MONITOR, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan ekonom senior Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.
Dalam sidang pleno terbuka, Hakim MK menolak gugatan Rizal Ramli dan Abdulrachim terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan seterusnya, amar putusan mengadili menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” ungkap Hakim MK, Anwar Usman, saat membacakan amar putusannya, Jakarta, Kamis (14/1/2021).
Dalam pertimbangannya, hakim menilai bahwa ambang batas presiden dalam Pemilu 2019 tidak memberi kerugian secara konstitusional kepada pemohon. Menurut hakim, pemilih pada Pemilu 2019 dianggap telah mengetahui bahwa suara mereka akan digunakan untuk menentukan ambang batas pencalonan presiden.
Abdulrachim dalam gugatannya pada awal September 2020 lalu menilai bahwa penerapan ambang batas pencalonan presiden membatasi hak konstitusional dirinya. Sebab, menurut Abdulrachim, faktanya Pilpres 2014 dan 2019 hanya memunculkan nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Sementara, menurut hakim, anggapan tersebut tidak beralasan, sebab aturan ambang batas pencalonan presiden dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak membatasi seseorang untuk mencalonkan diri.
“Sehingga hal demikian bukan persoalan norma, melainkan permasalahan implementasi atas norma dimaksud,” ujar hakim dalam pertimbangannya.
Sementara Hakim MK, Arief Hidayat, mengatakan bahwa Rizal Ramli tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan itu.
Dalam pertimbangan hukum, MK menyatakan, sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
Sesuai pasal tersebut, pengusulan pasangan calon tidak ditentukan oleh kehendak perseorangan sehingga subjek hukum yang mempunyai hak konstitusional dan memiliki kedudukan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan itu adalah partai politik atau gabungan partai politik.
“Maka yang memiliki hak kerugian konstitusional menurut permohonan yang diajukan oleh para pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik,” katanya.
Dalam sidang sebelumnya, Rizal Ramli menyebut bahwa aturan ambang batas membuat calon terbaik tidak dapat berkompetisi dalam pemilu karena kebanyakan calon presiden tidak mempunyai uang untuk membayar upeti yang diminta partai politik.
Menurut Rizal Ramli, sistem demokrasi yang berlaku di Tanah Air hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dan menghambat munculnya tokoh-tokoh berkualitas dan berintegritas untuk memasuki kompetisi pesta demokrasi.
Namun, argumentasi yang dibangunnya untuk mengubah pandangan MK bahkan tidak dipertimbangkan karena majelis hakim menilai ia tidak memiliki kedudukan hukum.
Seperti diketahui, Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno didampingi kuasa hukumnya yakni Refly Harun melayangkan gugatan uji materi terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait ambang batas pencalonan presiden pada 4 September 2019 lalu.
Dalam gugatannya, mereka meminta MK menghapus syarat ambang batas yang telah membatasi hak seseorang mencalonkan diri menjadi presiden dan wakil presiden.
“Kita mengajukan judicial review ketentuan presidential treshold, kita menginginkan ketentuan PT itu 0 persen alias tidak ada. Agar kemudian pilpres ke depan itu pilpres yang lebih berkualitas dan juga fair kompetisi,” ungkap Refly.