Oleh: Ruchman Basori*
Kabar duka cepat menyebar ke jejaring media sosial. Salah satunya jaringan Whatsap Nahdlatul Ulama Purbalingga. Pertama kali, saya mendengar dari Mas Saifuddin (Kepala Biro Kepegawaian Kementerian Agama) meminta konfirmasi apakah benar Pak Pono panggilan untuk KH. Soepono Mustajab pagi itu kecelakaan dan akhirnya meninggal dunia pada Senin, 16 Maret 2020 jam 11.11.
Kepastian bahwa wafatnya KH. Soepono Mustajab saya dapatkan dari Pak Lik saya, Masngud yang meminta saya untuk segera pualng kampung dari Pamulang Tangerang Selatan. Betul-betul kabar yang membikin tulang belulang penyangga tubuhku ini lemas. Perasaan duka yang sangat, ditinggal orang yang kami cintai. Orang yang selama ini berperan sebagai Bapak, Pakde, Guru, dan sekaligus teman.
Semasa hidupnya telah menginspirasi dan memotivasi banyak orang. Menjadi tempat bertanya, tambatan atas segala gundah dan masalah dan menjadi kyai tabib (orang tua yang pandai mengobati orang sakit). Bahkan menjadi tempat berlindung, pengayom dan solusi sppiritual atas pelbagai masalah kehidupan. Dapat dikatakan sebagai kyai hikmah.
Masa kecil yang sederhana
Pakde Pono, (Soepono Mustajab) wafat dalam usia 67 tahun. Lahir pada 19 Juli 1953 di Purbalingga dari keluarga petani kampung yang sangat sederhana. Lahir dari pasangan H. Achmad Mahrowi (Eyang Kakung) dan Napsiyah (Eyang Puteri). Tumbuh berkembang dengan sembilan saudara-saudaranya di Desa Bungkanel, Kecamatan Karangayar, Kabupaten Purbalingga, yaitu puteri pertamanya Rusimah, Amin Warsono, Shobiyah, Soepono, Halimah, Kasminah (ibu saya), Soenaryo, Masngud dan Siti Hasanah.
Eyang Mahrowi sebelum menjadi Carik (Sekdes) adalah seorang penderes kelapa untuk dibuat gula kelapa. Dengan keterbatasannya berjuang di kampung dengan menjadi petani dan juga imam masjid kecil. Mendidik Soepono dengan gigih, tekad kuat dan cita-cita yang tinggi walau dalam pelbagai keterbatasa ekonomi.
Soepono kecil dididik dengan ilmu agama dan akhlakul karimah dari sang ayah. Melalui pendidikan keteladanan (uswah hasanah). “Eyang Mahrowi mendidik anak dengan tidak terlalu banyak bicara, akan tetapi langsung mencontohkan tindakannya sehingga diikuti oleh putra-puterinya”. Sang Ayah adalah sosok idola bagi putra-puterinya termasuk Soepono.
Sosok ayah yang memiliki kelembutan hati, tidak pernah marah terhadap anak-anaknya, penyabar, taat beragama dan selalu mengayomi keluarga. Napsiyah sang Ibu juga sosok yang tabah dan ulet. Dengan keterbaasan ekonomi bisa merawat kesembilan anaknya dengan baik mengurus segala keperluannya.
Soepono kecil menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (sekarang SD) di Desa Bungkanel (1962-1967). Lalu melanjutkan ke Madrash Tsanawiyah Negri (MTsN) Karangayar (1967-1971) sambil nyantri di Pondok Pesantren Sukawarah Desa Sukawera Karangnyar asuhan KH. Muhammad Hisyam. Menempuh SLTA di Sekolah Persiapan Ilmu Agama Islam Negeri (SP-IAIN) sekarang Madrasah Aliyah di Purbalingga (1971-1974).
Kariirnya dimulai di desa dengan menjadi Pembantu Carik selama dua tahun, Menjadi Kadus (Bau) Bungkanel selama lima tahun, dan akhirnya mengantarkan menjadi Kepala Desa Bungkanel selam dua periode (16 tahun).
Ketertarikannya menolong sesama diperkuan dengan mendirikan Rumah Sakit Khusus Jiwa H. Mustajab. Beliau mengobati orang yang mengalami gangguan jiwa dan pemakai narkotika dengan menggunakan pengobatan medis dan non-medis. Ilmu hikmah yang didadapatkannya di pesantren menjadi bekal menjadi orang sepuh yang menjadi rujukan orang meminta tolong dalam pelbagai problem kehidupan.
Sebelum mendirikan Pantai Rehabilitasi Mental H. Mustajab yang kemudian bermetamorfosis menjadi RS. Jiwa dan Narkoba H. Mustajab telah didatangi banyak orang untuk mendapatkan pertolongan. Sarana utama yang digunakan adalah dengan air putih sebagai asbab kesembuhannya. Berbagai penyakit dan problem tamu yang datang konon sembuh dan teratasi.
D usianya yang tidak lagi muda bahkan sudah menjadi wakil rakyat DPRD Purbalingga, Soepono memutuskan untuk melanjutkan studinya di Universitas Wijayakusuma Purwokerto (2008) dengan meraih gelar S.Sos dan dilanjutkan mengambil master di Univeristas Jendral Soedirman (2012) jurusan Fakultas Ilmu Administrasi.
Pendidikan non formalnya dihabiskan di Pondok Pesantern Sukawarah Kalijaran Karangayar Purbalingga sambil belajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Karanganyar. Lalu ke Pondok Pesantren Walangsanga Genteng, Desa Moga, Pemalang. Selanjutnya nyantri kelana di beberapa pesantren, yaitu PP. Kedung Banteng Banyumas, PP. Mantrianom, Bawang Kecamatan Banjarnegara dan Pondok Pesantren Pageraji Ajibarang Banyumas.
Sang Aktivis Organisasi
Soepono Mustajab mendapatkan banyak ilmu dengan bergabung dalam organisasi-oraganisasi kepemudaan dan kemasyarakatan dari tingkat desa-hingga provinsi. Melalui organisasi yang digelutinya terasah jiwa kepemimpinannya. Berawal dari organisasi pemuda di Desa Bungkanel dan mendirikan Karangtaruna untuk bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat (1971-1973).
Komitmennya pada nilai-nilai kebangsaan dan kemasyarakatan ditunjukan dengan aktif pada Organisasi Pemuda Pancasila, sampai menjabat sebagai Wakil Ketua Pemuda Pancasila Kecamatan Karanganyar (2000-2004). Pernah juga menjadi salah satu manager Persatuan Sepak Bola Purbalingga (PERSAP) sampai bermain di Liga Divisi Utama sekitar 2005. Aktif dalam kepengurusan P3SI/PPDSI Karesidenen Banyumas dan juga Pengurus Persatuan Menembak Indonesia (PERBAKIN) Kabupaten Purbalingga menambah daftar panjang kiprahnya dalam organisasi keolahragaan.
Sebagai orang yang diangkat menjadi putranya, beliau tidak pernah menanyakan Indeks Prestasi (IP) saya waktu kuliah di IAIN Walisongo Semarang. Pakde selalu bertanya kamu aktif di mana selama di kampus? Inilah yang memotivasiku untuk aktif dalam pelbagai organisasi kemahasiswaan baik intra maupun extra kampus.
Baru belakangan beliau bilang “ternyata IPK mu bagus juga ya, tetapi jangan tergantung pada IPK, terpenting adalah pada karakter dan jiwa besarmu”, kata Pakde Soepono suatu hari. Beliau selalu menganjurkanku untuk aktif dalam organisasi, karena katanya itu menjadi bekal terbaik untuk menyongsing masa depan.
