Dinno Brasco
(Cand. Magister Universitas Paramadina &
Pengurus Pusat GP ANSOR )
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik. (QS. AL-A’RAF: 56)
So give me reason
To prove me wrong
To wash this memory clean
Let the floods cross
The distance in your eyes
(LINKIN PARK, NEW DIVIDE, 2009)
Banjir bandang kembali melanda Sumatera, meninggalkan jejak rumah tergenang, jalan terputus, dan masyarakat terdampak. Di tengah situasi darurat ini, aksi GP Ansor & Banser muncul sebagai bukti nyata kepedulian dan solidaritas kebangsaan.
Di bawah kepemimpinan Ketua Umum Addin Jauharuddin, menunjukkan bahwa “Labbaika” bukan sekadar kata spiritual, tetapi panggilan untuk hadir dan bergerak untuk semua anak bangsa yang membutuhkan pertolongan dan bantuan. Dari mulai evakuasi warga terdampak hingga distribusi logistik, sembako, membersihkan rumah ibadah dan pendampingan korban, Banser bergerak cepat tanpa menunggu perintah panjang.
Aksi Kebangsaan tersebut bukan hanya membantu meringankan penderitaan, tetapi juga memberi contoh nyata bagaimana organisasi kemasyarakatan bisa menjadi garda depan mitigasi bencana di Tanah Air.
Yang menarik, aksi kebangsaan ini juga sarat edukasi sosial dan lingkungan. GP Ansor – Banser mengingatkan pentingnya menjaga sungai dan hutan, tidak membuang sampah sembarangan, dan membangun kesadaran masyarakat akan mitigasi bencana. Semua langkah itu menunjukkan bahwa menjaga alam dan peduli sesama bukan sekadar tindakan, tetapi bagian dari tanggung jawab kebangsaan sebagai sesama manusia.
“Labbaika” di sini menjadi simbol kesiapsiagaan kolektif: panggilan untuk hadir, peduli, dan bergerak. Dengan semangat kebangsaan, GP Ansor & Banser membuktikan bahwa Indonesia bisa bangkit dan bertahan di tengah bencana alam nasional, jika ada kepedulian, solidaritas, dan aksi nyata dari seluruh elemen masyarakat.

Yuk kita pahami dan coba rasakan, banjir bandang di Sumatera kembali menjadi pengingat pahit bahwa manusia masih sering salah urus alam. Statistik kerugian, foto-foto dramatis, dan berita trending di media sosial hanyalah sebagian kecil dari cerita sebenarnya. Di balik itu semua, ada satu hal yang paling penting: bagaimana kita menata ulang hubungan kita dengan alam sebagai bagian dari iman dan tanggung jawab sosial kebangsaan.
Tragedi banjir bandang yang melanda berbagai wilayah di Sumatera bukan hanya persoalan alam semata, melainkan juga refleksi dari interaksi manusia dengan lingkungan. Faktor seperti penggundulan hutan, alih fungsi lahan, sedimentasi sungai, dan sistem drainase yang tidak memadai memperparah dampak bencana, sehingga air yang seharusnya mengalir dengan aman berubah menjadi ancaman bagi masyarakat.
Pemandangan yang mengerikan, bagaimana bisa banjir bandang dipenuhi rbuan kayu glondongan! Pastinya rakyat Sumatera jadi korban! Allah !
Labbaika!
Kata “Labbaika”, yang dalam konteks spiritual berarti “Aku datang, memenuhi panggilan Tuhanku”, dapat dimaknai sebagai simbol kesiapsediaan dan kepedulian kolektif terhadap alam. Bencana alam melalui banjir bandang ini mengingatkan bahwa doa atau pengakuan spiritual tidak cukup. Tindakan nyata untuk mitigasi bencana dan perlindungan lingkungan menjadi keharusan. GP Ansor-Banser dan tentunya kita semua memiliki Tauhid yang tidak melangit, tapi membumi.
Nah, Di sinilah GP Ansor menorehkan teladan nyata. Di bawah kepemimpinan Ketua Umum Addin Jauharuddin, relawan GP Ansor dan Banser turun langsung ke lokasi terdampak di Sumtera (Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat) dengan menyalurkan bantuan, evakuasi warga, membersihkan tempat ibadah warga dan mendampingi mereka dalam pemulihan pasca-banjir. Aksi ini bukan sekadar aksi sosial biasa. Ia adalah manifestasi iman yang utuh, menunjukkan bahwa beriman bukan hanya ritual ibadah (hablum minallah) atau sosial (hablum minannas), tetapi juga bertanggung jawab terhadap alam (hablum minal alam).
