MONITOR, Jakarta – Kata Demographic Dividen atau Bonus Demografi sering kali kita dengar dalam beberapa tahun terakhir dalam konteks Indonesia. Semangat yang terkandung dalam kata tersebut kian santer dibicarakan seiring dengan harapan bahwa pertumbuhan ekonomi akan turut serta mengekor di belakangnya.
Dalam beberapa tahun kedepan, Indonesia diprediksi bakal mendapat anugrah bonus demografi, tepatnya pada rentang waktu 2020 hingga mencapai puncaknya pada 2030. Dimana pada rentang waktu tersebut usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia tidak produktif (anak usia 14 tahun ke bawah dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Dengan kata lain angka rasio ketergantungan Indonesia akan menuju angka terendahnya, yakni 44%.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden RI Joko Widodo juga menegaskan, bonus demografi adalah tantangan sekaligus kesempatan besar bagi NKRI, konsekuensinya yakni Indonesia harus mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup dan mampu menghadirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang maju.
Untuk menyabet momentum tersebut, tentu membutuhkan peran dari berbagai sektor, salah satunya yakni sektor kependudukan dan keluarga berencana yang saat ini digawangi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dimana dalam mengejar momentum ini, BKKBN mengambil peran yang cukup strategis, yakni meningkatkan kualitas penduduk melalui pembangunan keluarga, bahwa tak bisa dipungkiri keluarga merupakan hilir dari terciptanya SDM unggul untuk menyongsong bonus demografi.
Guna menggali lebih dalam terkait bonus demografi dan peran strategis BKKBN dalam mewujudkan SDM unggul, MONITOR menggelar wawacara khusus bersama Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, Sp. OG (K), di Kantor BKKBN, Jakarta Timur, Rabu (2/9).
Berikut petikan wawancara khusus MONITOR bersama Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, Sp, OG (K):
Bagaiamana wajah kependudukan di Indonesia saat ini?
Penduduk Indonesia sekarang ini sudah masuk dalam suasana bonus demografi, dimana ada kesempatan yang bagus untuk menaikkan pendapatan perkapita, karena depedency ratio-nya itu rendah, dalam arti jumlah penduduk yang produktif bisa dua kali lipat dibandingkan yang tidak produktif, 100 orang menanggung 46 orang, dan itu puncaknya akan terjadi pada tahun 2024.
Sehingga dari sisi penduduk, sekarang ini kita memasuki masa-masa keemasan karena penduduknya banyak yang bisa bekerja usianya, dari sini lah tergantung kualitas penduduknya, mereka bisa bekerja atau tidak. Saya kira dari situasi penduduk, bonus demografi sangat menarik di saat-saat sekarang ini hingga tahun 2035 nanti.
Bagaimana fakta yang terjadi di lapangan terkait kualitas penduduk untuk menyongsong bonus demografi?
Dari sisi kualitas kita memang harus berjuang, karena rata-rata partisipasi sekolah kita masih belum sampai 9 tahun, sehingga indikator terdekat itu lah tenaga kerja kita yang terdidik jumlahnya masih terbatas. Mayoritas ada yang terdidik tapi terlatih, atau bahkan ada yang tidak dua-duanya. Dalam konteks ini kalau kita bicara kenyataan, maka kita harus tetap berjuang.
Jika menyinggung pernikahan dini, angkanya masih sekitar 26 dari 1000 perempuan yang usianya di bawah 20 tahun, ada 26 diantaranya sudah pernah melahirkan, sudah hamil, itu jika kita bicara kongkret. Sebetulnya kondisi tersebut sudah menurun sejak 2012, dari 36 berturut-turut menurun, hingga sekarang menjadi 26 per 1000. Ini lah pekerjaan yang harus diselesaikan.
Kenapa itu menjadi pekerjaan rumah kita? karena syarat untuk memetik bonus demografi adalah celah peluang untuk mendapatkan bonus itu salah satu sayaratnya adalah tidak banyak yang putus sekolah, artinya pendidikannya cukup baik, dan tidak nikah dini, tidak banyak kematian ibu, kematian bayi. Ini lah contoh masalah-masalah yang menjadi penghambat dalam rangka mentransformasi bonus demografi menjadi bonus kesejahteraan.
Bagaimana jika kondisi tersebut dikaitkan dengan pandemi saat ini?
Itu juga menjadi tantangan, di saat pandemi pengangguran meningkat, kalau kita memakai bonus demografi, salah satu sayaratnya tidak ada pengangguran, ada pengangguran tapi jumlahnya rendah. Apa lah artinya kalau penduduknya sehat dan produktif dalam usianya tapi tidak bekerja, sama saja, makanya itu lah tantangan yang harus kita hadapi, kita menyadari penuh hal itu, kita bekerja untuk itu.
Kita tahu salah satu visi misi Presiden Jokowi adalah mewujudkan SDM unggul dan BKKBN mempunyai peran strategus dalam hal ini. Bagaimana BKKBN mengawal visi misi ini?
Memang konkret, BKKBN kerja teknisnya konkret, begini, yang membuat stunting itu salah satunya adalah spacing, jadi orang itu antara jarak anak dengan stunting itu berkorelasi kuat, dimana penduduk, seandainya dia tidak KB dan jaraknya kurang dari 3 tahun maka angka stuntingnya tinggi. Ini lah kerja BKKBN, bekerja di hulu, jadi kalau 1000 hari kehidupan pertama itu mulai dari konsepsi hingga umur 2 tahun, ini bagian dari hulu, tapi BKKBN bekerja lebih hulu lagi, yakni menyiapkan pra konsepsi menjadi family planning.
Semua yang akan menjadi family itu mestinya dibimbing untuk membuat planning, ini lah kerja BKKBN untuk membimbing bagaimana remaja, pemuda bisa masuk di dalam kehidupan rumah tangga yang berencana, maka jargonnya kita rubah sekarang, “Berencana itu Keren” dan “Dua Anak lebih Sehat”.
Sekarang ya ini yang kita lombakan, sudah kita lakukan sejak saya setahun (menjabat) di sini. Dinataranya merubah logo, merubah jargon dan tagline dalam rangka bisa lebih dekat dengan para remaja, bisa lebih dekat dengan para generasi milenial, agar mereka ini bisa berencana membangun SDM yang unggul untuk Indonesia maju.
Bagaimana harapan dan pesan Bapak untuk generasi milenial yang hendak menikah?
Harapan saya, generasi milenial harus menjadi generasi berencana, jadi keluarga itu harus direncanakan, jangan terlalu muda dan jangan terlalu tua. Jangan terlalu sering dan jangan terlalu banyak. Ini lah 4 Terlalu yang harus dihindari, Jangan terlalu muda, kurang dari 20 tahun, idealnya 20-35. Jangan terlalu tua, lebih dari 35 tahun masih melahirkan. Jangan terlalu sering, kurang dari tiga tahun sudah hamil lagi. Jangan terlalu banyak, memiliki anak lebih dari dua.