kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta ke daerah Penajam Paser Utara di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sudah pasti dilakukan. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahkan telah menerbitkan Buku Saku Pemindahan IKN yang didalamnya menjelaskan berbagai tahapan perwujudan IKN baru Negara Indonesia.
Periode pertama dari pembangunan IKN akan dilaksanakan pada 2022 sampai 2024 dengan mekanisme pembangunan infrastruktur utama, Seperti Istana Kepresidenan, Majelis Permusyawaratan Rakyat / Dewan Perwakilan Rakyat (MPR / DPR). Selain itu dilakukan pula pembangunan perumahan area utama dari IKN. Dalam periode 2025 sampai 2035 penataan pembangunan IKN sebagai area inti yang lengkap. Pada tahap ini dilakukan pengembangan fase kota berikutnya seperti pusat inovasi dan ekonomi.
Setelah pembangunan IKN lengkap pada 2035 sampai 2045 yang menjadi tahapan pembangunan infrastruktur dan penataan ekosistem tiga kota, pada fase ini pemerintah juga berupaya memperluas jaringan pengembangan kota sekaligus membangun percepatan penyelesaian konektivitas antar dan dalam kota yang ada di di kawasan IKN baru. Masuknya anggaran pembangunan infrastruktur IKN baru dalam skema APBN jelas memberi keresahan tinggi mengingat sekarang ini Indonesia dan dunia masih dalam wabah pandemi sehingga langkah penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi akan menjadi sangat rentan untuk dikalahkan oleh kebijakan super besar ini.
Apalagi, baru-baru ini Direktur Jendral Anggaran Kementerian Keuangan RI yakni Isa Rachmatarwata sudah menyebut jika Kemenkeu RI tengah berupaya refocusing terhadap berbagai anggaran Kementerian dan Lembaga (K/L). Kemenkeu RI bahkan kabarnya akan melakukan langkah pemangkasan demi tetap terlaksananya pembangunan IKN sejak 2022. Menghadapi masalah ini, banyak pihak yang sebenarnya ragu dengan kesiapan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan IKN.
Jika mendalami produk UU IKN baru,sebenarnya masalah teknis pendanaan IKN baru telah tertuang dalam draf UU IKN tepatnya pasal 24 UU IKN. Tapi sayangnya produk UU ini masih belum menemukan kesepakatan yang mutlak karena masih ada beberapa pihak yang berencana ingin mengajukan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengingat pengesahan UU ini dibuat tanpa memperhatikan prosedural langkah hukum pembuatan UU IKN. Karena dalam proses legislasinya semestinya draft pembuatan UU tersebut melibatkan partisipasi publik dan akuntabilitas kajian studi ilmu yang komprehensif.
Meski banyak masyarakat Indonesia yang menolak adanya kebijakan pembangunan IKN baru ini. Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri sudah menegaskan jika tujuan utama dari langkah pemindahan IKN bukan hanya sekadar memindahkan fisik bangunan dan pusat aktivitas layanan birokrasi. Presiden Jokowi sendiri sangat ingin supaya pembangunan Indonesia terjadi perubahan mindset, demi mengubah cara kerja birokrasi agar lebih efisien dan memberi ruang pemerataan perhatian pembangunan Indonesia secara lebih adil karena kawasan IKN baru yang ingin sekarang ini merupakan kawasan luar pulau Jawa.
Pertimbangan Matang
Kewaspadaan publik terhadap ketidaksanggupan pembiayaan IKN memang sangat wajar menigingat saat ini pemerintah masih disibukkan dengan upaya penanganan Covid-19 yang membutuhkan biaya luar biasa besar,kebutuhan dana dalam membiayai pembangunan IKN dapat dipastikan membagi dua fokus besar kerja pemerintah. Apalagi saat ini postur APBN nasional kita masih belum produktif karena dampak pelemahan ekonomi akibat wabah pandemi Covid-19.
