Oleh: Emrus Sihombing*
Konflik sekelompok orang di pulau Papua (Papua) yang terjadi belakangan ini, bukti bahwa penanganan konflik sosial selama ini, jangankan tuntas, efektifpun belum. Bahkan konflik dipicu oleh atau diduga bermuatan indentitas sempit. Lihat saja pilihan diksi yang digunakan oleh orang tertentu, yang dapat memantik konflik horizontal.
Adanya konflik personal di salah satu kota di pulau Jawa (Jawa), misalnya, tidak lama berselang muncul gesekan sosial di salah satu kota di Papua. Dari segi wacana yang muncul (termasuk dari para elit), sulit dipercaya tidak ada relasi konflik komunikasi personal yang terjadi di salah satu kota di Jawa dengan gesekan komunikasi antar personal yang terjadi di Papua.
Bahkan persoalan personal yang terjadi seolah ditarik ke rana identitas (kelompok) yang sempit serta seolah mengusik rasa kesatuan berbangsa dan negara. Bahkan berpontensi terjadinya konflik karena pesan komunikasi yang boleh jadi telah dihiperbola. Akibatnya, dari persoalan personal, berevolusi seolah mengusik kebersamaan mereka dalam suatu kelompok dari kelompok lain atas dasar indentitas sempit.
“Perluasan” pesan komunikasi semacam ini bukan tidak tanpa maksud. Tidak ada pesan komunikasi masuk ke teritorial publik berada di ruang hampa. Ada agenda di situ. Tak terhindarkan juga ada framing di dalam tautan pesan yang dilontarkan para pihak ke ruang publik.
Karena itu, bila konflik tidak dituntaskan, setiap ada indikasi kemungkinan muncul konflik, bahkan ketika terjadi konflik pun acapkali penumpang gelap memanfaatkanya secara lihai dengan berbagai modus. Untuk itu, perlu kewaspadaan seluruh anggota masyarakat, terutama yang berada di sekitar lokasi konflik untuk memahami dengan berpikir dan bertindak kritis terhadap setiap fenomena konflik.
Merujuk pada masih terjadinya konflik sosial di Papua hingga akhir-akhir ini, bahkan sudah cukup lama, bisa jadi sejak Papua bagian dari Indonesia, menangani konflik hanya sekedar bagaimana meredam konflik itu sendiri dengan pendekatan manajemen konflik. Pendekatan semacam ini sudah usang, karena terbuka kesempatan yang sangat bebas masuknya kepentingan dari berbagai pihak yang terkait langsung atau tidak langsung dengan pengelolaan konflik itu sendiri.
Selain itu, dengan pendekatan manajemen konflik, akar permasalahan pasti tidak akan terselesaikan dengan tuntas. Karena itu, konflik seolah terus “terpelihara”. Setiap ada pemicu, serta merta konflik berpotensi besar muncul ke permukaan.
Untuk menyelesaikan konflik di Papua, menurut hemat saya, harus dirubah pendekatan dari manajemen konflik ke komunikasi resolusi konflik. Pendekatan resolusi konflik antara lain mencari hakekat permasalahan, latar belakang masalah, temuan dan tawaran solusi strategis penyelesaian masalah, pendekatan dengan mamanusiakan manusia – seperti menghormati orang lain (harga diri) dan martabat kelompok atau daerah, dan tuntas.
Takkalah pentinganya melakukan “perawatan” secara berkesinambungan terhadap penyelesaian masalah yang sudah terjadi. Kemudian berlahan namun pasti, dilakukan pendekatan persuasi untuk membangun inklusivitas antar sesama anak bangsa. Jadi, penyelesaian konflik sama sekali tidak boleh sporadaris, seperti “pemadam kebakaran”.
Untuk menyelesaikan konflik di Papua secara tuntas, masif, terstruktur dan sistematis, harus dibuat dalam suatu pemodelan yang sekaligus menjadi pola, yang saya sebut sebagai, “Strategi Komunikasi Resolusi Konflik di Papua” Dengan strategi ini, maka penyelesaian konflik pasti lebih solutif dan lebih parmanen.
Untuk itu, menurut hemat saya, Presiden perlu membetuk Tim Komunikasi Resolusi Konflik di Papua. Tim ini sebaiknya sama sekali tidak melibatkan politisi, tetapi dari berbagai kalangan yang tidak punya agenda politik pribadi atau kelompok. Mereka semua harus orang yang sangat dipercaya oleh Presiden.
Selain itu itu, mereka yang ada dalam tim ini harus mumpuni dari aspek akademik dan pengalaman tentang komunikasi persuasif, punya popularitas dan reputasi yang terjaga selama ini, lebih diterima oleh berbagai kalangan masyarakat di Papua, mampu merubah situasi dari ketegangan ke suasana yang lebih cair, dan solutif. Yang tak kalah pentingnya, mereka mampu menyusun dan mengimplementasikan “Strategi Komunikasi Resolusi Konflik di Papua” yang efektif.
*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner