Oleh: Muh Fitrah Yunus*
Seperti tak ada habisnya, isu pajak masih terus menghiasi negeri ini. Berkelindan, sambung menyambung, ikut menghiasi dan melengkapi sekelumit problema negara.
Beberapa bulan lalu, negara ini disibukkan dengan maraknya pengemplang pajak dari sejumlah perusahaan besar yang main mata dengan para petugas pajak. Sayangnya, salah satu perusahaan raksasa pengemplang pajak itu tak jadi tersangka meski telah menjadi bidikan KPK. Sprindik KPK bocor. Akhirnya, bukti tak kuat, dan sang pengemplang pajak berhasil lolos dari “maut”. KPK blunder.
KPK tak sekali dua kali mengalami hal yang sama. Artinya, KPK berkali kali blunder. Tentu masyarakat taktis berpikir, “mungkin ada orang dalam yang membocorkan”. Namun realitasnya berbicara demikian, bahwa memang, ada yang membocorkan.
Sehingga, alasan didirikannya KPK sebagai solusi “mengahajar” koruptor yang tak dapat dilaksanakan oleh kepolisian dan jaksa agung, mengalir berbeda saat ini. Seolah yang terjadi bahwa KPK saat ini tak ubahnya kepolisian dan kejaksaan yang gagal menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga yang memberantas korupsi saat lalu.
Di tengah gonjang ganjing tak berkesudahan yang dialami KPK, ada masalah baru di tubuh lembaga anti rasuah ini, yaitu tes wawasan kebangsaan yang mengaduk-ngaduk rasa nasionalisme bangsa. Betapa tidak, TWK yang dihadirkan sebagai ujian bagi para pegawai KPK agar dapat menjadi ASN di KPK penuh dengan tanda tanya. Irasionalitas sangat telanjang dalam setiap pertanyaan-pertanyaan yang dihadirkan di ujian itu. Dari pertanyaan lebih memilih Pancasila atau Alquran, hingga pertanyaan tentang pemenuhunan hak para kelompok homoseks di Indonesia.
Isu ini tak kurang menyita perhatian masyarakat karena banyak hal “nyeleneh” dalam setiap pertanyaan yang diberikan kepada pegawai KPK. Padahal, untuk menguji wawasan kebangsaan para pegawai KPK tidak mesti dengan pertanyaan-pertanyaan demikian. Bahkan, segala tugas KPK yang telah mereka jalankan dapat menjadi poin sebagai alasan kuat tidak diberhentikannya mereka sebagai pengawai di KPK. Seyogyanya, para pegawai KPK langsung diangkat saja menjadi ASN.
Di tengah polemik itu, banyak organisasi sipil yang mendorong agar Ketua KPK, Firli Bahuri, diberhentikan. Alasannya, Firli sangat jelas ingin melemahkan KPK dengan cara memberhentikan para pegawai KPK yang sangat gencar dalam kasus mega korupsi E-KTP. Narasi “ada taliban di tubuh KPK” juga dimainkan Firli untuk membumi-hanguskan orang-orang yang “getol” mengusut kasus demi kasus di KPK, khususnya juga kasus Firli Bahuri yang pernah tersangkut pelanggaran kode etik sebagai Ketua KPK.
Kelakar Warga 62
Keanehan demi keanehan itu terpampang jelas di mata masyarakat. Mereka berkelakar, “bukan Indonesia kalau pejabatnya tidak aneh-aneh”.
Semakin aneh jadinya ketika gonjang ganjing KPK dimana Firli Bahuri menjadi perhatian netizen 62, tiba-tiba negara ini “mendadak pajak”. Di samping itu, juga mendadak penangkapan premanisme di pelabuhan-pelabuhan, khususnya di Tanjung Priok yang sering dihiasi dengan pemalakan.
Utamanya pajak. Negara tiba-tiba melempar isu hangat soal pendidikan dan sembako yang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Isu ini terus menggelinding, yang akhirnya menjadi bola panas tak berkesudahan. Alhasil, kontroversial, dan mendorong para tokoh masyarakat, ulama, akademisi memberikan tanggapan negatif atas isu ini.
Hemat penulis, di tengah pandemi Covid19, negara ini memang sangat membutuhkan uang, sama halnya masyarakat yang juga butuh uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Memberlakukan PPN pada pendidikan dan sembako tentu menjadi kebijakan yang akan memberatkan dan sangat mengecewakan masyarakat. Secara konstitusional, kebijakan PPN itu juga melanggar landasan (nilai) bernegara, yaitu Pancasila, sementara pemerintah tak berjeda menggelorakan nilai-nilai yang ada pada Pancasila. Sungguh seruan yang bertolak belakang dengan realita!
Menopang
Semua tahu bahwa negara hadir untuk membantu, menolong, menopang rakyat. Kepentingan rakyat yang terakomodir dengan baik dalam sebuah negara bernama Indonesia harus menjadi tujuan utama kehadiran negara ataupu pemerintah.
Akan beda rasanya jika negara justru memberatkan rakyat. Jauh dari cita-cita yang diamanatkan dalam konstitusi dan landasan negara bernama Pancasila. Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhamamadiyah, dalam uraiannya menjelaskan bahwa mengenakan PPN utamanya di bidang pendidikan jelas melanggar UUD 1945. Pada Pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan menerangkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Bahkan ditegaskan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Negara memprioritaskan APBN terhadap pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen, juga sangat jelas konstitusi memerintahkan hal itu. Demi apa? Demi tujuan mencerdaskan bangsa.
Pengangguran
Di tengah Pandemi Covid19, kondisi semua sektor negara mengalami minus, utamanya jumlah pengangguran sangat tinggi. Di awal-awal pandemi, pemutusan kerja terjadi dimana-mana yang tentu menyayat hati para pekerja yang tak lagi dapat bekerja.
Berangkat dari itu semua, kebijakan PPN pada sembako dan pendidikan semestinya tak ada dan tak perlu diada-adakan. Pemerintah jangan membuat polemik di tengah hangatnya tindak tanduk KPK yang blunder dalam kegiatan akbar tes wawasan kebangsaan yang menguras perhatian bangsa ini.
Pemerintah semestinya mencari ide yang lebih kreatif agar perekonomian negara dapat bangkit di tengah pandemi, lapangan pekerjaan bisa semakin banyak dan mudah diakses masyarakat, serta tidak lagi menggunakan cara-cara lama seperti memungut utang luar negeri.
Negara semestinya memberikan penghargaan pada masyarakat yang sangat sabar dengan kondisi perekonomian negara yang sedang sesak. Yang sabar melihat negara dipermainkan para pengusaha nakal yang tidak menunaikan kewajiban pajaknya kepada negara.
Bukan sebaliknya. Sembako dan pendidikan yang dikenakan PPN sudah pasti ikut membuat sesak masyarakat dan tentu akan berdampak fatal bagi negara. Wallahu a’lam.
*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Trilogia Institute/Pemerhati Kebijakan Publik