Jika berkaca pada realitas sejarah masa lalu,masalah klasik pemindahan ibukota baru Indonesia seringkali memang harus terganjal karena masalah ketidaksiapan anggaran dana dan besarnya keragu-raguan program pembangunan secara teknis. Melihat fenomena ini, pemerintah Indonesia saat ini harusnya dapat belajar dari pengalaman kegagalan Presiden Soekarno yang ingin menjadikan Palangkaraya sebagai IKN baru pengganti Jakarta. Masalah utama yang dihadapi oleh Presiden Soekarno dan pemerintah Indonesia saat itu persoalan masih belum siapnya pembangunan di Palangkaraya. (Susan Abeyasekere, 1989).
Berangkat masalah ketidaksiapan itulah, Presiden Soekarno menghentikan adanya pemindahan IKN baru. Hal ini ia lakukan setelah kunjungan terakhirnya ke kota Palangkaraya pada 1959 bersama Menteri Departemen Pekerjaan umum. Sulitnya pengiriman material, masih tidak stabilnya keuangan negara, dan mahalnya ongkos kebijakan pemindahan warga ke Palangkaraya membuat Jakarta masih dipilih Soekarno sebagai ibukota Indonesia sampai hari ini.
Menyikapi masalah keuangan, Peneliti Anne Both pernah menyebut jika kestabilan keuangan merupakan satu syarat mutlak bagi sebuah bangsa dapat membangun sebuah sistem pemerintahan baru. Tanpa adanya keuangan stabil, sebuah negara tak akan mampu memelihara angkatan bersenjata, mempertahankan kedaulatan negara, membiayai segala kebutuhan birokrasi, membangun sarana dan prasarana pokok serta kebutuhan pelayanan publik demi kepatuhan masyarakat. Anne Both juga mencontohkan kesuksesan yang pernah dilakukan oleh Hindia Belanda dalam mengelola kawasan Indonesia sebagai koloni dengan pembangunan tarif pajak yang sangat rendah karena berangkat dari dukungan ekonomi pembelanjaan negara yang ketat. (Booth,1998)
Besarnya masalah ketidakstabilan ekonomi negara itu pula yang membuat Presiden Soekarno pada akhir 1950-an tetap memilih kota Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Dalam arsip sejarah di Leiden Belanda, dituliskan jika masalah keuangan menjadi momok serius pemerintah yang menghalangi langkah kesiapan daerah-daerah di Kalimantan untuk dapat mengambil alih peran sebagai ibukota sekaligus pusat pemerintahan baru Indonesia. Karena sampai akhir 1950-an provinsi-provinsi di Kalimantan hanya memiliki anggaran belanja sebesar Rp. 40,5 juta dimana total anggaran ini masih separuh dari total besaran anggaran Jakarta saat itu. (Algemen Rijksararchief (ARA), Ministrie van Buitenlandse Zaken, Archief Indonesie Commiss/Bandjarmasin 1951-1957)
Apa yang terjadi dalam sejarah masa lalu harusnya dapat menjadi pembelajaran berharga bagi pemerintah saat ini untuk lebih berhati-hati membuat kebijakan teknis dan anggaran karena kekhawatirannya pembangunan IKN baru di Kaltim ini hanya melahirkan dampak masalah baru yang lebih kompleks. Ambil contoh soal kekhawatiran besar akan terjadinya sikap marginalisasi sosial terhadap masyarakat di Kalimantan dimana masyarakat lokal menjadi penonton ditengah masifnya pembangunan dan industrialisasi ekonomi besar di sebuah ibukota negara baru.
Meskipun sederhana tapi bukan hal mustahil jika hal semacam ini akan berbenturan dengan adat istiadat, norma, dan nilai masyarakat lokal yang berlaku disana. Kehadiran IKN baru di Kaltim jelas membutuhkan konsolidasi kajian yang sangat matang agar kebijakan ini tak berakhir dengan hasil yang kontraproduktif.
Eksistensi pembangunan IKN harus dapat mangakomodasi berbagai nilai kesejahteraan kolektif dari warga masyarakat pendatang dan masyarakat lokal supaya tak terjadi disharmoni yang ujungnya hanya melahirkan eksploitasi ekonomi sosial dan ketidaksejahteraan. Semoga pertimbangan ini menjadi masukan penting pemerintah dalam proses pembangunan IKN baru.
*Penulis merupakan Riset Analis Jaringan Studi Indonesia