MONITOR, Jakarta – Politisi Senior Partai Golkar Freddy Latumahina mengungkapkan bahwa dimasa kepemimpinan Airlangga Hartanto telah menciptakan gap atau ruang kosong antara kader dengan elit partai beringin saat ini. Dikarenakan, sambung dia, keengganan pimpinan partai Golkar untuk menyapa, bertemu maupun berdialog dengan para kadernya sendiri.
“Gap itu terbentuk lebih karena ketidakmampuan elit Golkar merespons dan mengelola tuntutan dinamika demokratis di tubuh partai,” kata Freddy dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (26/7).
Menurut dia, dengan kondisi tersebut membuat banyak kader Golkar, khususnya di daerah merasakan dan mengeluhkan sikap pimpinan Golkar yang tidak komunikatif. Bahkan, sebut dia, tidak menyediakan ruang dan waktu untuk dialog dengan para kader di sela-sela kunjungan pimpinan Golkar ke daerah sekali pun.
“Beberapa Ketua DPD Golkar mengaku malu dan kecewa karena gagal mempertemukan anggota partai di daerahnya dengan elit DPP Golkar yang sedang berkunjung,” papar dia.
Padahal, puluhan anggota sudah berkumpul di sebuah ruang menunggu sapaan dan arahan dari pimpinan Golkar.
Namun, pimpinan Partai Golkar hanya melintas tanpa sedikit pun menunjukan kepedulian kepada para kader tersebut. “Tak ada sapaan, apalagi sekadar jabat tangan.
Kekosongan komunikasi antara DPP dengan semua DPD itu bahkan pernah berakibat fatal. DPP Golkar nyaris tak pernah tahu masalah yang dihadapi DPD, dan sebaliknya hampir semua DPD tak tahu kebijakan dan strategi parta dalam menghadapi Pemilu,”ujarnya.
Ia mencotohkan, bagaimana gap itu terjadi p
Pada Pileg 2019, alat peraga kampanye yang dikirimkan oleh DPP Golkar ke daerah tidak sesuai dengan kebutuhan. Sebagian besar alat peraga, sebut dia, bahkan tidak bisa digunakan saat kampanye.
“Sehingga muncul kesan di benak banyak kader bahwa pucuk pimpinan Golkar seperti hidup di rumah kaca. Ingin mengelola partai politik tapi tidak mau atau alergi menginjak tanah. Mengelola partai bukan dengan kerja-kerja politik, tetapi sekadar menuntut ketaatan mutlak dari semua kader,” ujar dia.
Karena awam berorganisasi, kata Freddy, apalagi untuk organisasi sebesar Partai Golkar, pimpinan DPP Golkar tidak mau dikritik, bahkan menolak perbedaan pendapat. Maka, ketika menghadapi beda pendapat dengan kader, instrumen kewenangan yang digunakan untuk menyelesaikan perbedaan itu adalah melakukan pemecatan.
“Alih-alih memberi contoh tentang perilaku demokratis, pimpinan Golkar malah menunjukan kecenderungan otoriter dalam mengelola partai. Akibatnya, soliditas kader partai tidak maksimal ketika menghadapi agenda Pileg baru-baru ini,” pungkas mantan anggota DPR RI itu.