MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf membeberkan tiga tantangan besar BPKH untuk mewujudkan pengelolaan dana haji yang berkesinambungan. Hal ini disampaikannya dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Rabu (15/12/21).
Bukhori mengungkapkan tantangan pertama adalah rasionalisasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih). Bipih merupakan biaya langsung yang disetorkan oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji dan merupakan komponen dari Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).
“Nilai Bipih kurang lebih 50-51 persen dari BPIH. Misalnya, apabila ibadah haji jadi diselenggarakan pada tahun 2020, maka jemaah haji hanya akan dipungut biaya sekitar Rp35-39 Juta. Padahal biaya riilnya adalah Rp69-71 Juta, artinya ada kekurangan hampir 50 persen,” papar Bukhori memulai penjelasannya.
Anggota Komisi Agama DPR ini melanjutkan, angka 50 persen tersebut dengan asumsi penyelenggaraan haji dilaksanakan dalam situasi normal dimana jemaah haji yang mendaftar dan berangkat tidak terdampak serius akibat pandemi. Pasalnya, kekurangan dana haji selama ini sebenarnya ditutup oleh nilai manfaat yang didapat dari hasil pengelolaan BPKH terhadap dana dari sekitar lima juta jemaah haji yang senilai Rp147 Triliun, dimana nilai manfaat yang diperoleh dari jumlah tersebut mencapai Rp8 Triliun dalam situasi normal. Walaupun demikian, patut digarisbawahi, tegasnya, dana Rp8 Triliun tersebut bukan semata-mata hak jemaah haji yang berangkat, melainkan hak semua jemaah haji yang jumlahnya lima juta itu.
“Kendati begitu, dalam kondisi pandemi nilai manfaatnya bisa kurang dari Rp5 Triliun, yakni kisaran Rp3-3,5 Triliun. Walaupun dalam laporan BPKH disebutkan surplus, dapat dipahami dikarenakan penyelenggaraan haji tidak diselenggarakan selama dua kali berturut,” lanjutnya.
Legislator PKS ini mengatakan, dalam setiap agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dewan Pengawas maupun Badan Pelaksana BPKH, pihaknya selalu meminta agar BPKH menyusun skema perhitungan keuntungan dari dana haji yang ditabung oleh jemaah.
“BPKH perlu membeberkan pada kami mengenai keuntungan yang dapat diperoleh berdasarkan hasil kalkulasi dari uang Rp25 Juta yang ditabung oleh jemaah selama 40 tahun. Jika keuntungannya mencapai Rp25 Juta, maka sebenarnya BPKH bisa berikan nilai manfaat hingga Rp25 Juta kepada jemaah. Sebab itu efektivitasnya perlu didorong,” jelasnya.
Anggota DPR Dapil Jawa Tengah 1 ini berharap Bipih dapat disesuaikan berdasarkan rasionalitas dan upaya untuk menuju tujuan itu mesti dilakukan secara bertahap. Menurutnya, rasionalitas yang dimaksud adalah harga wajar yang sepatutnya dibayarkan setiap orang yang akan melaksanakan ibadah haji.
Lebih lanjut, Ketua DPP PKS ini juga menyoroti persoalan Virtual Account (VA). Bukhori menilai VA atau rekening jemaah untuk menerima nilai manfaat pengelolaan dana haji yang diterima setiap tahunnya harus berwujud riil dan tidak berdasarkan kebijakan yang politis.
“Contohnya, sepanjang tahun 2020 dana VA dialokasikan sebanyak Rp1 Triliun, selanjutnya pada tahun 2021 senilai Rp2 Triliun. Walaupun masing-masing jemaah haji sama-sama menyimpan uang Rp25 Juta, semestinya kebijakannya adalah jemaah haji yang dananya paling lama terendap, maka nilai manfaat yang diperoleh sepatutnya semakin besar,” tandasnya.
Sebab itu, demikian Bukhori melanjutkan, BPKH seharusnya mampu mendesain kebijakan yang mendorong jemaah haji membayar sesuai dengan biaya riil yang berlaku. Tidak hanya itu, supaya jemaah haji merasakan dampak riil keuntungan dari investasi, maka nilai manfaat yang tersimpan di VA sudah semestinya diberikan dalam bentuk riilnya.
“Semua ini perlu proses karena ada masa jeda antara situasi dimana calon jemaah membayar utuh ongkos riil dengan situasi yang berlaku saat ini sebab akan terjadi lompatan yang signifikan,” ucapnya.
Bukhori menambahkan, alasan lain yang melatarbelakangi perlunya penyesuaian Bipih adalah untuk menghilangkan motif politis dibalik murahnya biaya haji sebagaimana berlaku hingga saat ini.
“Ini sudah terlalu politis, bayangkan dari Rp70 Juta menjadi Rp35 Juta! Akar masalahnya berawal dari tujuan pragmatis Presiden tertentu yang ingin memikat hati calon jemaah haji. Bisa dibayangkan, misalnya dari angka 200.000 jemaah, dimana mereka mewakili masing-masing keluarga dari berbagai daerah, minimal dapat diperoleh potensi elektoral sebanyak 25 juta suara. Angka ini jelas menggiurkan,” sambungnya.