Dalam organisasi keagamaan tak diragukan lagi. Pernah menjabat sebagai Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Kabupaten Purbalingga hingga saat ini. Sebuah organisaasi di bawah Nahdlatul Ulama untuk mengembangkan dan memberdayakan pondok pesantren se-Kabupaten Purbalingga yang jumlahnya ratusan. Menjadi Pengurus Persatuan Persaudaraan Haji (PPHI). Sampai meninggalnya tercatat sebagai Dewan Penasehat MUI Kabupaten Purbalingga sejak tahun 2006.
Karir politiknya juga cukup baik. Beliau pernah menjadi Ketua Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kecamatan Karanganyar. Partai besutan Gus Dur yang didirikan tanggal 23 Juli 1998. Puncaknya menjadi Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa Kabupaten Purbalingga dan mengantarkan menjadi anggota legislatif. Walau tidak begitu cemerlang, Soepono tergolong orang yang istiqomah dalam wadah Partai Kebangkitan Bangsa, karena menghormati dan mengidolakan almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Dalam bidang pendidikan aktif menjadi Ketua Komite Madrasah Ibtidaiyah (MI) Bungkanel, SDN 1 Bungkanel, SMPN 1 Karanganyar, sampai SMKN 1 Karanganyar. Bahkan kecintaannya pada pembinaan kepemudaan pernah ditunjuk sebagai Perwakilan Kepala Desa se-Jawa Tengah dalam rangka Jambore Pramuka se-Dunia Asia Pasifik tahun 1982.
Ketua Satkorlak Bencana Alam Kabupaten Purbalingga dan menjadi Pengurus Gerakan Anti Narkoba (GRANAT) Kabupaten Purbalingga. Inilah buah dari kepedulian dan ketekunannya menjadi tempat mengeluh orang-orang yang membutuhkan pertolongan media maupun non medis. Dapat dikatakan sebagai kyai hikmah atau supra natural. Bahkan Sumanto sang kanibalis Purbalingga, sampai beliau wafat masih dalam bimbingannya.
Soepono Musatajab yang berpasangan dengan Hj. Siti Shofiatun kini meninggalkan tiga putra dan 3 cucu, yaitu Imam Fauzi Wahyudiana, Retno dan Mulia Sari. Mas Wahyu putra pertama kini menekuni sebagai wirausahawan di bidang kuliner dan istrinya Mbak Imas aktif sebagai tenaga kesehatan. Retno Sulistianingsih puteri ke dua dan suaminya Mas Bejo aktif di dunia kesehatan juga. Sementara puteri terakhirnya Mulia Sari yang dinikahkan pada saat jenazah belum dimakamkan adalah seorang dokter dan mendapatkan suami dari Sukoharjo, Syamsuddin Noor.
Sebagai putra-puterinya kamai memandang KH. Soepono Mustajab adalah sosok kyai aktivis yang meninggalkan banyak karya. Berangkat dari desa yang serba terbatas dan sederhana mampu menjadi tokoh yang disegani oleh banyak kalangan. Keluwesannya bergaul mengantarkan Soepono dipercaya menjadi pimpinan dalam berbagai organisasi, kemasyarakatan, kepemudaan, partai politik, olahraga hingga bisnis.
Pakde, karyamu akan selalu di kenang oleh banyak orang. Budi baikmu akan menjadi penghias kehidupan sekaligus contoh generasi mendatang. Dan setiap tetes keringat dan darah perjuangan akan menjadi saksi dan sumber motivasi dan inspirasi bagi para aktivis generasi mendatang.
Sugeng kondur menghadap Ilahi Rabbi denga penuh ketenangan, insya Alloh husnul khotimah dan mendapatkan tempat yang sangat layak di sisi-Nya. Kini Kyai Aktivisku telah tiada. Wallahu a’lam bi al-shawab.
*Penulis Adalah Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Bidang Kaderisasi dan Putra KH. Soepono Mustajab