MONITOR, Jakarta – Pertemuan antara Ketua Gerakan Pemuda Ciayumajakuning (GPC), Idris Rifandi, SH, dan tokoh nasional asal Cirebon, Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, M.S., berlangsung di Jakarta, Selasa (9/12). Audiensi tersebut menjadi ruang dialog strategis untuk membahas persoalan kesejahteraan masyarakat di wilayah Cirebon Raya yang hingga kini masih menyisakan berbagai problem struktural.
Dalam pertemuan itu, Idris menyoroti sejumlah persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi masyarakat daerah, terutama fenomena pekerja migran yang berangkat ke luar negeri dalam kondisi rentan. Ia mengungkapkan kasus dugaan penyekapan dua pekerja migran Indonesia di Abu Dhabi—masing-masing berasal dari Kabupaten Cirebon dan Lombok Timur—sebagai gambaran konkret dari kegagalan sistemik pembangunan daerah dalam menyediakan lapangan kerja dan perlindungan sosial yang memadai.
Menurut Idris, kasus tersebut bukan persoalan insidental, melainkan refleksi dari ketimpangan kesejahteraan yang masih mengakar. “Ketika peluang ekonomi di daerah terbatas, bekerja ke luar negeri kerap dipandang sebagai jalan keluar, meskipun penuh risiko dan minim perlindungan,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa persoalan kesejahteraan masyarakat tidak dapat dipahami sebagai masalah individu, melainkan sebagai problem struktural yang menuntut pendekatan komprehensif. Ia mengapresiasi peran pemuda yang berani mengangkat isu kemanusiaan ke ruang diskusi kebijakan.
“Kesejahteraan tidak bisa diselesaikan secara parsial. Diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, dunia usaha, dan generasi muda,” ujar Rokhmin. Ia menilai, potensi ekonomi Cirebon Raya—mulai dari sektor kelautan, pertanian, hingga ekonomi kreatif—sejatinya besar, namun belum dikelola secara optimal dan berkeadilan.
Lebih jauh, Rokhmin menekankan pentingnya pembangunan daerah yang tidak semata mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan pemerataan dan keadilan sosial. Tanpa kebijakan yang berpihak pada masyarakat akar rumput, ketimpangan akan terus melahirkan persoalan sosial, termasuk migrasi tenaga kerja yang tidak aman.
Pertemuan di Jakarta tersebut menegaskan posisi pemuda sebagai aktor penting dalam pembangunan: bukan hanya sebagai penerima dampak kebijakan, tetapi juga sebagai agen kontrol sosial dan mitra kritis negara. Di tengah tantangan kesejahteraan daerah, suara pemuda menjadi pengingat bahwa pembangunan harus berorientasi pada manusia, bukan sekadar angka statistik.
Isu kesejahteraan Cirebon Raya, dengan demikian, tidak cukup diselesaikan melalui wacana. Ia menuntut keberanian politik, kolaborasi lintas sektor, serta komitmen jangka panjang agar pembangunan benar-benar menghadirkan keadilan sosial bagi masyarakat daerah.