Oleh: Unaimah Sanaya*
Islam diyakini pemeluknya sebagai agama yang sempurna. Terdapat tuntunan ideal dan luhur bagi manusia di muka bumi agar selamat dan bahagia di dunia hingga menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Islam datang untuk membebaskan manusia, Islam datang untuk membangun masyarakat sipil yang berkeadaban (civic and civilezed society) yaitu masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan universal, kemaslahatan bersama, berkeadilan, kejujuran, kesetaraan, dan kebenaran.
Fakta-fakta sejarah mengungkapkan sebelum Islam datang, khususnya di zaman Jahiliyah memiliki berbagai kondisi sosial, budaya, politik dan agama yang buruk. Banyak terjadi perbudakan, peperangan, ketidakadilan, kekerasan hingga pembunuhan khususnya terhadap perempuan. Perempuan dipandang tidak memiliki hak kemanusiaan yang utuh dan oleh karenanya perempuan tidak berhak bersuara, berkarya dan bahkan tidak memiliki hak berpikir. Cerita tentang penguburan anak-anak perempuan secara hidup-hidup karena dianggap pembawa sial, cerita tentang perempuan dipingit, dipasung dan masih banyak lagi lembar hitam lainnya.
Kebiasaan yang berlangsung berabad-abad itu sayangnya masih melekat. Sikap-sikap bangsa Jahiliyah rupanya banyak diadopsi diberbagai negara dan agama. Misalnya, posisi perempuan di keluarga, mereka hanya melakukan tugas-tugas domestic seperti; reproduksi, melahirkan anak, mengasuh dan mengurus keluarga. Fatalnya, meski telah mengerjakan semua urusan yang maha penting tadi, tetap saja mereka menjadi kelas kedua, dilarang banyak beraktifitas di ruang publik, bahkan dilarang berpikir terlalu kritis. Di masyarakat, perempuan dianggap sumber fitnah, sedikit sekali perempuan diberikan ruang pendapat dalam bermusyawarah. Singkatnya, kebebasan berekspresi perempuan dibatasi bahkan dalam beberapa kasus tidak dilibatkan. Budaya Jahiliyah yang terjadi tersebut, disebut dengan budaya patriarki, budaya yang mentolelir adanya penindasan, perlakuan tidak adil dan merendahkan martabat manusia.
Asal Usul Budaya Patriarki
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesa (KBBI) disebutkan, patriarki adalah system pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak, sebagai contoh seorang anak harus menyandang nama bapaknya. Dalam buku yang berjudul “Pengantar Gender dan Feminisme” yang ditulis oleh Alfian Rokhmansyah menjelaskan, patriarki berasal dari kata Patriarkat yang berarti struktur yang memposisikan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, pusat dan segalanya. Istilah lain patriarki dipakai untuk menggambarkan system sosial dimana laki-laki sebagai kelompok dominan yang mengendalikan kekuasaan. Paradigma patriarki ini kemudian membentuk pola pikir masyarakat, kaum intelektual, pelaku ekonomi, dan penentu kebijakan yaitu pemerintah/negara (Lusia Pulungan, 2020). Di Indonesia, budaya patriarki sering diistilahkan dengan Konco Wingking yang artinya teman di area belakang.
Sebuah narasi yang di bangun oleh Angela Saini di ruang digital yang bernama Population Media Center mengabarkan asal usul budaya patriarki. Disampaikan bahwa system patriarki bermula dari revolusi pertanian, pergeseran dari masyarakat pemburu pengepul nomaden ke masyarakat pertanian yang menetap. Dalam Masyarakat agraris, kepemilikan tanah dan surplus produksi pangan menjadi pusat kekuasaan. Akibatnya, laki-laki yang biasanya melakukan tugas-tugas fisik yang berat seperti membajak dan memburu memperoleh posisi dominan. Kendali baru atas sumber daya ini menyebabkan penindasan terhadap perempuan yang sering terdegredasi pada peran domestic yang kurang dianggap berharga di masyarakat. Akhirnya memberikan dampak berkepanjangan, melanggengkan ketikadilan dan memperkuat stereotipe yang merugikan, khususnya bagi perempuan. Menurutnya, tanda-tanda pertama yang jelas tentang perlakuan yang sangat berbeda antara perempuan dan laki-laki muncul jauh kemudian, dinegara-negara pertama di Mesopotamia Kuno wilayah historis di sekitar Sungai Tigris dan Efrat yang sekarang menjadi Irak, Suriah dan Turky.
