MONITOR – Polemik tentang menguatnya rencana pemerintah Pusat membuka peluang pemekaran di Papua kembali mencuat ke Publik. Terbaru, Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintah tetap berpegang teguh bahwa pemekaran DOB Papua dapat dilaksanakan demi kesejahteraan rakyat dan masyarakat.
Mahfud menyebutkan usulan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua dapat dilakukan dengan mempertimbangkan percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat dan masyarakat, serta memelihara citra positif Indonesia di mata Internasional.
Hal ini dikatakan Mahfud MD saat membahas amanat pada UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dimana pada pasal 76 diamanatkan bahwa pembentukan DOB di Papua dapat dilakukan bersifat bottom up ataupun top down. Mahfud menjelaskan, banyak aspirasi yang berkembang di masyarakat untuk pembentukan DOB di Papua.
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian yang baru dilantik menggantikan pendahulunya Tjahjo Kumolo, langsung sigap menindaklanjuti usulan pemekaran Papua dengan ikut mendampingi Jokowi dalam kunjungan pertama Jokowi ke Papua pasca dilantik untuk periode keduanya sebagai Presiden.
Selepas kunjungan, Tito Karnavian kemudian menegaskan bahwa berdasarkan atas kajian intelijen dan data-data lapangan yang di dapatkan, serta persetujuan dari pemerintah daerah disana, yang memungkinkan untuk dimekarkan dalam waktu dekat ini adalah Provinsi Papua Selatan. Tito juga menambahkan bahwa kebijakan ini diambil tidak serta merta membuka moratorium pemekaran daerah yang selama ini diambil oleh pemerintah, karena kebijakan pemekaran Papua didasarkan pada kebijakan strategis nasional, sehingga daerah lain tidak perlu cemburu.
Terkait hal diatas, Ridwan Darmawan, Koordinator Forum Pemuda Rumpin untuk Pemekaran Kabupaten Bogor Barat (FPRPKBB) menilai bahwa pemerintah telah bersikap secara diskriminatif dan berpotensi melakukan kebijakan tanpa bersandar kepada hukum. “Pemerintah Pusat tidak boleh gegabah dan jangan diskriminatif, kebijakan pemerintah harus selalu bersandar kepada hukum,” ujar Ridwan di Bogor, Rabu (1/12/20021).
Ridwan menambahkan bahwa pemekaran daerah sebagai mana hari ini pemerintah sedang melakukan kebijakan moratorium, saat ini dasar hukumnya adalah UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut harus berlaku sama untuk semua daerah di Indonesia, terkecuali tentu memang ada kekhususan untuk daerah otonomi khusus atau daerah istimewa. Tetapi tidak dalam hal pemberlakuan mengenai pemekaran daerah.
Ketentuan dalam undang-undang tersebut bahwa pemekaran daerah bisa dilakukan secara normal melalui usulan daerah induknya dan melalui adanya kebijakan strategis nasional, keduanya sejajar dan tidak ada yang diistimewakan, tetap harus mengacu kepada ketentuan yang ada dalam UU itu, melalui serangkaian tahapan-tahapan, kajian atas kelengkapan dokumen yang di perlukan, persetujuan pemerintah daerah asal atau induknya, rekomendasi dari pemerintah pusat dan seterusnya sampai kemudian dinyatakan sebagai daerah persiapan Daerah Otonomi Baru baik provinsi maupun Kabupaten/Kota. “Dua cara pilihan pemekaran sesuai UU sama posisinya, tidak ada yang dibedakan,” terang Ridwan.
Menurut Ridwan, jika pemerintah pusat akan memekarkan wilayah Papua, maka harus konsisten juga dengan membuka atau mencabut kebijakan moratorium pemekaran daerah, tidak bisa tidak. Dan yang juga penting, dalam UU 23/2014 juga ada perintah atau mandat khusus untuk pemerintah yakni membuat Desain Besar Penataan Daerah dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang kemudian menjadi acuan bagi pemekaran daerah di seluruh Indonesia tanpa kecuali. “Ini penting saya tegaskan,” jelasnya.
Rencana pemekaran Kabupaten Bogor Barat sendiiri, lanjut Ridwan sudah direncanakan sejak puluhan tahun lalu, sudah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit, secara kematangan baik dari segi kesiapan secara administratif, teknis dan fisik serta yuridis tidak perlu dipertanyakan lagi, bahkan tahun 2013 Amanat Presiden (Ampres) SBY saat itu sudah dikeluarkan, Ampres Nomor: R-66/Pres/12/2003 tentang salah satunya rancangan undang-undang pembentukan Kabupaten Bogor Barat tertanggal 27 Desember 2013.
“Belum lagi kenyataan bahwa saat ini Kabupaten Bogor masuk salah satu Kabupaten terpadat dengan jumlah penduduk hampir menyentuh angka 6 juta jiwa lebih, 40 kecamatan dan 400 lebih desa, tentu ini harusnya menjadi pertimbangan pemerintah pusat untuk segera memekarkan kabupaten Bogor,” beber Ridwan.
Kekhawatiran akan terbebaninya anggaran pusat dengan pemekaran daerah yang akan menjamur seperti periode 1999-2014 lalu karena dibukanya keran moratorium, tandas Ridwan merupakan alasan yang tidak masuk akal, karena pemerintah justru sudah diberikan waktu yang cukup selama 5 tahun periode pertama untuk melakukan evaluasi, kajian dan seharusnya penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Desain Besar Penataan Daerah dan tentu PP tentang Tata Cara Pemekaran Daerah sebagai mana mandat UU 23/2014.
“Jika konsisten dengan apa yang menjadi rambu-rambunya, saya kira kekhawatiran itu tidak akan terjadi. Ditambah lagi kenyataan beberapa waktu lalu, bencana besar yang menimpa beberapa kecamatan di Bogor Barat menyisakan cerita pilu tentang lambatnya pemerintah daerah dalam mengkonsolidasikan baik bantuan maupun tanggap darurat bencana dalam membuka akses jalan yang tertutup material longsor di beberapa titik karena jauhnya rentang kendali pemerintahan Kabupaten Bogor dengan wilayah Bogor Barat. Jadi pencabutan moratorium mendesak untuk segera diambil keputusan oleh pemerintah Pusat,” pungkasnya.