“Selain itu, penyesuaian biaya yang rasional juga demi menghindari pertanyaan syar’i, yakni apakah pembagian nilai manfaat melalui VA sejalan dengan syariat atau tidak, dimana hal ini merupakan kewenangan MUI untuk menjawabnya,” bebernya.
Selanjutnya, Bukhori mengungkapkan tantangan kedua untuk mewujudkan pengelolaan dana haji yang berkesinambungan. Melalui paparannya, Bukhori menjelaskan bahwa dalam Visi Saudi Arabia Tahun 2030, Pemerintah Arab Saudi akan membangun Mina menjadi tiga tingkat untuk meningkatkan kapasitas jemaah. Apabila rencana itu berhasil terealisasi, dampaknya adalah bertambahnya kuota haji yang akan diberikan bagi setiap negara, termasuk Indonesia.
“Pada 2033 diprediksi bahwa SDA berbasis fosil (migas) di Arab Saudi tidak akan mampu lagi memberikan pemasukan bagi negara secara memadai. Walhasil, pilihannya adalah beralih dari sektor migas (minyak bumi) ke sektor pariwisata yang dinilai sebagai andalan baru, utamanya penyelenggaraan haji dan umrah,” ungkapnya.
Sebagai informasi, untuk sekali penyelenggaraan ibadah haji pemasukan negara yang diperoleh Arab Saudi dari sektor tersebut dapat ditaksir mencapai Rp150 Triliun, demikian Bukhori melanjutkan. Sektor ini terbukti menjanjikan bagi Arab Saudi mengingat animo masyarakat global, khususnya umat Islam, yang mengunjungi Arab Saudi untuk tujuan haji maupun umrah sangat tinggi dari tahun ke tahun, dimana keuntungan pariwisata ini belum tentu dimiliki oleh negara lain. Indonesia sendiri dalam situasi normal bisa menyumbang 1.100 jemaah umrah, sambungnya.
“Selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah jika Saudi memberikan kita kuota tambahan, dengan kebijakan Bipih yang masih disubsidi hingga 50 persen, akibatnya BPKH akan dituntut menutupi biaya dua kali lipat untuk sekali perjalanan. Artinya, jika keuntungan yang didapat adalah Rp8 Triliun, maka itu akan habis dipakai untuk sekali musim. Kemudian ketika terjadi kenaikan kuota 100 persen, maka Rp16 Triliun akan habis hanya untuk menutupi biaya haji dikarenakan operasional haji diperkirakan memakan biaya 16 T untuk sekali musim,” bebernya.
Dengan demikian, apabila demi menutupi penyelenggaraan haji untuk sekali musim membutuhkan Rp16 Triliun, lanjutnya, pertanyaannya adalah bagaimana memperoleh tambahan Rp8 Triliun lainnya mengingat perolehan nilai manfaat yang sebesar Rp8 Triliun selama ini didapat dengan cara investasi, yang kami nilai lebih banyak dilakukan secara konvensional?
“Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran mengingat untuk menutupi kekurangan biaya, opsi untuk penarikan dana jemaah haji yang ada menjadi sangat terbuka sebagai alternatif,” imbuhnya.
Anggota Baleg DPR RI ini selanjutnya menyebut tantangan ketiga BPKH adalah soal investasi. Bukhori mengatakan ketika BPKH berhasil mengakuisisi Bank Muamalat, harapannya dapat mendorong kinerja keuangan BPKH lebih progresif dan aman dalam melakukan investasi.
“Sebab dari lembaga keuangan ini diharapkan bisa menjalankan investasi yang lebih progresif dan aman” ujarnya.
Sementara itu, merespons persepsi yang menyebut DPR dan Pemerintah tidak kunjung membahas biaya riil haji yang rasional, sebaliknya Bukhori menilai pangkal masalah sesungguhnya justru terdapat pada kegiatan sosialisasi BPKH yang dinilai terlalu minim.
“Kami sulit sekali meyakinkan publik bahwa biaya riil ibadah haji itu besar. Padahal, masyarakat perlu tahu harga sebenarnya. Sebab itu, Komisi VIII DPR RI sangat terbuka untuk bekerjasama dengan BPKH dalam menyampaikan informasi terkait kebijakan strategis seputar keuangan haji sehingga bisa sampai ke akar rumput,” ucapnya.
Di sisi lain, demikian Bukhori menambahkan, juga perlu digarisbawahi bahwa kebijakan untuk merasionalisasikan biaya haji yang perlu dibayar jemaah mesti dilakukan secara gradual, tidak bisa dilakukan tiba-tiba. Maka itu, supaya tidak menjadi gaduh, sosialisasi perlu digencarkan secara masif sebagai langkah awal pengondisian, pungkasny