Rabu, 31 Desember, 2025

Warga Pulau Pari Gugat Holcim, Prof. Rokhmin: Suara Nelayan Kecil Bisa Jadi Tonggak Keadilan Iklim Dunia

MONITOR, Jakarta – Gugatan warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, terhadap perusahaan semen multinasional Holcim dinilai berpotensi menjadi tonggak sejarah baru dalam perjuangan keadilan iklim global. Langkah hukum yang ditempuh komunitas nelayan kecil itu disebut sebagai simbol perlawanan masyarakat pesisir terhadap dampak krisis iklim yang selama ini mereka tanggung, meski tidak menjadi penyumbang utama emisi karbon dunia.

Pandangan tersebut disampaikan Anggota DPR RI Komisi IV sekaligus pakar kelautan dan perikanan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, menanggapi gugatan warga Pulau Pari yang didukung Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terhadap Holcim di pengadilan Swiss.

“Gugatan ini sangat penting, bukan hanya bagi Pulau Pari, tetapi bagi dunia. Ini bisa menjadi preseden hukum internasional bahwa korporasi besar harus bertanggung jawab atas dampak perubahan iklim yang ditimbulkannya,” ujar Prof. Rokhmin dalam dialog yang digelar KBR.ID, Selasa (31/12/2025).

Dampak Iklim Dirasakan Nelayan Kecil

- Advertisement -

Pulau Pari merupakan salah satu wilayah pesisir yang paling rentan terhadap kenaikan muka air laut, abrasi, dan perubahan ekosistem laut. Dalam beberapa tahun terakhir, nelayan setempat mengaku mengalami penurunan hasil tangkapan akibat rusaknya terumbu karang dan perubahan pola cuaca ekstrem.
Ironisnya, masyarakat pesisir seperti Pulau Pari hampir tidak memiliki kontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global. Namun, merekalah yang justru berada di garis depan menerima dampak krisis iklim.

“Ini adalah ketidakadilan iklim yang nyata. Negara-negara maju dan korporasi besar menghasilkan emisi terbesar, tetapi masyarakat pesisir di negara berkembang yang menanggung risikonya,” tegas Prof. Rokhmin.

Indonesia Negara Maritim Paling Rentan

Prof. Rokhmin menekankan, kasus Pulau Pari seharusnya menjadi alarm serius bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Lebih dari 60 persen wilayah Indonesia merupakan kawasan pesisir dan laut yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.
Jika tidak ada kebijakan mitigasi dan adaptasi yang kuat, dampak perubahan iklim berpotensi mengancam ketahanan pangan laut, mata pencaharian nelayan, hingga memicu konflik sosial dan migrasi penduduk pesisir.

“Indonesia tidak boleh hanya menjadi korban. Negara harus berdiri di depan membela rakyatnya, sekaligus mendorong keadilan iklim di tingkat global,” ujarnya.

Kritik terhadap Skema Global Iklim

Dalam konteks global, Prof. Rokhmin juga mengkritisi mekanisme penanganan perubahan iklim yang selama ini lebih menguntungkan negara dan korporasi besar, seperti skema perdagangan karbon. Menurutnya, skema tersebut kerap tidak menyentuh akar persoalan ketimpangan antara negara maju dan berkembang.

“Banyak kebijakan iklim global yang terlihat hijau, tetapi secara substansi belum tentu adil. Gugatan Pulau Pari ini membuka mata dunia bahwa keadilan iklim harus berpihak pada manusia, bukan semata pada pasar,” katanya.

Potensi Preseden Internasional

Gugatan terhadap Holcim dinilai memiliki implikasi luas. Jika pengadilan mengabulkan tuntutan warga Pulau Pari, putusan tersebut dapat menjadi rujukan bagi komunitas terdampak iklim di berbagai negara untuk menuntut pertanggungjawaban korporasi besar. Lebih dari itu, kasus ini memperkuat narasi bahwa krisis iklim bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga isu hukum, ekonomi, dan hak asasi manusia.

“Suara nelayan kecil dari Pulau Pari bisa menggema ke seluruh dunia. Ini bukan sekadar gugatan, tetapi pesan moral bahwa keadilan iklim adalah hak semua orang,” pungkas Prof. Rokhmin.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER