Rabu, 19 November, 2025

UU KUHAP Baru Atur Pengamatan Hakim Bisa Jadi Alat Bukti, DPR Tekankan Soal Akuntabilitas

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez menegaskan bahwa penambahan aturan ‘pengamatan hakim’ sebagai alat bukti dalam Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) baru harus ditempatkan dalam kerangka reformasi hukum yang menjamin keadilan prosedural. Ia juga menilai klausul ini tidak boleh memperlemah asas praduga tak bersalah.

Gilang pun berharap perubahan pada UU KUHAP tersebut tidak boleh membuka ruang subjektivitas hakim atau menjadi dalih untuk mengabaikan prinsip due process of law, pilar utama sistem peradilan pidana modern.

“Pengamatan hakim harus tetap berbasis verifikasi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak-hak terdakwa,” kata Gilang, Rabu (19/11/2025).

Seperti diketahui, DPR telah mengesahkan UU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Selasa (18/11). Salah satu tambahan dalam UU KUHAP baru adalah klausul tentang pengamatan hakim yang kini dapat dijadikan sebagai alat bukti.

- Advertisement -

Panitia Kerja (Panja) UU KUHAP menegaskan bahwa pengamatan ini bertujuan untuk memperkuat keyakinan hakim dalam proses persidangan. Ketua Panja RKUHAP, Habiburokhman menyatakan bahwa penggunaan pengamatan hakim sebagai alat bukti sangat diperlukan, terutama dalam kasus tindak pidana yang bersifat struktural. Termasuk pada kasus-kasus yang melibatkan anak sebagai korban.

Ketentuan baru yang tercantum dalam Pasal 222 huruf G itu merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah dan Panja Komisi III DPR RI.

Terkait hal ini, Gilang menilai penambahan klausul ‘pengamatan hakim’ itu bisa menjadi langkah progresif jika diterapkan dalam sistem peradilan yang matang secara etik dan kelembagaan.

“Tapi tetap harus diingat bahwa semangat revisi KUHAP adalah membangun sistem hukum yang modern, transparan, dan seimbang antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanusiaan,” tutur Legislator dari Dapil Jawa Tengah II tersebut.

“Karena itu, setiap inovasi hukum harus disertai rambu etik, pedoman teknis, dan mekanisme pengawasan yang jelas,” imbuh Gilang.

Anggota komisi DPR yang membidangi urusan hukum ini menilai perluasan alat bukti pada RKUHAP dapat memperkuat keyakinan dalam kasus-kasus yang sulit dibuktikan karena minimnya saksi atau bukti forensik. Namun Gilang kembali menekankan pentingnya pedoman yang ketat pada aturan teknis beleid itu.

“Tanpa pedoman yang ketat, hal ini berpotensi menggeser keseimbangan asas keadilan dari pembuktian objektif menuju keyakinan subjektif. Keadilan harus tetap dapat diverifikasi, bukan sekadar diyakini,” jelasnya.

Untuk memastikan bahwa pengamatan hakim digunakan secara profesional, Gilang mendorong agar pengawasan eksternal diperkuat. Khususnya berkaitan dengan peran Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA).

“Ini untuk memastikan hakim yang menggunakan pengamatan tetap tunduk pada kode etik dan standar objektivitas peradilan,” ucap Gilang.

Selain itu, Gilang mendorong pelatihan dan sertifikasi bagi hakim dalam menerapkan metode observasi persidangan. Menurutnya langkah tersebut diperlukan untuk memastikan penilaian terhadap terdakwa atau saksi tetap profesional dan sesuai prinsip psikologi hukum.

“Dengan begitu inovasi dari revisi KUHAP tetap berpijak pada prinsip keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan integritas peradilan,” tutup Gilang.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER