Minggu, 24 November, 2024

Upaya Paksa Memanusiakan Koruptor

Oleh: Muhammad Fitrah Yunus*


Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimanapun, tak ada satupun yang menentang bahwa perilaku korupsi adalah perilaku yang bertentangan dengan etika, moral, hukum positif, apalagi dari sisi hukum agama. Perilaku korupsi adalah bentuk pengkhianatan terakbar pada Pancasila yang menjadi landasan ideologi berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Di tengah keyakinan itu, tak sedikit juga yang beranggapan bahwa sang pelaku korupsi, alias koruptor, meski berprilaku korup tapi mereka juga manusia yang harus dimanusiawikan. Hal ini dicoba dinarasikan dengan apik, agar keyakinan yang sudah lama mengkristal tentang korupsi bisa ‘agak-agak’ luntur, lentur, dan berupaya membawa masyarakat untuk menghadirkan ruang empati pada koruptor.

Sementara, pemaknaan terhadap perilaku korupsi di semua negara itu hampir sama. Korupsi sama halnya dengan mencuri, merampok, merampas hak orang lain, memperkaya diri sendiri, kelompok dan orang lain tanpa mempertimbangkan hak-hak orang lain. Perbuatan yang dilakukan dengan niat memberikan keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain, kata Henry Campbell Black’ dalam Black’s Law Dictionary.

- Advertisement -

Dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 menegaskan bahwa korupsi adalah tindakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Bahkan, menyalahgunakan wewenang juga termasuk dalam tindak pidana korupsi yang tertuang dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Janggal
Menjadi janggal, apabila perilaku korupsi dicarikan pembenaran bahwa yang melakukannya juga harus dimanusiakan, sementara ada hak orang lain yang tidak dimanusiawikan oleh para koruptor.

Hal ini tentu menjadi perhatian masyarakat yang serta merta memberikan kritik tajam bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi semakin jauh dari upaya penangkapan, apalagi upaya pencegahan yang sangat dinanti-nantikan masyarakat sejak dulu.

Betapa tidak, memberikan hukuman ringan pada perilaku tindak pidana korupsi di tengah kondisi pandemi Covid-19 menyajikan tontonan drama ketidakadilan penegakan hukum yang tiada henti menghiasi dunia peradilan di Indonesia. Rasionalitas hukum seperti tak lagi memiliki ruh jika dengan alasan sang koruptor, sang perampok uang negara/rakyat itu, diberikan keringanan hukum hanya karena dicaci maupun dibully publik.

Mesti dipahami bersama, bahwa tindak pidana korupsi termasuk perbuatan kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Mengapa disebut kejahatan luar biasa? Karena perilaku korupsi tidak hanya menghadirkan pelaku tunggal, namun juga ada pelaku-pelaku lainnya yang ikut andil. Mereka melakukan korupsi secara terstruktur, sistematis dan massif. Ibarat bola salju, jika satu terbongkar, maka yang lain pun bisa ikut terbongkar.

Canggih
Dunia yang semakin modern dengan ditandai kecanggihan teknologi, berbanding lurus dengan kenaikan jumlah tindak pidana korupsi. Pola korupsinya dari tahun ke tahun justru semakin canggih.

Kecanggihan yang penulis lihat ada pada begitu rapinya para koruptor bergerak. Mereka juga menjalankan prinsip “gotong royong” untuk memuluskan tindakannya. Para koruptor bekerjasama, merancang dari awal agar ‘celah temuan’ dapat sangat kecil, bahkan tak terlihat sama sekali. Mereka juga dapat menembus dinding-dinding kebijakan, bahkan mereka pun termasuk bagian dalam pembuatan kebijakan. Di sisi penegakan hukumnya, para penegak hukum juga dipaksa agar dapat menjadi bagian dari kelompok mereka.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perilaku korupsi sudah menjangkiti hampir semua lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sepertinya penyakit kronis dalam tubuh, korupsi menjelma menjadi penyakit mematikan yang sangat merugikan rakyat dan negara. Parahnya, penyakit ini coba ditularkan para koruptor kepada masyarakat sehingga ikut menjadi kebiasaan dan akhirya membudaya.

Hal ini dapat ditemui di setiap penyelenggaraan pemilu maupun pilkada yang menghabiskan banyak anggaran untuk membeli suara dan melegitimasinya menjadi suara rakyat, seolah-olah proses berdemokrasi sudah berjalan baik di atas relnya.

Duta Anti Korupsi
Salah satu upaya paksa untuk memanusiakan para tindak pidana korupsi adalah apa yang akan dilaksanakan KPK yaitu dengan menjadikan para mantan napi korupsi sebagai duta anti korupsi.

Jika publik bertanya, sebenarnya apa manfaatnya menjadikan mereka duta anti korupsi? Sudah pasti jawabannya tidak ada. Ini hanya akal-akalan saja agar koruptor itu dimanusiakan lalu menjadi perhatian bagi banyak orang. Padahal, efek pendidikan anti korupsinya sama sekali tidak ada.

Harusnya yang menjadi duta anti korupsi adalah orang-orang yang ‘menggalakkan’ gerakan anti korupsi di daerah-daerah maupun di kampung-kampung. Misalnya mereka membuat kampung atau desa anti korupsi, warung kejujuran seperti yang ada di KPK. Merekalah yang layaknya mendapatkan tempat mulia untuk menjadi duta anti korupsi. Sehingga, masyarakat termotivasi untuk menyiarkan gerakan anti korupsi serta berupaya memberikan pengaruh pada generasi-generasi muda bangsa.

Bukan justru sebaliknya, memberikan tempat bagi para eks narapidana korupsi menjadi duta anti korupsi, yang menghadirkan kekhawatiran, menstimulus para pejabat melihat korupsi adalah hal biasa dan lumrah, paling diberikan hukuman yang ringan, bisa diatur, dan kalau lepas dari tahanan, mereka sudah disiapkan “panggung suci” sebagai duta anti korupsi.

Kekhawatiran itu lebih membuncah jika pola pikir itu sampai dan juga dipakai oleh masyarakat. Semoga tidak!

*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Trilogia Institute / Pemerhati Kebangsaan

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER