Jumat, 26 Desember, 2025

GKB-NU Apresiasi Konsultasi Ulama di Lirboyo, Dorong Muktamar Netral dan Transisi Damai NU

MONITOR, Jakarta – Gerakan Kebangkitan Baru Nahdlatul Ulama (GKB-NU) menyampaikan apresiasi atas hasil konsultasi antara Syuriah dan para Mustasyar PBNU yang digelar di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, pada 25 Desember 2025. Forum tersebut dinilai sebagai langkah positif yang menegaskan kembali posisi ulama sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan persoalan strategis Nahdlatul Ulama (NU), termasuk konflik internal organisasi.

Inisiator GKB-NU, Hery Haryanto Azumi, menegaskan bahwa tradisi menjadikan ulama sebagai payung penyelesaian masalah harus terus dipertahankan dan diperkuat. Menurutnya, peran ulama menjadi semakin krusial di tengah potensi krisis nasional dan global yang kian kompleks di masa mendatang.

“NU sejak awal berdiri adalah organisasi ulama. Konsultasi ini menunjukkan bahwa khittah tersebut masih hidup dan relevan. Ke depan, peran ulama harus diperkuat sebagai penjaga moral, stabilitas sosial, dan arah kebangsaan,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Kamis (26/12).

Terkait rencana penyelenggaraan Muktamar NU secepatnya, GKB-NU menyatakan dukungan penuh sebagai upaya mencegah risiko dualisme kepengurusan akibat kebuntuan permufakatan internal. Namun demikian, GKB-NU mengingatkan pentingnya prinsip netralitas dalam pembentukan kepanitiaan muktamar.

- Advertisement -

GKB-NU menilai kepanitiaan sebaiknya disusun dan ditentukan langsung oleh Mustasyar PBNU yang berfungsi sebagai Ahlul Halli Wal Aqdi, bukan diserahkan kepada pihak-pihak yang tengah berkonflik. Penyerahan mandat kepada kelompok yang berkepentingan dinilai berpotensi membawa konflik ke dalam tubuh kepanitiaan dan mengulang fragmentasi organisasi.

“Jika kepanitiaan tidak netral, konflik justru akan direproduksi. Produk muktamar berisiko tidak solid dan legitimasi organisasi kembali dipersoalkan. Karena itu, Mustasyar harus menjadi penentu utama,” tegas Hery.

Lebih jauh, GKB-NU mengajak seluruh kader NU di berbagai tingkatan untuk mengiringi proses transisi dan transformasi besar NU saat memasuki abad kedua eksistensinya. Menurut GKB-NU, NU memerlukan penataan ulang secara komprehensif, baik dalam aspek gerakan, politik, ekonomi, maupun sosial budaya, agar khidmah NU terhadap umat dan bangsa semakin optimal.

Dalam konteks regenerasi, GKB-NU menyerukan perlunya transisi generasi yang dilakukan secara gradual dan damai. Perubahan, menurut mereka, harus tetap berpijak pada akar ortodoksi keilmuan NU yang kuat, dengan menjadikan ilmu-ilmu keislaman klasik sebagai jangkar dalam merespons perkembangan ilmu dan tantangan baru di pertengahan abad ke-21.

“Tradisi keilmuan klasik bukan penghambat kemajuan, tetapi fondasi untuk membangun harmoni berkelanjutan antara warisan ulama dan inovasi zaman,” ujar Hery.

GKB-NU juga menilai bahwa pemerintah memiliki ekspektasi besar terhadap NU sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar dengan sekitar 110 juta pengikut. Dukungan NU, baik dari elite maupun akar rumput, disebut sebagai faktor strategis bagi keberhasilan pemerintahan.

Menurut GKB-NU, kemitraan antara Pemerintah Presiden Prabowo Subianto dan NU merupakan keniscayaan historis dan sosiologis. Doktrin NU tentang ketaatan kepada ulil amri yang adil dinilai sebagai modal sosial-politik penting bagi terwujudnya stabilitas nasional dan pembangunan yang berkeadilan.

“Pemerintah tidak akan sukses tanpa NU. Sebaliknya, NU memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas, persatuan, dan arah pembangunan bangsa,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER