MONITOR, Jakarta – Salah satu sumber potensial terbesar dari pertumbuhan ekonomi negara adalah sektor kelautan dan perikanan, khususnya perikanan budidaya atau akuakultur.
Hal tersebut dikatakan guru besar fakultas perikanan dan ilmu kelautan IPB Universitiy, Prof. Rokhmin Dahuri saat menjadi pembicara kunci International Webinar Seafood Trade Corridor “ Standards, Best Practices, Supply Chain Capability Certification for the Segmentation of the Markets”, yang dilaksanakan Indonesia Food Savety Institute (IFSI). Kamis (2/7/2020).
“Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur terbesar di dunia (100 juta ton / tahun). Sampai tahun 2019 total produksi akuakultur hanya sekitar 17 juta ton (17%) dimana 11 juta ton (65%) adalah rumput laut dan 6 juta ton (35%) terdiri dari ikan, udang, kepiting, dan moluska,” ujar Rokhmin.
Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) mengungkapkan jika sejak 2009, berdasarkan data FAO tahun 2018, Indonesia telah menjadi produsen komoditas akuakultur terbesar kedua di dunia, setelah China.
Atas hal tersebut, Rokhmin Dahuri menyarankan kebijakan dan program pengembangan untuk mengembangkan akuakultur berkelanjutan di Indonesia dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti laju pengembangan akuakultur.
“Area, dan tingkat teknologi akuakultur di wilayah manapun (unit spasial) tidak boleh melebihi daya dukungnya. Setiap unit bisnis akuakultur harus menerapkan skala ekonomi, sistem manajemen rantai pasokan terintegrasi, penerapan teknologi canggih dengan prinsip pembangunan berkelanjutan,” terang Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu.
Selain itu, Rokhmin juga mendorong revitalisasi semua unit bisnis akuakultur yang ada (laut, pesisir, dan daratan) untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi (profitabilitas), daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan.
“Perluasan produksi akuakultur di wilayah laut, pantai, dan daratan baru berdasarkan kesesuaian dan daya dukungnya,” ungkapnya.
Menurut Rokhmin, diversifikasi spesies baru (komoditas) untuk produksi akuakultur juga menjadi hal penting termasuk penerapan teknologi ramah lingkungan.
“Semua teknologi yang digunakan dalam budidaya harus ramah lingkungan (hemat sumber daya, nol limbah, rendah karbon, dan kurang atau tidak ada kerusakan pada lingkungan),” tandasnya.
Manajemen lingkungan untuk mempertahankan produksi akuakultur menurutnya antara lain perencanaan tata ruang, pengendalian polusi, dan konservasi keanekaragaman hayati termasuk mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bahaya alam lainnya
Pemerintah juga diminta memperkuat dan memperluas pasar domestik dan global untuk komoditas dan produk akuakultur termasuk menyediakan modal bagi UMKM dan mengembangkan Kerjasama dengan berbagai pihak pemangku kepentingan sektor akuakultur.
“Keuangan, infrastruktur, teknologi, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya tidak hanya dapat diakses oleh perusahaan besar, tetapi juga untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” tegasnya.
Adapun pengembangan pengembangan kerja sama saling menguntungkan diantara para pemangku kepentingan akuakultur seperti pembenihan, pakan, produsen, pengolah, dan pedagang.
Rokhmin juga mengingatkan pemerintah untuk terus memperkuat dan mengembangkan penelitian dan pengembangan atau research dan development (R&D) dalam menghasilkan inovasi secara berkelanjutan.
“Kebijakan dan peraturan pemerintah harus kondusif untuk akuakultur yang produktif, efisien, kompetitif, inklusif, dan berkelanjutan,” ujar Rokhmin Dahuri.