MONITOR, Jakarta – Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja (Ciptaker) diharapkan mampu mendorong peningkatan daya saing Indonesia dikancah global, khususnya di sektor ekonomi.
Begitu dikatakan Pengamat Ekonomi yang juga Direktur Institute of Developing Entrepreneurship, Sutrisno Iwantono, di Jakarta, Kamis (7/5).
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) denga Badan Legislasi (Baleg) DPR beberapa waktu kemarin, Sutrisno juga mengatakan ada sejumlah aturan di Indonesia saat ini yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Bahkan, ia menilai, dapat menghambat investasi, kurang signifikan dalam mendukung penciptaan lapangan kerja yang luas, termasuk kurang mendukung pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menenagh (UMKM).
“Salah satu poin yang diharapkan bisa dikoreksi dalam RUU Ciptaker adalah definisi Usaha Mikro, Kecil aan Menengah (UMKM) yang saat ini kriterianya sudah cukup jauh tertinggal dibanding negara lain,” papar dia.
Kriteria UMKM sebagaimana UU Nomor 20 Tahun 2008, menurutnya, justru tidak lagi relevan karena setiap institusi punya ketentuannya sendiri.
“Antarbank saja kriterianya beda. Sementara kriteria yang kita punya sudah tidak kompatibel dan kalah bersaing dengan kriteria di negara lain, kriteria kita terlalu kecil,” ujarnya.
“Dibandingkan dengan Vietnam, kriteria usaha kecil di Indonesia sudah ketinggalan, bagaimana mau membawa UMKM kita ke ranah global? Kriteria saja sudah kalah,” ucap dia menjelaskan Vietnam usaha kecil dipatok memiliki omzet Rp50 miliar, di Indonesia maksimum Rp2,5 miliar.
Oleh karena itu, ia berharap, masalah tersebut bisa dihilangkan dalam RUU Cipta Kerja itu. Untuk itu Sutrisno pun merekomendasikan masukan terkait Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya mengenai kriteria UMKM.
“Omzet usaha mikro berkisar Rp200 juta hingga Rp2 miliar; usaha kecil Rp2 miliar hingga Rp10 miliar; usaha menengah Rp10 miliar hingga Rp40 miliar; dan usaha besar lebih dari Rp40 miliar,” tandasnya.