Kebebasan Berekspresi Perempuan Arab
Tidak hanya politik kekuasaan, berbagai persoalan yang terjadi di dunia Arab dan umat Islam pada umumnya, seperti dominasi bangsa Eropa, radikalisme agama, relasi agama-negara, diskriminasi intelektual hingga budaya patriarki dan persoalan gender yang mengakar. Budaya patriarki mempengaruhi cara seseorang dalam mengeskpresikan sesuatu, jika suatu kelompok dominan atau bahkan negara mengatur cara pandang dan berpikir seseorang hal ini tidak lain menunjukan pelanggaran suatu bangsa terhadap kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM).
Di Arab, terjadi pada feminis Mesir Nawal el-Sa’dawi (kairo 1931). Ia, terdidik sebagai dokter dan psikiater, Nawal bekerja di bidang kedokteran pertengahan tahun 1950-an di daerah pinggiran Mesir kemudian pindah ke Kairo. Atas publikasi buku non-fiksi pertamanya, yang berjudul al-Mar’ah wal-Jins (Women and Sex) pada tahun 1972, ia dipecat dari pos Kementerian Kesehatan dan dipaksa melepaskan jabatannya. Gagasan radikalnya tentang perjuangan feminisme isu seksualitas, patriarki, hal-hak perempuan dan juga kritikan tajamnya mengenai beberapa dogma Islam. Meskipun sudah tidak memiliki jabatan fungsional, pemikiran el-Sa’dawi tentang kesetaraan gender telah memberikan pengaruh kuat akan lahirnya tokoh-tokoh feminis muda Arab dan dunia Muslim lainnya.
Selain itu, jurnalis perempuan Samar Yazbek (1970) dari Suriah, ia juga dikenal sebagai penulis novel dan wartawan populer yang banyak memberitakan tentang Suriah. Samar Yazbek memilki banyak karya dan penghargaan. Beberapa karya yang terkenal dan bergengsi diantaranya; PEN/Pinter Prize “International Writer of Courage Award, Tucholsky Prize dan Oxfam Novib. Ia juga kerap menulis mengkritik tentang rezim Assad dalam pemberontakan Suriah. Lulusan sastra Arab di Universitas Tishreen (Latakia) ini aktif dan vocal membela kebebasan berakrepsi dan memberdayakan perempuan. Hingga ia mengalami banyak kecaman dan intimidasi dari pemerintahan. Ini menegaskan bahwa pengaruh kuasa atas cara berpikir dan berekspresi seseorang masif terjadi, baik dilatarbelaki oleh politik kelompok maupun kekuasaan.
Selain wartawan/jurnalis, aktifis feminis HAM pembatasan berakpresi di Arab juga meliputi pilihan profesi seseorang. dilansir dari Data Office of National Statistic (2016) hanya ada 18,5% dari 250 ribu koki di Inggris yang perempuan dan dari Catatan Indonesian Chef Association (2016) dari 2.200 anggota (koki, pengajar kuliner, perhotelan, pengusaha, dan pemerhati kuliner), jumlah perempuan hanya 20% dan sisanya adalah laki-laki (Kirnandita, 2017). Fakta mengejutkan bahwa baru-baru ini Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan perizinan perempuan boleh menjadi koki di perhotelan namun tidak di apartermen dan ditempat lainnya, bahkan peraturan sebelumnya perempuan dilarang menjadi chef dengan alasan untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual.
Pelarangan kebebasan berekspresi disuatu negara dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang signifikan baik terhadap individu maupun masyarakat secara keseluruhan seperti, pelanggaran HAM, Rezim yang otoriter, stagnasi intelektual dan kreativitas, ketidak akuntabilitas pemerintah, rawan konflik dan penindasan minoritas.
Islam Ajaran Rahmatan Lilalamin
Ajaran Islam terbagi dalam dua kategori; ajaran dasar dan non dasar. Ajaran dasar Islam termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadis Shahih yang bersifat abadi, mutlak dan tidak dapat diubah. Sedangkan non-dasar adalah bentuk ijtihad para ulama dari sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai sekarang. Sesuai dengan bentuknya, jenis ajaran ini bersifat relative, tidak mutlak dan tidak absolut, serta bisa diubah. Seperti kitab-kitab fiqh, kitab tafsir, dan kitab-kitab keagamaan lainnya. Kehadiran Islam memproklamirkan kedudukan manusia secara utuh, tidak dibeda-bedakan, tidak menjunjung salah satu, termasuk perempuan. Perempuan adalah makhluk yang memiliki harkat dan martabat yang setara dengan laki-laki. Al-Qur’an surat Al-Nisa (4) ayat 1 menegaskan bahwa keduanya diciptakan Allah SWT dari unsur yang satu (nafz wahidah) dan secara tegas Islam menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar, mengakomodatif nilai-nilai kemanusiaan, yang merdeka, dan berkeadilan (Musda Mulia-2014).
Gender dalam konteks ilmu sosial diartikan sebagai nilai, peran dan tanggungjawab perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya Masyarakat. Ada 4 kesamaan kedudukan antara Perempuan dan laki-laki diantranya; Pertama: Perempuan dan laki-laki sebagai hamba Allah, keduanya memiliki kedudukan setara dan memiliki fungsi ibadah (QS. Adz-Zhariat (51) : 56). Perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk beriman dan beramal shalih. Yang membedakan kedududkan keduanya di hadapan Allah hanyalah kualitas keimanan, taqwa, pengabdian kepada Allah dan amal shalihnya (QS.An-Nahl (16):97). Kedua: Perempuan dan laki-laki sama-sama khalifah (wakil) Allah di muka bumi. Allah menciptakan keduanya untuk saling bahu membahu dalam mengemban amanah mulia (AS. Al-Baqarah (2) : 30). Ketiga: Perempuan dan laki-laki sama-sama berpontensi untuk meraih prestasi dan kesuksesan (QS.An-Nisa (4) : 124) dan (QS. An-Nahl (16) : 97). Keempat: Perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan setara di hadapan hukum. Perempuan yang berbuat salah akan mendapatkan sanksi atas pelanggaran yang telah dilakukannya, begitu juga sebaliknya bagi laki-laki, (QS. An-Nur (24) : 4, QS. Al-Maidah (5): 38), Risalah Perempuan Berkemajuan, 2022.
Rasulullah SAW sukses menyemai ajaran persamaan dan penghormatan kepada manusia dalam masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah. Piagam tersebut pada intinya menggarisbawahi lima hal pokok sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pertama, prinsip persaudaraan yang menegaskan bahwa semua manusia berasal dari satu unsur dan karenanya mereka bersaudara; Kedua, prinsip saling menolongdan melindungi, penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai suku dan agama harus saling membantu dalam menghadapi lawan; Ketiga, prinsip melindungi yang lemah dan teraniaya; Keempat, prinsip saling menasehati; dan Kelima, prinsip kebebasan berekpresi dan beragama (Musdah Mulia, 2014). Kebebasan berekspresi milik semua kalangan, umat Islam harus bangkit, khususnya kaum perempuan. Mari bergandengan tangan rekonstruksi melawan budaya penindasan (patriarki), yang sesat dan merugikan kepentingan kemanusiaan, umat beragama dan bangsa.
*Penulis Adalah: Ketua PWNA Banten, Mahasiswa S3 Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
MONITOR, Yogyakarta — Kementerian Agama RI menggelar Halaqah Penguatan Kelembagaan Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren di…
MONITOR, Sukabumi - Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, menyampaikan kuliah…
MONITOR, Jakarta - Kementerian UMKM menegaskan komitmennya untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang promosi pada berbagai infrastruktur…
MONITOR, Jakarta - Pada sela-sela agenda Seminar Internasional Indonesia’s Contribution to Contemporary Global Peace and…
MONITOR, Jakarta - PT Jasa Marga (Persero) Tbk kembali mendapat pengakuan atas komitmennya di bidang…
MONITOR, Jakarta - Lintas komunitas dan peneliti dari UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon selenggarakan Focus…