MONITOR, Jakarta – Indonesia Police Watch (IPW) menilai polemik hukum pasca-terbitnya Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tidak dapat dibaca secara hitam-putih semata sebagai soal ketaatan norma hukum, melainkan harus ditempatkan dalam konteks situasi politik, ekonomi, dan sosial Indonesia yang tengah berada dalam pusaran ketidakpastian atau VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menyatakan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah menciptakan guncangan serius (shock) terhadap tata kelola sumber daya manusia Polri, khususnya bagi ribuan anggota yang selama ini ditugaskan dan menjabat di luar struktur organisasi Polri.
“Putusan MK yang menyatakan penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara tiba-tiba menutup seluruh celah penugasan Polri di luar institusi. Ini menciptakan volatility yang tinggi dalam sistem regulasi,” kata Sugeng dalam keterangan tertulis IPW, Senin (15/12/2025).
Ketidakpastian Nasib Ribuan Anggota Polri
Menurut IPW, dampak lanjutan dari putusan MK tersebut adalah uncertainty atau ketidakpastian hukum dan karier bagi ribuan anggota Polri aktif. Jika ditafsirkan secara ketat, anggota Polri yang menduduki jabatan sipil di luar institusi Polri harus mengundurkan diri dari jabatan tersebut atau bahkan pensiun dini sebagai anggota aktif.
“Pilihan itu bukan perkara mudah. Mereka menghadapi dilema antara kehilangan jabatan, kehilangan karier, atau kehilangan masa depan profesional sebagai anggota Polri aktif,” ujar Sugeng.
Situasi ini, lanjut IPW, berpotensi menimbulkan kekosongan struktural dan disrupsi serius dalam manajemen organisasi Polri, karena tidak seluruh anggota tersebut dapat ditarik kembali ke jabatan lama.
Kompleksitas Penataan Ulang Organisasi
IPW menilai kondisi tersebut menciptakan complexity tingkat tinggi. Kapolri harus bertanggung jawab terhadap penataan ulang ribuan personel, sementara struktur jabatan di internal Polri bersifat terbatas dan sebagian besar telah terisi.
“Putusan MK ini tidak hanya berdampak normatif, tetapi juga operasional. Penempatan kembali anggota Polri yang ditarik dari jabatan sipil bukan sekadar soal administrasi, melainkan soal stabilitas organisasi,” jelasnya.
Ambiguitas Norma di Tengah Politik Hukum Negara
Lebih jauh, IPW menyoroti munculnya ambiguity atau ambiguitas norma hukum. Di satu sisi, MK membatasi penugasan Polri aktif di jabatan sipil. Namun di sisi lain, politik hukum negara justru membuka ruang luas bagi TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil melalui Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.
“Secara normatif, negara mengakomodasi TNI aktif menjabat di institusi sipil, sementara Polri sebagai institusi sipil justru dipersempit ruangnya. Ini paradoks hukum yang menimbulkan tanda tanya publik,” tegas IPW.
IPW menekankan, Polri sejak reformasi ditempatkan di bawah kekuasaan sipil dan tunduk pada peradilan umum, berbeda dengan TNI yang hingga kini tetap berada di bawah yurisdiksi peradilan militer meski menjabat di lembaga sipil.
Perpol 10/2025 sebagai Manuver Kepemimpinan
Dalam kerangka tersebut, IPW menilai penerbitan Perpol Nomor 10 Tahun 2025 oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus dipahami sebagai langkah kepemimpinan strategis di tengah krisis.
“Di tengah badai VUCA, dibutuhkan bold leadership. Perpol 10/2025 adalah manuver realistis Kapolri untuk menyelamatkan organisasi dan anggota Polri dari tekanan struktural akibat putusan MK,” ujar Sugeng.
Meski secara yuridis kebijakan tersebut berpotensi dipersoalkan, IPW menilai langkah itu mencerminkan keberanian mengambil risiko demi menjaga stabilitas organisasi dan keseimbangan demokrasi sipil-militer.
Risiko Militerisasi Birokrasi Sipil
IPW juga mengingatkan bahwa dominasi TNI aktif di jabatan-jabatan strategis kementerian dan lembaga negara berpotensi melahirkan wajah birokrasi sipil yang semakin militeristik. Fenomena ini, menurut IPW, sudah mulai terlihat dan berisiko menggerus prinsip supremasi sipil.
“Jika kondisi ini dibiarkan tanpa koreksi kebijakan, maka ambiguitas hukum akan semakin dalam dan berpotensi merusak keseimbangan demokrasi,” kata Sugeng.
Solusi: Harmonisasi Kebijakan dan Kepastian Hukum
Sebagai solusi, IPW mendorong adanya harmonisasi kebijakan antara putusan MK, undang-undang sektoral, dan regulasi internal institusi negara. Negara dinilai perlu segera memberikan kepastian hukum yang adil dan setara bagi Polri dan TNI dalam konteks penugasan di ranah sipil.
“Keselamatan organisasi, kepastian karier aparat, dan keseimbangan demokrasi harus menjadi prioritas bersama. Dalam situasi VUCA, negara tidak boleh membiarkan aparatnya berjalan dalam ketidakpastian hukum,” pungkasnya.