MONITOR – Pengamat Kelautan dan Perikanan yang juga Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI), Rusidianto Samawa angkat bicara terkait polemik Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Menurut Rusdianto, pembebasan biaya pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) bagi nelayan kecil oleh Menteri Kelautan dan Perikanan banyak kelemahannya. Menurut Rusdi justru menggratiskan PNBP itu bertentangan dengan UU Perpajakan dan non pajak. Karena sesungguhnya negara bisa jalan, banyak pemasukan kekayaannya dari pajak dan non pajak.
Rusdi menerangkan bahwa regulasi sebelumnya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana diatur dalam PP Nomor 75 Tahun 2015, ada yang disebut PNBP Fungsional sebagai service charged atau pemungutan kepada masyarakat yang mendapatkan pelayanan dari pemerintah bukan dalam rangka mendapatkan keuntungan namun untuk memperbaiki kualitas layanan itu sendiri.
Dengan demikian, akan saling terkait dan saling pengaruh, PNBP dapat lebih optimal apabila Pelayanan Publik yang diberikan oleh KKP memenuhi harapan pengguna jasa: pengusaha, nelayan, dan masyarakat umum.
“Namun, pada regulasi sekarang ini, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Beleid yang terbit pada 19 Agustus 2021 itu dianggap akomodir tarif 0 rupiah bagi pelaku usaha perikanan berskala kecil,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (12/10/2021).
Namun, terang Rusdi beleid PP 85 tahun 2021 sesungguhnya bertentangan beberapa pasal dan antar pasal dengan pemberlakuan dilapangan. Apalagi regulasi diatasnya sudah dapat disimpulkan bertentangan. Pemberlakuan tarif 0 Rupiah itu hanya alat kampanye saja.
Padahal, PNBP sesungguhnya seluruh penerimaan Pemerintah yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan, berupa pengelolaan dana Pemerintah, pemanfaatan SDA, hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, putusan pengadilan dan pengenaan denda administratif, hibah yang merupakan hak pemerintah serta penerimaan lainnya yang diatur dalam UU tersendiri.
“Sudah jelas, posisi nelayan, pengusaha dan masyarakat umum yang berusaha pada sektor Kelautan dan Perikanan, berdasarkan mekanisme pengelolaan, PNBP terdiri dari PNBP Umum (diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 2014 serta melalui Surat Persetujuan dan Penetapan Besaran Tarif Pemanfaatan BMN dari Menteri Keuangan), PNBP Fungsional (diatur dalam PP Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP pada Kementerian/Lembaga, dalam hal ini untuk KKP diatur melalui PP Nomor 85 Tahun 2021), dan PNBP Badan Layanan Umum atau BLU (seperti BLU LPMUKP yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.05/2017),” tegas Pria kelahiran Sumbawa, NTB itu.
Rusdi mempertanyakan dimana gratisnya atau hitungan 0 Rupiah ?. Dari mana asal usul regulasi 0 Rupiah. Sementara dikawasan pelabuhan, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), pengurusan izin melaut, pemutakhiran data dan informasi tangkapan, tetap memberlakukan PNBP.
KKP kata Rusdi harus merevisi PP Nomor 85 Tahun 2021 tersebut, yang menurut BPK-RI, Nelayan, pengusaha, dan petambak, perlu dikaji kembali penetapan jenis dan besaran tarifnya sesuai dinamika saat ini dan dimasa mendatang. Beberapa hal yang perlu diajukan revisi meliputi besaran faktor pendapatan nelayan, revisi mekanisme Harga Patokan Ikan (HPI) sebagai dasar Pungutan Hasil Perikanan (PHP), dan beberapa revisi lain termasuk konversi satuan.
“PP Nomor 85 tahun 2021 bukan bentuk penyederhanaan dari PP sebelumnya yaitu PP 75/2015, dari semula 4.936 tarif menjadi 1.671 tarif, dan penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta peraturan turunannya. Tetapi, justru PP Nomor 85 tahun 2021 berpotensi dapat merugikan negara,” tegasnya.
Perlu diketahui, objek PNBP sektor kelautan dan perikanan sesuai PP Nomor 85 Tahun 2021 terkait pemanfaatan sumber daya alam perikanan dan 17 pelayanan, meliputi pelabuhan perikanan, pengembangan penangkapan ikan, penggunaan sarana dan prasarana sesuai dengan tugas dan fungsi, pemeriksaan/pengujian laboratorium, pendidikan kelautan dan perikanan, pelatihan kelautan dan perikanan, analisis data kelautan dan perikanan, sertifikasi.
Kemudian, lanjut Rusdi layanan mengenai hasil samping kegiatan tugas dan fungsi, tanda masuk dan karcis masuk kawasan konservasi, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut, persetujuan penangkapan ikan yang bukan untuk tujuan komersial dalam rangka kesenangan dan wisata, perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut, pemanfaatan jenis ikan dilindungi dan/atau dibatasi pemanfaatannya, denda administratif, ganti kerugian, dan alih teknologi kekayaan intelektual.
“Terbitnya PP Nomor 85 tahun 2021 diyakini adanya perubahan formula pemungutan PNBP Pungutan Hasil Perikanan (PHP) pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, subsektor yang selama ini berkontribusi hingga 90 persen pada seluruh PNBP KKP. Tarifnya dihitung berdasarkan formula penarikan Pra Produksi, penarikan Pasca Produksi dan penarikan dengan Sistem Kontrak,” ungkapnya.
“Tetapi, tetap PNBP tetap berbayar, tidak ada istilah tarif 0 Rupiah bagi nelayan kecil. Faktanya, semua pasal di PP Nomor 85 tahun 2021 dipungut tarifnya. Jadi, tidak ada yang menjelaskan secara spesifik (per item) bahwa nelayan kecil tidak ditarik tarif atau tidak berlaku tarif 0 Rupiah, tetap berbayar apabila melaut dan urus izin,” pungkasnya.