MONITOR, Jakarta – Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali menjadi perhatian publik menyusul pemakzulan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam Rapat Pleno PBNU yang digelar pada Selasa (9/12/2025) malam.
Rapat yang dinilai inkonstitusional oleh sejumlah pihak itu menetapkan KH Zulfa Mustofa sebagai pejabat sementara ketua umum, sehingga memunculkan dualisme kepemimpinan di tubuh PBNU.
Menanggapi kondisi tersebut, A’wan PBNU KH Matin Syarkowi menegaskan bahwa islah atau rekonsiliasi merupakan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan polemik yang kian berlarut. Menurut dia, klaim kebenaran dari masing-masing kubu justru berpotensi memperlebar jurang perpecahan jika tidak disikapi dengan kebesaran jiwa.
“Kalau sudah sama-sama mengklaim benar dan sesuai prosedur AD/ART serta peraturan yang berlaku di NU, maka islah adalah jalan terbaik,” kata KH Matin saat ditemui di Teras al-Banusri Pondok Pesantren Al-Fathaniyah, Tengkele, Kota Serang, Banten, Selasa (16/12/2025).
Kiai Matin menyampaikan, ajakan islah sejatinya telah lama disuarakan para masyayikh NU. Islah, menurut dia, merupakan prinsip dalam ajaran Islam yang menekankan perdamaian dan penyelesaian konflik secara bermartabat. Karena itu, menolak islah hanya akan membuka ruang polemik berkepanjangan.
“Tawarannya adalah islah. Bandingkan dengan konflik atau pertengkaran. Kalau menolak islah, yang muncul adalah polemik yang tidak ada ujungnya,” ujarnya.
Kiai Matin menilai, baik Rais Aam maupun Ketua Umum Tanfidziyah PBNU yang sama-sama merasa bertindak sesuai prosedur semestinya bersedia membuka diri untuk diuji secara objektif. Jika memang ada tudingan pelanggaran berat, kata dia, hal itu harus dibuktikan melalui mekanisme yang jelas dan adil.
“Kalau dianggap ada pelanggaran berat, pelanggaran itu harus diuji. Apa yang dilanggar dan apakah benar masuk kategori pelanggaran berat,” kata KH Matin.
Terkait penolakan terhadap islah, KH Matin menilai hal itu kerap dilandasi dugaan bahwa pihak yang mengajukan islah dianggap berpihak pada salah satu kubu. Namun, ia menegaskan, dugaan semata tidak dapat dijadikan dasar dalam mengambil keputusan besar organisasi.
“Dugaan itu belum tentu jelas. Kalau masih dugaan, seharusnya yang didahulukan adalah ajakan islah, karena menduga itu belum tentu benar,” ucapnya.
Dalam pandangannya, pimpinan NU seharusnya mengedepankan kemaslahatan organisasi dan jamaah di tingkat bawah. Jika benar berpegang pada kaidah Islam, maka islah mesti ditempatkan sebagai prioritas utama dalam penyelesaian konflik.
“Kalau islah tidak diterima, berarti dugaan itu justru diperkuat. Dari situ muncul pemakzulan dan pengangkatan pejabat sementara. Akhirnya timbul dualisme,” ujar KH Matin.
Ia menilai, persoalan yang terjadi saat ini tidak lagi semata-mata soal prosedur organisasi, melainkan kegagalan dalam mengindahkan prinsip islah. Tanpa kesadaran kolektif para pimpinan, konflik serupa berpotensi terus berulang.
“Saya berharap Rais Aam PBNU sadar, Ketua Umum PBNU sadar. Kalau tidak sadar semua, ya mundur saja. Serahkan kepada orang-orang yang benar-benar khidmah dan tidak membawa kepentingan,” tegasnya.
KH Matin juga menyinggung opsi Muktamar Luar Biasa (MLB) sebagai salah satu jalan keluar. Namun, menurut dia, langkah tersebut baru relevan jika islah diterima dan dijalankan sebagai dasar rekonsiliasi.
“Soal rekomendasi muktamar luar biasa bisa ke arah sana kalau islah diterima. Karena islah tidak diterima, kedua kelompok ini bisa dianggap tidak mengindahkan islah,” katanya.
Saat ditanya mengenai figur mediator yang ideal, KH Matin menyebut bahwa mediator paling utama adalah nurani masing-masing pihak. Ia menilai, konflik yang ada sudah terlalu sarat dengan kepentingan sehingga kebenaran kerap ditafsirkan secara subjektif.
“Sekarang ini sudah dianggap dua kubu. Mau bicara benar pun ditafsirkan salah karena ada nafsu. Nafsu ribut,” ucapnya.
Kiai Matin lantas mengingatkan agar para pimpinan NU tidak mengabaikan dampak konflik di tingkat akar rumput. Menurut dia, kegaduhan di level elite berpotensi melukai perasaan warga NU di bawah.
“Apakah para pimpinan tidak berpikir tentang yang di bawah? Gara-gara beberapa orang yang pusing, semua ikut terdampak,” kata KH Matin.