Oleh: Muh Fitrah Yunus*
Dunia modern saat ini mendorong manusia untuk melakukan aktualisasi diri secara bebas kreatif. Umumnya, manusia asik dengan passion masing-masing, berkreasi, mencipta banyak hal, produktif, bekerja, bekerja dan bekerja, sehingga “ruang Tuhan” sedikit demi sedikit sirna. Orang-orang pun akhirnya mendeklarasikan kebebasan dirinya dari Tuhan.
Sebuah keniscayaan sejarah bagi Harvey Cox, jika manusia modern saat ini mengenyampingkan Tuhan dalam kehidupannya. Harvey Cox memandang sekularisasi sebagai teologi perubahan sosial yang bertujuan mendobrak kebuntuan agama. Menurutnya, Tuhan tak lebih dari sebuah penamaan yang kehadirannya terkadang kosong dan ambigu. Tuhan telah mati!
Bagi dunia Barat, mungkin akan setuju dengan pandangan di atas, terlebih realitas yang ada di Barat adalah realitas modern yang mengedepankan rasionalitas tanpa menghadirkan peran Tuhan dalam setiap aktivitasnya. Namun, bagi bangsa Indonesia yang memiliki landasan nilai Pancasila, yang menempatkan Tuhan pada posisi teratas dalam Pancasila, sudah barang tentu akan menolak sekularisme dan seluruh proses sekularisasi yang coba mencari ruang di negara ini.
Tantangan berat bagi bangsa jika paham sekuler dewasa ini mencoba mencari ruang dan mencoba “mengaduk-ngaduk” nilai-nilai Pancasila. Hilangnya frasa ‘agama’ dalam draf Peta Jalan Pendidikan membunyikan “lonceng bahaya” itu, tanda waspada bagi seluruh masyarakat.
Peta Jalan Pendidikan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya meluncurkan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020 – 2035. Sebuah kebanggaan bagi para perancang, khususnya Nadiem Makarim sebagai menteri, yang memberikan terobosan sebuah peta jalan dalam dunia pendidikan.
Sayangnya, peta jalan itu menuai banyak protes. Polemik yang dihadirkannya sangat besar karena ada satu frasa yang hilang dalam peta jalan tersebut, yaitu frasa ‘agama’. Frasa ‘agama’ dihapus dan digantikan dengan akhlak dan budaya.
Protes itu disampakan oleh Prof. Haedar Nasir, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Menurutnya, Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020 – 2035 tidak sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945.
Haedar Nasir menegaskan bahwa hilangnya frasa ‘agama’ merupakan bentuk melawan konstitusi. Menurut hirarki hukum, produk turunan kebijakan seperti peta jalan tidak boleh menyelisihi peraturan di atasnya, yaitu peraturan pemerintah, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UUD 1945, dan Pancasila.
Ia juga memandang hilangnya frasa ‘agama’ sebagai acuan nila akan berdampak besar pada aplikasi dan ragam produk kebijakan di lapangan. Padahal, pedoman wajib di atas Peta Jalan Pendidikan Nasional yaitu ayat 5 Pasal 31 UUD 1945. Selain itu, poin pertama Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjelaskan secara eksplisit bahwa agama sebagai unsur integral di dalam pendidikan nasional.
KH Arifin Junaidi, Kepala LP Maarif NU, juga senada, bahwa Kemendikbud jangan mengabaikan pola pikir dimensi religius dan dimensi historis bangsa Indonesia yang menjadi titik awal refleksi, evaluasi dan antisipasi bagi kebijakan pendidikan di masa depan.
Arifin Junaidi juga menyatakan pentingnya penanaman ajaran dan nilai-nilai agama sesuai yang dipeluk peserta didik. Bahkan, ia juga mengusulkan penggunaan frasa ‘merdeka belajar’ dikembalikan ke frasa yang diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu menekankan pada pengembangan karakter, bukan pada penekanan literasi numerasi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan terkejut setelah mengetahui bahwa frasa ‘agama’ hilang dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020 – 2035. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Pendidikan dan Kaderisasi, KH Abdullah Jaidi, mengatakan bahwa agama adalah tiang bangsa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang didasarkan pada agama dan menjalankan syariatnya menurut agama masing-masing. Tanpa adanya agama, bangunan atau pendidikan yang sudah berjalan akan jatuh dan roboh.
Ia menjelaskan, bahwa konsep yang diusung Kemendikbud hanya menyebutkan permasalahan yang berkenaan dengan akhlak dan budaya di Indonesia. Kiai Abdullah menegaskan, frasa ‘agama’ tidak cukup diwakilkan dengan frasa ‘akhlak’ dan ‘budaya’.
Gagal Paham
Rupanya ada yang “gagal paham” dengan agama yang selalu mengaitkannya dengan sesuatu yang sifatnya doktrin. Padahal, agama itu menekankan pada akhlak mulia maupun budi pekerti.
Jangan pernah menempatkan agama sebagai sesuatu yang sensitif, yang hanya menempatkan satu pandangan agama tertentu saja. Karena menganggap bahwa Islam adalah agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia, sehingga frasa ‘agama’ dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020 – 2035 dihapuskan. Bukan itu!
Yang harus digaris bawahi oleh Kemendikbud, bahwa agama yang dimaksud bukanlah terkait dogma keagamaan, karena agama tidak boleh berteologi dan menentukan pandangan teologi yang dominan di negara demokrasi seperti Indonesia.
Olehnya itu, jangan sampai gagal paham itu mendorong bangsa ini pada jurang sekularisme. Masyarakat sebagai benteng Pancasila harus sadar berjamaah bahwa sekularisme mampu merusak generasi bangsa, yang tentu sangat memungkinkan masuk dan mewarnai perilaku masyarakat.
Bukankah hal kontroversial yang bersinggungan dengan agama sudah berulang-ulang terjadi di negara ini? Dimulai dari Pancasila yang ingin “diperas”, SKB 3 menteri yang melarang pewajiban maupun pelarangan atribut keagamaan di seragam sekolah, dan saat ini, Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020 – 2035.
Semoga dugaan penulis salah?
*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Trilogia Institute / Pemerhati HTN dan Kebiijakan Publik