Dalam konteks tersebut, peran GP Ansor dan Banser menjadi sangat penting. Aksi cepat, terstruktur, dan terkoordinasi yang dilakukan oleh Banser dalam evakuasi, distribusi bantuan, serta mitigasi risiko bencana menunjukkan bagaimana solidaritas sosial dan kepedulian terhadap lingkungan dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Kesiapsiagaan mereka bukan hanya menyelamatkan jiwa, tetapi juga menanamkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem dan membangun ketahanan terhadap bencana.
Banjir bandang di Sumatera seharusnya menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa menjaga alam adalah tanggung jawab bersama. Keberadaan alam memberi peringatan, dan tugas manusia adalah meresponsnya dengan kesadaran, kepedulian, dan tindakan. Aksi GP Ansor dan Banser menjadi contoh konkret bagaimana kesediaan dan solidaritas bisa diterjemahkan menjadi mitigasi bencana yang efektif, membangun ketahanan komunitas, dan menjaga bumi yang agar tetap lestari.
Dengan begitu, kata “Labbaika” tidak hanya menjadi simbol kepedulian spiritual, tetapi juga representasi dari aksi nyata yang membantu, menolong, empati dan menyelamatkan manusia sekaligus alam tercinta.

Manusia Tauhid
Jika kita mau nicara lebih dalam, aksi kebangsaaan GP Ansor ini sebenarnya punya landasan teologis yang kuat. Dari perspektif ecoteologi, alam bukan cuma “objek” yang bisa kita pakai sesuka hati. Menurut Sayyed Hossein Nasr, alam adalah ayat kauniyah, tanda kehadiran Tuhan di dunia. Jadi, merusak alam sama artinya mengabaikan amanah dari Tuhan.
Eksistensi alam adalah ciptaan Tuhan yang harus dijaga keseimbangannya. Sayyed Hossein Nasr menekankan bahwa krisis ekologis lahir dari hilangnya kesadaran sakral terhadap alam. Alam bukan sekadar objek, tetapi tanda-tanda kehadiran Tuhan (ayat kauniyah). Menghormati alam adalah bagian dari menjaga hubungan manusia dengan Tuhan.
Tokoh-tokoh Islam lainnya juga menekankan hal serupa. Nurcholish Madjid (Cak Nur) bicara tauhid yang bermakna prinsip pembebasan: manusia nggak boleh menyembah selain Tuhan, termasuk keserakahan atau dominasi ekonomi. Ali Syariati menambahkan bahwa menindas manusia dan merusak alam sama-sama bentuk pengingkaran tauhid. Gus Dur melihat Melestarikan alam sebagai bagian dari menjaga martabat manusia, apalagi mereka yang paling rentan.
Sementara Farid Esack, intelektual Muslim dari Afrika Selatan, menekankan bahwa tauhid harus diwujudkan melalui solidaritas sosial-ekologis: membantu mereka yang terdampak kerusakan lingkungan adalah bagian dari iman. Inilah Tauhid yang tidak melangit, tetapi membumi.
Di sinilah, aksi kebangsaan GP Ansor bikin kita semua bisa belajar. Mereka nggak cuma pakai kata-kata motivasi atau kampanye di medsos. Mereka benar-benar hadir di lokasi bencana. Bayangkan, tim relawan yang siap lembur, mengangkut logistik, mendampingi anak-anak dan keluarga, membersihkan rumah ibadah sekaligus koordinasi dengan warga lokal, dan TNI/Polri untuk pemulihan jangka panjang.
Di zaman now GP Ansor, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Addin Jauharuddin, menunjukkan jawaban nyata. Puluhan relawan Ansor-Banser terjun langsung ke lokasi terdampak, menyalurkan bantuan logistik, melakukan evakuasi, serta mendampingi masyarakat dalam pemulihan pasca-banjir. Aksi ini bukan sekadar kerja sosial, tetapi wujud konkret dari pemahaman tauhid: iman kepada Tuhan menuntut tanggung jawab terhadap makhluk-Nya, termasuk alam dan manusia yang terdampak bencana. Bergandengan tangan dengan relawan-relawan bencana lainnya dari semua anak bangsa. Bahu-membahu menolong sesama. Labbaik Sumatera!
Aksi Kebangsaan GP Ansor-Banser juga sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Sila pertama menekankan tanggung jawab manusia kepada Tuhan, termasuk menjaga ciptaan-Nya. Sila kedua dan kelima menegaskan keadilan dan kemanusiaan yang jelas tergambar saat mereka hadir di tengah warga terdampak bencana. Dan UUD 1945, menegaskan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan pengelolaan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. GP Ansor-Banser mempraktikkan prinsip-prinsip ini, konstitusi dan tauhid diwujudkan dalam aksi nyata membantu saudara-saudari bangsa yang terkena bencana.
Saatnya Ambil Peran!
Banjir bandang Sumatera bukan sekadar bencana, tapi juga peringatan keras. Manusia harus sadar: merusak alam artinya merusak diri sendiri dan sesama . Dan ketika solidaritas nyata seperti yang dilakukan GP Ansor muncul, kita belajar bahwa iman itu hidup ketika berpihak pada mereka yang membutuhkan. Solidaritas ini bukan sekadar bantuan fisik, harta, pikiran tapi juga pengingat bagi kita semua bahwa tauhid, keadilan sosial, dan tanggung jawab ekologis adalah satu paket bro!
Untuk kita yang generasi milenial dan gen-Z, cerita GP Ansor-Banser ini bisa jadi inspirasi. Kita bisa mulai dari hal sederhana: peduli terhadap lingkungan, ikut aksi sosial, donasi dalam bentuk apapun atau bahkan menyebarkan kesadaran lewat media sosial.
Bukan hanya soal trending topic, tapi soal menghidupkan nilai-nilai tauhid dalam tindakan nyata. Dunia ini butuh lebih banyak “Duplikat-duplikat Addin Jauharuddin”, orang muda berani terjun, peduli, dan bertanggung jawab atas nasib rakyatnya.
Banjir bandang di Sumatera adalah peringatan keras bahwa menjaga alam adalah bagian dari iman dan tanggung jawab sosial. GP Ansor, melalui kepemimpinan Addin Jauharuddin, menunjukkan bahwa solidaritas dan kepedulian nyata adalah cara terbaik mewujudkan tauhid di tengah kehidupan sosial.
Bencana banjir bandang nasional ini mengajarkan bahwa keberpihakan pada manusia dan alam adalah kewajiban semua anak bangsa. Dari aksi GP Ansor-Banser terlihat jelas bahwa tauhid, solidaritas, dan tanggung jawab ekologis berjalan beriringan. Di tengah bangsa yang kaya sumber daya alam, tambang, dan hutan yang berantakan. Semoga tidak menjadi kutukan. Dari Sumatera, kita belajar: iman, solidaritas, dan tanggung jawab ekologis berjalan beriringan, dan generasi muda punya peran penting untuk meneruskannya.
Akhirnya… Banjir bandang sudah melanda Sumatera, bikin netizen ramai share foto korban, situasi jalanan dan rumah tergenang banjir. “Labbaika.” Biasanya kata ini kita dengar pas ibadah haji. Tapi kali ini, rasanya cocok banget buat aksi kebangsaan: Memenuhi Panggilan, Sumatera! Dari evakuasi warga terdampak, distribusi logistik, sampai mitigasi lokal supaya risiko banjir nggak makin parah, GP Ansor-Banser hadir tanpa banyak drama langsung gasss poll.
Yang keren, aksi ini nggak cuma soal bantuan darurat. Mereka juga ngasih edukasi sederhana tapi penting: jangan buang sampah sembarangan, pentingnya gotong royong, dan menjaga hutan serta sungai supaya banjir nggak makin parah. Intinya, Ayok bareng peduli alam dan peduli sesama itu jalan bareng, nggak bisa dipisahin.
Banjir bandang dimana pun memang menakutkan. Tapi aksi GP Ansor -Banser di bawah Ketum Addin Jauharuddin nunjukin kalau “Labbaika” bisa jadi simbol aksi nyata kesiapsiagaan, kepedulian sosial, dan kesadaran lingkungan sekaligus. Alam memberi peringatan, dan kita bisa meresponsnya dengan hati dan tangan yang siap bergerak bersama.
Ingatlah aksi kebangsaan GP Ansor & Banser, kalau kita semua ikut Labbaika—siap peduli, merawat bumi dan bergerak, bencana bisa diminimalkan, dan solidaritas tetap hidup di tengah alam yang menerjang. “The earth produces enough to satisfy need not greed. How far should we interfere with nature? Is such interference always negative, or can it occasionally be positive?” demikian Paulo Coelho dari Brazil berpetuah!
Firman Tuhan senantiasa jadi pegangan kehidupan kita,“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya,” Sebuah firman Tuhan yang menjadi panggilan bagi kita semua untuk merawat bumi, menjaga lingkungan, kelestarian hutan, dan keelokan sungai.
Dan memastikan bencana banjir bandang tidak semakin meluas akibat kelalaian dan nafsu keserakahan manusia. Tentunya akibat nafsu elit oligarki di negeri Pancasila ini.
Sekali lagi, tentunya para pejabat kakeane
dan kepala geng-geng di Republik ini.